Chapter 11

1956 Words
Bagaimana aku memanggil namamu? *** Dengan sopan dan manis, Kahayang mengembalikan kartu debit seorang pelanggan pria yang melakukan pembayaran atas buket bunga mawarnya. Sempat si pelanggan pria itu memuji kecantikan dan penampilan Kahayang yang tidak biasa. Kahayang hanya bisa tersenyum tersipu, tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Namun, setelah si pelanggan pria keluar, Kahayang langsung menggebrak meja, bersungut, menatap Elis dengan mata melotot. Yang ditatap justru terlihat kalem saja, memeriksa bunga-bunga yang layu. "Ini semua gara-gara kamu!" "Saya?" Elis menunjuk dirinya sendiri dengan mimik terkejut yang dibuat-buat. "Saya salah apa?" "Banyak! Lihat! Lihat ini!" Kahayang keluar dari meja kasir dan menunjuk dirinya sendiri dengan kesal. Kahayang mengenakan dress panjang sedikit di atas lutut, dengan lengan pendek yang sedikit gembung. Kerahnya lingkar lebar, membuat leher dan bahunya terekspos dengan manis. Ada bordiran bunga di setiap tepinya. Dengan warna biru laut, penampilan Kahayang memang menjadi imut. Ia justru terlihat seperti remaja. "Cantik, kok. Mas-mas tadi aja sampai gak lepas liatin kamu. Andai dia tidak ingat kalau bunga itu untuk kekasihnya, mungkin bunga itu sudah diberikannya padamu." Elis mengerling. "Kamu bilang cantik tapi kamunya tertawa. Jelas 'kan kalau saya udah kayak badut." Elis yang tadinya tertawa ditahan akhirnya melepas tawanya. Ia tertawa bukan karena penampilan Kahayang. Apa yang ia sampaikan memang benar adanya. Sepupunya terlihat cantik menggemaskan dengan pakaiannya itu. Ia tertawa karena ia tahu bagaimana tersiksanya Kahayang jika harus memakai pakaian yang feminim. Lia, tantenya memang selalu punya kuasa atas kehidupan suami dan anak-anaknya. Elis melirik jam dinding. "Udah mau jam dua belas, itu orang kok gak datang, ya? Apa lupa ambil jasnya?" "Baguslah kalau lupa." "Saya telpon ajalah." Kahayang yang tadinya memutar tubuh untuk kembali ke meja kasir, menjadi panik dan bergegas menghampiri Elis. Dipegangnya pergelangan tangan Elis yang memegang ponsel. "Telpon siapa?" tanya Kahayang. "Orang itulah. Ingetin dia buat ambil jasnya." "Emang kamu siapa dia pakai acara inget-ingetin segala?" "Emang harus jadi siapa-siapa buat ingetin. Kamu kenapa, sih? Lepasin, ih." Elis memutar pergelangan tangannya agar bisa terlepas dari Kahayang. "Gak boleh telpon dia. Pokoknya gak usah!" "Dih, kamu. Takut ketemu dia?" "Bukan masalah takutnya...," keluh Kahayang yang sudah melepaskan Elis. "Malas sama Mama." Elis tertawa lebar. Jas Sambara disandera Lia dan Lia akan datang ke toko bunga kalau Sambara sudah datang. Semua sudah bisa menduga alurnya ke mana dan akan bagaimana Lia nanti. Ini akan menjadi hiburan yang menyenangkan. "Jangn sampai dia datang. Jangan pokoknya jangan." Ting...ting...ting.... Lonceng yang digantung di atas pintu berdenting, berbarengan dengan terbukanya pintu. Sontak Kahayang memutar tubuhnya dan menahan napas. Bagai gerak lambat, lelaki siluman itu muncul. Ia mengenakan kaca mata hitam dan kemeja biru yang hampir senada dengan Kahayang. Sambara terdiam menatap Kahayang yang melotot. Setengah bersyukur karena ia belum melepaskan kaca mata hitamnya. Ini karena Sambara terkejut sekaligus terpana melihat penampilan si Penyihir yang menyerupai gadis-gadis remaja. Begitu manis. Kahayang melangkah sangat cepat. Berdiri sangat dekat. Mendongak dan melotot. Pipinya yang bulat, di mata Sambara seperti menggembung dengan sangat lucu. Jika tadi Kahayang seperti remaja belia, kini Kahayang justru terlihat seperti anak TK yang bersiap menyemburkan kekesalannya. "Kenapa pakai biru?" tanya Kahayang dengan membentak. Dibalik kaca matanya, Sambara mengerjapkan mata bingung. Keningnya berkerut. "Kenapa kamu pakai baju biru?" Kahayang menjelaskan dengan kesal karena melihat mimik wajah Sambara yang aneh. "Memangnya kenapa?" "Karena saya pakai baju biru." "Ya, kalau kamu pakai baju biru, memangnya kenapa?" "Ya, kenapa-kenapa, dong." Sambara mengangkat kepala dan menatap Elis yang ternyata sudah memunggungi mereka. Gadis berambut panjang itu terlihat sedang menelepon. Ada sesal, karena Sambara butuh bantuan dan penjelasan. "Lalu, kamu maunya saya pakai baju warna apa?" tanya Sambara menahan kesal karena disembur tiba-tiba. "Warna apa saja, pokoknya jangan biru! Kamu kan orang kaya, apa warna bajumu di lemari cuma warna biru?" "Iya," jawab singkat Sambara dengan tubuh yang sengaja dibungkukkan agar tatapannya lebih dekat dengan wajah kahayang. "Kasihan. Laki-laki stasioner," ejek Kahayang yang menarik sedikit ujung bibirnya. Sedang Sambara hanya bisa melotot. "Makanya cari kekasih. Biar dia bisa bantuin kamu milih warna lain selain warna biru." Sambara semakin mendekatkan wajahnya. Dari balik kaca mata hitamnya, ia bisa leluasa menikmati wajah Kahayang tanpa perlu ketahuan. Ia menikmati melihat posisi kepala Kahayang yang semakin mendongak hanya agar bisa melihat mata Sambara. Ada keinginan dari jari-jemari Sambara di dalam saku, untuk memegang kepala gadis itu, merasakan juntai rambut pendeknya. Sedangkan Kahayang justru semakin melotot. Wajah Sambara dirasa terlalu dekat. Posisinya sedang tidak aman. Tidak amannya bukan dari Saga, melainkan dari dirinya sendiri. Ada lonjakan dalam dirinya untuk mengalungkan tangannya di leher Saga. "Kalau begitu..., kamu saja jadi kekasih saya." Terdengar pekikan tertahan dari Elis. Menyadarkan Kahayang kalau ia sedang digoda Sambara. Dengan perasaan dongkol, ditendangnya tulang kaki Sambara. Sontak pria bertubuh tinggi itu mengaduh sakit. Sedangkan Kahayang dengan tidak acuh, berlalu menuju meja kasir "Aduh, Ayang! Keterlaluan kamu." Elis bergegas menghampiri Sambara. "Aduh, maaf, Mas. Sakit, ya." "Cuma ditendang pelan aja mengaduh kayak bayi," cibir Kahayang karena dipelototin Elis. Sambara merapatkan bibirnya. Dengan mengepalkan tangan dan menahan napas, Sambara menahan sakit di tulang kaki. Perlahan Sambara berdiri tegak lagi. "Gimana, Mas? Sakit, ya? Maafkan sepupu saya." "Enggak. Gak apa-apa, Mbak Elis." Sambara memberikan senyum mautnya. "Ayang, minta maaf. Keterlaluan kamu, ih," tegur Elis. Namanya Ayang? Toko Bunga Kahayang.... Ayang.... Namanya Kahayang? batin Sambara yang senang akhirnya ia tahu nama si Penyihir tanpa perlu bertanya. "Gak mau. Dia yang salah. Ngapain dia pakai baju warna biru?" Kan bisa gawat kalau Mama mulai berspekulasi. Nanti dikiranya janjian. Lanjut Kahayang dalam hati. Elis mendekat dan mendelik. "Salah di mananya? Memangnya kalian janjian?" "Nah..., ya itu. Kalau Mama lihat, pasti Mama ngiranya itu," keluah Kahayang. Berbarengan dengan itu, kembali terdengar denting bel pintu. Lia masuk dengan senyum lebar. Dibelakangnya ada Ajo yang membawa jas Sambara. Kahayang melotot dan Elis tersenyum lebar. Penampilan Lia sudah sangat jelas dipersiapkan untuk bertemu dengan Sambara. Lia mengenakan pakaian rapi. Ia mengenakan kemeja wana ungu muda dengan panjang lengan di bawah siku dan dipadu dengan celana kulot warna hitam. "Mana yang punya jas?" tanya Lia dengan sangat lembut dan manis. Perubahan karena ada keinginan, batin Kahayang. Elis mengarahkan matanya ke Sambara yang berjalan mendekat. Pria itu melihat jasnya dibawa hati-hati oleh seorang pria muda berbadan kecil. Lia terpana bahkan bibirnya membuka sedikit melihat ketampanan Sambara. Apalagi secara keseluruhan, sudah sangat terlihat jelas kalau laki-laki muda dihadapannya ini bukan orang sekelas Gery. Sambara melepaskan kaca matanya. "Selamat siang. Saya yang punya jas itu, Ibu...?" "Hahaha.... Aduh, jangan panggil Ibu. Saya Lia. Kamu boleh panggil saya Mama Lia." Lia mengulurkan tangannya dengan wajah sumringah. Sontak Kahayang, Elis, dan Ajo melongo. Terhadap Gery yang bertahun-tahun menjadi kekasih Kahayang, Lia tidak meralat sapaan Tante menjadi Mama. Ini kepada orang baru dikenal, Lia dengan sangat santai mengangkrabkan diri dimulai dari sapaan. "Oh, gitu, ya, Tante?" Sambara ragu dan menatap Kahayang sembari menjabat lembut tangan Lia yang terulur. "Kok, Tante. Mama Lia." Sambara tersenyum manis. "Wah, tangannya besar, ya. Kamu tinggi sekali. Berapa tinggimu?" tanya Lia yang belum melepaskan jabatan tangannya dan malah memegang tangan Sambara dimulai dari lengan sampai lengan atas. Sambara merasa risih. Begitu juga Kahayang yang malu dengan sikap ibunya yang dirasa kegenitan. Kahayang keluar dari meja kasir, bergegas menghampiri ibunya. Dengan mata mendelik menatap Lia, Kahayang mencoba melepaskan pegangan kedua tangan ibunya dari tangan Sambara. "Ma...!" tegur Kahayang dengan suara berbisik. "Apa?" tanya lia juga dengan suara berbisi, mengimbangi Kahayang. Tetapi, tatapannya masih menelusuri ketampanan dan kegagahan Sambara. "Tangannya!" Dengan paksa Kahayang melepaskan tangan ibunya. Lia menurut, melepaskan tangannya dan melotot sebentar ke arah Kahayang. "Eh, saya belum tahu namamu, lho." "Saya Sambara, Tan..., eh..., Mama Lia," jawab Sambara canggung karena harus menggunakan sapaan Mama. "Wah..., nama yang sesuai dengan orangnya. Sudah punya istri?" "Mama!" Kahayang tak bisa lagi menyembunyikan kesalnya. Ibunya terlalu mencampuri urusan pribadi orang lain. Baru kenal sudah bertanya aneh-aneh. "Apa, sih? Kan Cuma tanya. Gak pa-pa, kan Sambara?" "Hehehe..., iya, gak pa-pa, Mama Lia. Saya belum beristri juga tidak punya kekasih," jawab Sambara lengkap. Maksudnya agar tak ada pertanyaan lanjutan dan ia bisa menerima jasnya. "Wajah setampan ini, belum punya kekasih? Kenapa?" Maksud dan keinginan Sambara gagal. "Karena tidak ada yang mau, Mama Lia." "Halah, kamunya aja pemilih. Memangnya kamu suka wanita seperti apa?" Sambara lagi menatap Kahayang dengan wajah memelas. Pertanyaan pribadi yang tiba-tiba sungguh membuat Sambara tidak nyaman. "Mama! Gak sopan, Ma!" tegur Kahayang lagi. "Cuma nanya gitu aja kok gak sopan," gerutu Lia ke putrinya. Ia kemudian mengambil jas dari tangan Ajo. "Ini punyamu?" "Iya, Mama Lia." Sambara mengulurkan tangannya untuk menerima jas yang sudah bersih. Tapi, alih-alih menyerahkan jas ke pemiliknya, jas justru diserahkan ke Kahayang. "Bantu dia pakai jasnya." "Hah?" Kahayang mendelik bingung. "Ayo, bantu Sambara pakai jasnya." Lia mendorong lembut tubuh Kahayang agar lebih dekat dengan Sambara. "Kenapa harus dibantu? Dia kan bisa pakai sendiri." Kahayang menyodorkan jas ke Sambara. Tapi saat Sambara akan menerima, Lia justru menepuk keras pergelangan tangan Kahayang. Kedua matanya melotot menatap Kahayang. "Bantu Sambara pakai jasnya." Sambara bisa melihat ketegasan di nada bicara Lia, juga kekesalan di mata Kahayang. Ia yang berada di anatarnya hanya bisa menelan air liur. Dua wanita beda usia sedang saling kesal dan dia berada di tengah. Itu bukan situasi yang menyenangkan. "Tolong, bantu, ya," pinta Sambara canggung. Ia mencoba menghentikan perseteruan dengan memihak salah satunya dan itu Lia. Kini mata bulat Kahayang terarah pada Sambara sedangkan Sambara hanya menyengir saja. Dengan menghentakkan kaki sekali, Kahayang akhirnya menyerah dan berdiri di belakang Sambara. Memasukkan kedua tangan Sambara yang terulur ke belakang masih sangat mudah bagi Kahayang, tetapi menaikkan jas ke atas, membuat Kahayang harus menjijit, dan itu menyusahkan gadis mungil itu. "Kenapa kamu harus setinggi ini, sih?" tanya Kahayang yang sudah selesai membantu memakaikan jas Sambara. "Ya, agar mudah buat jagaian kamu," jawab santai Lia. "Mama!" ujar Kahayang dengan sangat kesal. Sedangkan Elis dan Ajo justru tertawa senang. "Sudah makan Sam? Eh, panggilanmu apa?" tanya Lia manis. "Siluman," sahut Kahayang membuat Lia terkejut. "Kok, siluman. Orang seganteng ini kok, siluman. Apa panggilanmu?" tanya Kahayang lagi. "Bara, Ma." "Benar-benar membara dan menggelora. Sangat cocok." "Cocok sama siapa, Tante?" goda Elis. "Sama Ayanglah. Bajunya saja kompakan," jawab Lia yang berbinar melihat kekompakan putrinya dengan Sambara. "Jodoh, ya, Tan." "Amin." "Jodoh apa, sih? Sudah, Ma!" Kahayang sudah semakin tidak nyaman dengan situasi ini. Ia tak mau sikap ibunya membuat Sambara besar kepala. "Kalian janjian?" tanya Lia yang tetap tidak peduli dengan teguran-teguran putrinya. "Gak mungkinlah. Saya aja gak tau nomer dia," dusta Kahayang dan mengirimkan sinyal tajam ke Elis agar gadis itu tidak ikut campur. Elis yang hampir membuka mulut, merapatkan bibirnya dengan geli. "Kok, bisa? Kamu juga gak simpan nomer Ayang?" tanya Lia pada Sambara. "Belum, Ma." Sambara berdusta. Ia gengsi mengakui kalau ia menyimpan nomer gadis itu, sedang Ayang sendiri justru tidak peduli dan tak menyimpan nomernya. "HP-mu mana?" tanya Lia pada Kahayang. "Buat apa?" "Sudah mana?" desak Lia ke putrinya. "Ini Tante." Elis menyodorkan ponsel pintar milik Kahayang dengan senyum kepuasan. "Berapa nomermu, Sambara? Tante miss call dari HP-nya Ayang." "Saya aja yang miss call!" Kahayang dengan cepat mengambil ponselnya. Bisa gawat kalau ibunya membaca nama siluman untuk nomer pria itu. "Berapa nomermu?" tanya Kahayang dengan bentakan. "Tanya yang manis, Ayang," tegur Lia. "Kayaknya Mbak Ayang suka marah-marah," ujar Sambara kalem. Dengan sengaja ia melmepar bensin dalam api. Tatapan setajam silet melayang terarah padanya. "Jangan pakai embel-embel 'Mbak'. Panggil Ayang aja. Biar akrab," pinta Lia. "Iya, Ma." "Siapa?" Sambara terdiam dan bingung. "Apanya siapa, Ma?" "Kamu panggil anak saya siapa?" Sambara menatap Kahayang yang masih melotot. Entah kenapa tiba-tiba dadanya berdebar. Tak hanya kecanggungan yang mendera, tetapi perasaan baru juga hadir. Memanggil nama kecil Kahayang, bagi Sambara seolah memanggil seorang kekasih. Dengan menarik napas dalam, Sambara mulai menyebut nama kecil Kahayang. "Ayang...." Seketika Kahayang menahan napas. Suara Sambara yang dalam menyebut namanya, menciptakan desir baru di dadanya. Ia merasa seolah sedang dipanggil oleh seorang kekasih. Kahayang terbuai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD