Chapter 10

958 Words
Tidak tahan ingin bertemu denganmu segera. *** Sambara membuka lemari pakaiannya lebar-lebar. Salah satunya tangannya di dagu, sedangkan tangan satunya terlipat sebagai penopang siku. Ia tak punya pilihan warna yang banyak untuk jas atau blazer. d******i pakaiannya adalah warna biru, hitam, abu-abu, cokelat dan semua turunannya. Akhirnya ia memilih celana kain warna biru dodger dan kemeja warna biru light steel. Ia memutuskan tidak mengenakan jas, karena hari ini tidak ada rapat penting ataupun pertemuan dengan relas. Dan hari ini, ia akan mengambil jas di toko bunga "Kahayang". Ada desir aneh saat memikirkan bahwa hari ini akan ada pertemuan lagi dengan si Penyihir. Bertanya-tanya juga akan ada kejadian apa dengan gadis itu. Tak disadari Sambara, sebenarnya ia memang menantikan hari ini dan kemarin adalah bonus. Sambara menatap dirinya di cermin lemari. Bayangan si Penyihir memeluk tubuhnya, terasa nyata dan memantul di cermin. "Saya sayang kamu." Kata-kata si Penyihir mengiang lembut di telinga Sambara. Ada perasaan aneh menggelitik relung hati Sambara. Itu bukan kata pertama yang ia terima dari perempuan. Sejak masa sekolah, selalu ada perempuan mendekat dan mengucapkan hal yang sama seperti si Penyihir. Namun, yang ini berbeda. Sambra mengusap wajahnya dan menggumam, "Sinting. Ini gila." Sambar kemudian bergegas keluar kamar. Saat menuruni tangga, hati Sambara langsung mengeluh. Diana, kakak tiri almarhum ayahnya dan Lucy, sepupu tirinya, berhenti tepat di bawah tangga. Sambara yakin keduanya tadinya akan menuju ruang makan. Dan kenapa keduanya berhenti, tak lain dan tak bukan adalah untuk mengintimidasinya. "Oh, menginap di sini?" tanya Diana dengan senyum sinis. "Pagi, Tante," sapa Sambara sopan dan mengangguk pada Lucy yang usianya lebih tua darinya. Sama seperti ibunya, penampilan Lucy juga glamor. Rambutnya panjang disemir warna cokelat tembaga dengan gelombang rapi hasil catok rambut. Lucy cantik. Tetapi riasannya yang tebal dan pekat, membuat penampilan Lucy justru membosankan dan ketuaan dari usia sebenarnya. "Kayaknya sering sekali menginap di sini, ya?" "Iya, Tante." "Padahal sudah ada rumah sendiri. Hadiah dari ayah saya." Sambara merasakan tekanan di kata 'ayah saya'. Sambara kesal dengan penekanan itu, seolah ayahnya bukanlah putra dari Edwin Bimantara dan seolah ayahnya dan keturunannya yaitu dirinya, adalah orang buangan yang dipungut dan diasuh Edwin. "Semua yang di sini sudah punya ruman sendiri, 'kan, Tante? Tapi, masih sering saja datang ke sini dan menginap. Sama seperti saya." Sindiran yang tajam. Sambara mengangguk sopan dan buru-buru meninggalkan Diana dan Lucy, menuju ruang makan. Setelah bayangan Sambara hilang, tubuh Diana seketika oleng. Salah satu tangannya memegang erat pembatas tangga. "Ma...Mama gak apa-apa?" Lucy sigap memegang lengan ibunya. Ia menjadi khawatir dengan keadaan ibunya. "Anak Dajjal! Pantas di malam itu dia selamat. Karena dia dijaga iblis," gumam Diana lirih dengan mata nyalang menatap ke lorong menuju ruang makan. "Sabar, Ma." Lucy menatap sekitar dengan khawatir. "Jangan sampai Opa dengar. Ayo, Ma, kita ke ruang makan. Nanti dia malah tertawa senang kalau kita gak muncul." Kembali Diana mencengkeram tepian tangga. Egonya bangkit. Ia memperbaiki ekspresi wajahnya. Menjadi kaku dan tegas, itu caranya menguasai orang-orang sekitar, yang sayangnya tidak berlaku untuk ayah dan keponakan tirinya. Karena keduanya adalah musuh yang belum bisa ditaklukan Diana. *** Baru ini Sambara merasa kesal dengan bergulirnya waktu. Ia tidak mengerti kenapa detik waktu di jam dinding, di jam meja, di jam laptop, di jam ponsel, sampai di jam tangannya, bergerak begitu lambat. Sepertinya jam sedang kompak-kompaknya mengulur waktu pertemuan Sambara dengan si pemilik toko bunga. Lambatnya waktu juga memengaruhi lambatnya Sambara membaca berkas dokumen yang memerlukan tanda tangannya sebagai persetujuan. Ini bukan tentang Sambara tiba-tiba bodoh hingga tidak memahami dokumen di depan matanya, tetapi ini karena Sambara, di setiap beberapa kata yang tercetak di lembar dokumen, selalu berhenti dan memeriksa jam. Dimulai dari jam meja, jam tangan, jam laptop, jam ponsel, dan terkahir jam di dinding, tergantung tepat di atas pintu. Kening Desi mengerut. Kepalanya sesekali miring ke kiri dan kemudian ke kanan. Mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan perbedaan wujud pimpinannya itu yang terasa aneh. Tak seperti biasanya Sambara begitu lama hanya untuk membaca satu map berkas kerja. Yang lebih anehnya adalah arah tatapan Sambara. Biasanya, begitu fokusnya Sambara bekerja, Desilah yang selalu menjadi alaram hidup. "Maaf, Pak. Berkasnya?" tegur halus Desi, setelah melihat bosnya itu tercenung menatap jam di dinding. "Oh...iya. Oke, oke. Sorry." Sambara tidak tersinggung ditegur halus Desi. Ia justru sedikit malu karena tidak profesional. Bisa-bisanya di jam kerja ia justru memikirkan pertemuannya dengan si Penyihir. "Bapak ada janji temu?" tanya Desi penasaran karena sikap Sambara yang tak biasa. Sambara yang tadinya kembali membaca berkas, mengangkat kepalanya dengan mimik wajah bingung. "Saya ada janji temu?" "Saya sedang bertanya, Pak. Bukan sedang memberitahukan agenda Bapak," ujar Desi dengan tawa geli yang samar. "Oh." Sambara kembali membaca berkasnya dengan sedikit malu karena gerak-geriknya terbaca sekretarisnya. "Nggg..., makan siang jam berapa, ya?" tanya Sambara tanpa mengalihkan keseriusannya. "Mengikuti waktu siapa, Pak?" tanya Desi dengan senyum gelinya. "Kok, waktu siapa?" "Iya. Kalau pakai waktu pegawai, maka waktu istirahat atau waktu untuk makan siang dimulai dari pukul dua belas siang sampai pukul setengah dua siang. Tapi, untuk Bapak, waktu istiraha atau waktu untuk makan siang, mengikuti isi agenda Bapak." "Ooo...." Sambara mengangguk-angguk dan mulai kembali membaca dokumennya. "Dan..., hari ini Bapak tidak ada agenda penting." Desi tersenyum penuh arti, membuat Sambara ikut tesenyum sumringah. Tanpa lama-lama, Sambara segera membubuhkan tanda tangan. Lagi pula, ia sudah membaca dokumen itu kemarin, dan yang disodorkannya sekarang adalah bentukan revisinya. "Sudah jam sebelas, waktunya makan siang." Sambara mengerling dan memakai kaca mata hitamnya, sebelum berdiri. Desi pun ikut berdiri dan mengangguk. "Selamat makan siang, Pak." Sambara mengangguk dengan senyum menawannya dan melangkah cepat ke pintu. Desi mengamati bosnya sampai keluar. Sebagai wanita, Desi menjadi sangat beruntung memiliki pimpinan yang tampan. Tetapi Desi bukan wanita yang mudah jatuh hati pada orang meski orang itu memiliki kelebihan materi juga fisik. Desi hanya sekedar mengagumi, tidak lebih. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD