Chapter 12

1186 Words
Tidak ingin bersama tetapi selalu bersama. Ingin bersama tetapi tidak bisa bersama. *** Nuansa cokelat mendominasi interior restoran sederhana itu. Di beberapa titik ada warna-warna hijau segar dari tanaman perdu atau dedaunan. Kaca-kaca lebar dari arah luar, memberikan pencahayaan yang cukup. Tidak menyilaukan. Sambara benar-benar kagum dengan penataannya. Meski ini bukan restoran mewah, tetapi kebersihannya dan penataan yang pas, membuat ia betah. Pantas restoran ini tidak sepi. Meski bisa saja karena ini jam makan siang, bisa juga karena kenyamanan tempatnya. Tapi, bisa saja karena makanannya enak. Untuk kemungkinan yang terakhir, Sambara masih menunggu pesanannya datang. "Belum puas liat-liatnya?" tanya sengit Kahayang. Gadis itu duduk di hadapan Sambara dengan kedua tangan terlipat di d**a dan wajah yang cemberut. Sambara hanya mengedikkan bahu. "Memang ada yang salah kalau saya lihat-lihat?" "Salah sih enggak, tapi saya gak suka dilihat-lihat." "Siapa yang liatin kamu?" Kahayang menggeram menahan kesal. Andai tidak ingat ia sedang berada di mana, Kahayang sudah melempar es teh manisnya ke wajah tampan Sambara. Kahayang terbelalak menyadari pikirannya sendiri dan geli pada diri sendiri. "Hoek...." Kahayang membungkuk dan bersikap seperti orang muntah. "Kamu kenapa? Mau muntah?" Sambara sudah akan berdiri ketika Kahayang melambaikan tangan. "Duduk, duduk. Gak usah sok perhatian." "Siapa yang perhatian?" "Trus itu kamu berdiri mau apa?" "Mau ke toilet." Sambara keluar dari kursinya dan bicara sebentar dengan Andin. Bertanya letak toilet. Sedangkan Kahayang hanya bisa melotot dengan wajah memerah karena malu. Berulang kali ia kena sekak. Kahayang melihat ke meja kasir dan Andin, ayahnya tersenyum geli. Sedari tadi ia memerhatikan putrinya yang cemberut dan ribut sendiri dengan Sambara, pria yang dibawa istrinya sebagai tamu istimewa. Begitu istimewanya, Lia sampai memasak sendiri hidangan sederhana untuk Sambara. "Lho, Bara mana?" Lia muncul dengan dua pelayan yang membawakan hidangan lengkap, meski yang makan hanya berdua; Kahayang dan Sambara. "Wuidh...." Kahayang melotot. Makanan yang ibunya buat adalah menu makanan premium di restoran ini. "Cumi oseng, udang pedas, ayam goreng serundeng plus lalapan, lengkap amat, Ma." "Harus lengkap. Biar dia sering datang ke sini." "Buat apa sering-sering ke sini?" "Buat makan, dong. Sekalian dia bawa teman-temannya. Kan restoran kita bisa makin maju karna rame. Ah..., Bara, dari mana?" Wajah Lia begitu bersinar melihat kemunculan Bara dari belakang. Dipersilakannya Bara duduk. "Kalian berdua makan yang banyak, ya. Masih muda itu butuh energi lebih untuk menghadapi hidup dan menghadapi segala kemungkinan. Termasuk.... Kemungkinan adanya jodoh." Dengan tertawa kecil, Lia meninggalkan putrinya dan Sambara. Kahayang benar-benar tersiksa ketika melihat ibunya justru duduk di sebelah ayahnya. Sebenarnya itu biasa andai ibunya itu tidak punya maksud lain. "Banyak amat?" tanya Sambara setengah kebingungan memikirkan bagaimana menghabiskannya. "Udah, makan aja apa yang kamu suka dengan cepat dan trus pergi dari sini." "Saya suka semua." "Ya udah, lahap semua. Secepatnya." "Mana bisa makan begini banyak cepat-cepat. Mau kejar gaji? Makan begini harus dinikmati." Sambara mulai menyendok cumi oseng, udang pedas, dan ayam goreng serundeng. "Kamu gak makan?" tanya Sambara. "Enggak." "Mana enak saya makan begini sendirian." "Ya, apa harus saya pikirin kamu enak apa enggaknya," ketus Kahayang. Terdengar dehaman jelas sang ibu dari meja kasir. Meski tak terucap, tetapi Kahayang paham jika ibunya sedang protes dengan sikapnya. Dengan kesal, Kahayang menyendok cumi oseng ke piringnya. Dan Sambara tersenyum puas menikmati makanannya yang benar-benar enak. "Masakan mamamu enak. Biasanya, kalau ibunya jago masak, anak perempuannya malah oneng." "Maksudmu apa?" bentak Kahayang yang mendapat dehaman lebih keras dari sang ibu. Sepertinya Lia memang menjadi CCTV yang memiliki alaram pengingat. "Maksudmu apa?" tanya Kahayang dengan bersuara lirih, tetapi nadanya penuh tekanan kekesalan. "Gak ada maksud apa-apa. Selain menyampaikan sebuah analisa umum." "Analisa yang ngawur. Saya bisa masak." "Enak?" "Pasti enaklah." Kahayang tersenyum jumawa. Menatap sombong ke Sambara. Dan mulai menyendokkan makannya dengan perasaan bangga. Sambara justru menikmati ekspresi Kahayang yang seperti itu. Gadis mungil itu terlihat menggemaskan dengan kesombongannya. "Kenapa lihat-lihat? Gak percaya?" tanya Kahayang. Sambara mengedikkan bahu dan menyuap makanannya. "Bagaiman saya mempercayai sesuatu yang hanya bualan. Bukti lebih bisa dipercaya." "Halah..., kamu mancing-mancing agar saya memasak buatmu, 'kan? Gak akan pernah saya masak buat kamu. Jangan mimpi kamu." "Mimpi juga nanti jadi kenyataan. Kamu pasti akan memasak buat saya. Aduh!" Sambara melotot dan sedikit membungkuk. Salah satu tangannya terulur ke bawah meja, mengelus tulang kakinya yang ditendang Kahayang. "Wah...." Kahayang dan Sambara sama-sama menatap pada si sumber suara. Aling dengan seragamnya berdiri di dekat meja mereka. "Ada sultan makan. Lengkap begini." Aling liar menatap makanan yang tersaji lezat. Tatapannya terusik dengan bunyi deham berulang dari arah meja kasir. Ia melihat ibu dan ayahnya melambaikan tangan agar Aling mendekat. Tapi, Aling pura-pura bodoh dan hanya mengedikkan bahu. "Ngapain kamu di sini?" tanya Kahayang. Aling melihat ke sekeliling. "Ini masih restoran Bapak Andin dan Ibu Lia, 'kan?" "Kamu kan harusnya masih di sekolah," ujar Kahayang gemas. "Sekolahnya sudah saya bubarin. Kepseknya aja saya pecat." Sambara menahan tawanya dengan memalingkan wajah. Meski begitu, tetap tak bisa menyembunyikan diri dari Kahayang yang kekesalannya sudah memuncak. Gadis itu merasa dua lelaki di dekatnya adalah makhluk paling menyebalkan sejagat raya. Selalu bisa membuatnya tersudut, padahal dia sudah mengintimidasi duluan. "Kalian berdua ini emang.... Arghhh....!" Kahayang berdiri dengan perasaan dongkol dan menatap pada ayah ibunya. "Toko bunga kelamaan gak dijaga." Lia dan Andin hanya bisa melongio melihat kepergian Kahayang yang begitu cepat. Setengahnya, Lia menjadi kesal karena menganggap Kahayang tidak sopan pada Sambara. Sedangkan Sambara justru santai. Ia mempersilakan Lingga duduk. Keduanya saling berkenalan. *** Seorang pria tinggi dengan tubuh yang atletis, berdiri di depan cermin tinggi. Rambutnya terlihat basah karena ia baru mandi. Dirapikannya rambutnya dengan jari-jemari, itu membuat tampilannya justru makin maskulin dan menggoda karena ada beberapa helainya yang berantakan. Saat ia mengambil kemeja di tempat tidur, ia menatap ke arah wanita cantik, yang duduk bersandar dengan masih berselimut. Lengan dan sebagian dadanya dibiarkan terbuka. Keseksian yang sudah dinikmati dengan kenyang. "Kenapa diam? Kamu gak mandi, Anes?" Wanita yang disapa Anes menggeleng lemah. "Sampai kapan kita begini, Deon?" Deon memakai kemejanya dan mulai memasang kancingnya. "Bersabarlah. Lagi pula...." Deon melirik ke arah pantulan bayangan Anes di cermin. "Saya tidak pernah memaksamu untuk tinggal." "Kamu gak bisa seegois ini Deon!" Anes menegakkan tubuhnya. "Kita sudah lama bersama dan sekarang kamu dengan entengnya bicara seperti itu?" "Ayolah, Anes. Kita baru saja bahagia, kenapa dibikin ribut?" keluh Deon. "Saya gak mau ribut kalau jawabanmu gak aneh begitu." "Aneh dari mananya? Memang kenyataannya saya tak pernah memaksamu tinggal. Saya menyukaimu, kamu menyukai saya, kita jalani saja ini dulu." "Dengan sembunyi-sembunyi?" "Jika ini yang terbaik, kenapa tidak?" "Terbaik buat siapa? Buatmu? Saya ingin orang tahu tentang hubungan kita." Anes menuntut dengan suara tinggi. Deon mengenakan jam tangannya. Sekali lagi menatap cermin memastikan dirinya sudah sempurna. Ia kemudian berbalik, menatap tajam Anes, membuat wanita cantik itu menciut. "Pilihanmu hanyalah sabar menunggu atau pergi saja. Saya tidak memaksa ini dan itu padamu. Kita jalani hubungan kita ini dengan tenang dulu. Atau baiknya memang kita sudahi jika apa yang kamu minta adalah beban buat saya." Anes terdiam. Dia tak bisa berkutik meski sangat marah. Deon selalu bisa menguasai dirinya. Anes merasakan keningnya dikecup ringan. "Dengar, Anes. Saya mencintaimu. Beri saya waktu untuk menyelesaikan banyak hal. Oke?" Anes mengangguk lemash. Untuk sikap penurutnya, Anes mendapat ciuman dalam di bibir dari Deon. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD