Chapter 18

1501 Words
Kamu pikir aku tidak tahu kalau aku diabaikan? *** Kahayang turun dari taksi dengan perasaan campur aduk. Ia sudah menimbun kesal dan marahnya sejak siang. Gery sama sekali tidak menelepon apalagi mengirim pesan. Sekalinya mengirim pesan, sudah malam dan hanya satu pesan. Sebuah ajakan makan malam. Kahayang sudah beberapa kali menelepon dan beberapa kali mengirim pesan. Tapi tak ada satu pun yang dibalas apalagi dijawab Gery. Padahal Kahayang menolak untuk makan malam karena dua alasan. Satu, karena Kahayang masih sangat kecewa dan ia sedang butuh penjelasan secara pribadi di tempat yang lebih nyaman, yaitu toko bunganya. Dua, karena ini adalah restoran sangat mewah, tentunya ia harus berganti pakaian yang lebih baik. Namun, karena tidak ada respon, akhirnya Kahayang menyerah. Ia yang tadinya tidak ingin datang, tetapi karena penasaran dengan apa yang akan Gery sampaikan, ia memutuskan datang saja dengan pakaian yang ia kenakan. Sampai di restoran, ia langsung bisa melihat bagian belakang Gery yang duduk di sudut dekat jendela kaca. Ia berjalan masuk dengan perasaan sangat minder. Kahayang mengenakan kaus putih yang pas ditubuh mungilnya dan celana jeans model skinny. Beruntung ia mengenakan sepatu sneakers, jadi tidak terlalu memalukan. "Ger...," sapa Kahayang. Gery menoleh dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Membuat Kahayang mengernyit heran. Gery langsung berdiri, menarik kursi di hadapannya, dan dengan gaya bak pelayan, Gery membungkuk mempersilakan Kahayang duduk. Manis seharusnya dan Kahayang memang tersenyum. Bukan senyum lepas. "Lagi apa tadi?" tanya Kahayang. "Gak ada. Liat-liat HP aja." Gery mengangguk pada pelayan yang menatap keduanya. Dengan sigap si pelayan wanita tersebut menghampiri. Ia menyodorkan dua pasang buku menu untu masing-masing. Yang satu menu makanan dan satunya menu minuman. "Mau makan apa? Ah, saya aja yang pilih,ya." Gery mengerling mendapati tatapan tidak suka Kahayang. "Biar cepat." Kahayang menarik napas dan melepaskan perlahan. Mencoba tenang dan tidak membuat ribut. Sikap d******i Gery sering membuat jengkel Kahayang. Untuk di lain kesempatan, Kahayang tidak keberatan, tetapi saat ini situasinya lain. "Kok, pesan saya, gak kamu balas? Telepon saya juga gak kamu angkat?" tanya Kahayang setelah pelayan wanita itu pergi. "Ooo..., gak sempat baca. Memang tadi nelpon, ya? Kok, saya gak dengar." "Coba aja cek HP-mu," pinta Kahayang gemas. "Iya, gampang, nanti." "Pesan saya juga gak kamu baca. Padahal tadi saya lihat kamu buka WA." "Tadi sibuk balas pesan orang-orang kantor. Pesan kamu turun ke bawah, mungkin." "Sesibuk-sibuknya, masak iya pesan saya yang berulang kali gak sempat kamu baca?" "Ya, udah, maaf. Gak usah diperpanjang. Kan kita sudah ketemu. Katanya kangen." Gery tersenyum manis, memajukan tubuhnya dan berusaha membelai pipi Kahayang. Tapi gadis itu mundur dan melipat tangannya di d**a. "Kamu berubah." "Apanya yang berubah? Kalau masalah intensitas kita, ya, maaf. Ini juga kan demi amsa depan kita," ujar Gery yang mulai ikut kesal. Beruntung minuman pesannya dan Kahayang sudah datang. "Kamu dari dulu memang sibuk. Tetapi kamu gak pernah mengabaikan saya sampai begini. Kamu tidak ada penjelasan apa-apa kenapa kamu tadi siang tidak jadi datang. Padahal, saya sudah capek-capek masak buat kamu." "Ya, makanya saya ajak kamu ke sini. Ini penebusan dari rasa bersalah saya. Tadi ada rapat mendadak. Saya tidak sempat ngabari kamu." "Tidak sempat atau tidak mau?" "Kamu kenapa, sih? Kayak gak menghargai apa yang sudah saya lakukan." "Dan kamu? Apa kamu sudah menghargai apa yang sudah saya lakukan buatmu?" "Kalau saya tidak menghargai kamu dan tidak merasa bersalah, saya tidak akan mengundangmu makan malam di sini," ujar Gery gemas. "Apa kamu bertanya sama saya, apakah saya mau makan di sini? Apa kamu juga bertanya makanan apa yang saya suka di sini?" Gery diam. "Jadi mau kamu sekarang apa?" Belum sempat Kahayang menjawab, ponsel Gery berdering. Seperti orang yang baru pertama mendengar bunyi ponsel, Gery buru-buru mengeluarkan ponselnya, membaca sekilas, dan menekan tombol menolak. Semua tak lepas dari amatan Kahayang yang langsung merasa curiga. "Kenapa ditolak?" tanya Kahayang. "Nomer tidak dikenal." Gery lekas-lekas memasukkan ponselnya. "Mana, coba lihat." Kahayang mengulurkan tangannya. "Kamu mau menembus privasi saya?" tanya sengit Gery. Kahayang menatap tajam Gery. Kemarahannya sudah di puncak. Ia benar-benar merasa diperlakukan tidak adil. "Sekalinya saya menelepon, jangankan diterima, bahkan di-reject pun tidak. Pesan saya juga tidak dibaca. Tapi kalau orang lain bahkan orang asing, dengan sigap kamu mengeluarkan ponselmu. Kayak gini perlakuan kamu sama saya? Jahat kamu." Kahayang menyelempangkan tasnya. Sempat berharap Gery bicara, mencegahnya dan memberikan penjelasan. Tetapi, Gery justru diam saja. Benar-benar pengabaian. Dengan air mata yang sempat jatuh, Kahayang beranjak pergi. *** Terletak di lantai enam salah satu hotel ternama Jakarta, Sambara dan Elle melangkah menuju restoran mewah. Restoran itu bernuansa putih gading, cokelat, dan keemasan. Cukup benderang dengan lampu-lampunya, tetapi tak menyilaukan. Ada ruangan khusus untuk berkelompok, biasanya digunakan untuk pertemuan antar relasi bisnis. Interiornya mewah tetapi tidak berlebihan. Azka dan Elle mengundang Sambara untuk makan malam bersama. Elle sedang ingin masakan china dan salah satu menu favoritnya ada di restoran itu. Sambara tadinya akan berangkat sendiri. Namun, Beby menelepon. Ia yang tadinya ingin kencan dengan Sambara, menjadi urung dengan mengikuti Sambara. Sebenarnya Beby segan ikut. Hanya karena kerinduannya pada Sambara sajalah yang membuatnya terpaksa mengajukan diri untuk ikut menemani. Beby tidak suka dengan Elle. Ia mengenal Elle sejak sekolah sampai kuliah karenanya ia sangat tahu karakter Elle yang suka berterus terang dan pedas dalam bicara. Ternyata keduanya tiba duluan. Restoran cukup penuh karena sudah jam pulang kantor dan memang sudah jam makan malam. Meski restoran mewah, dengan varian makanan yang harga selangit, tetapi restoran itu tidak sepi. Beruntung Azka sudah memesan meja untuk mereka. Sambara dan Elle diarahkan seorang pelayan wanita menuju meja dekat jendela. Saat berjalan, Sambara melihat di sudut lain, sosok Kahayang. Wajahnya terlihat suntuk, tatapannya tajam terarah pasa seorang pria di hadapannya. Sambara tidak tahu bagaimana sosok si pria karena posisi duduknya. Setelah sampai di mejanya, Sambara mengambil duduk yang membuatnya bisa tetap melihat Kahayang. "Mereka masih lama?" "Mmm..., sebentar lagi sampai. Kenapa? Kamu sudah lapar?" Sambara bertanya sembari diam-diam mencuri pandang pada Kahayang yang tempat duduknya cukup jauh. "Sedikit," keluh manja Beby. "Kita pesan makan dulu?" tawar Sambara. "Emang gak pa-pa?" "Ya, gak apa-apa. Kamu kan lapar. Nanti sakit kalau ditunda makannya." Kelembutan dan perhatian Sambara, semakin membuat Beby berbunga-bunga. Sambara bagi Beby adalah laki-laki yang paling ia butuhkan untuk sepanjang hidupnya. Ia tak pernah menemukan lelaki sesempurna Sambara. Tampan, pekerja keras, perhatian, lembut, dan masih banyak lagi. Sayangnya, sampai detik ini, Sambara tak pernah menyatakan perasaan sukanya pada Beby. "Tapi, gak sopan, ah, kalau kita makan duluan. Kita kan diundang," tolak Beby. "Yakin?" Beby mengangguk dan memberikan senyum manisnya. "Ya, sudah, kita pesan minum dulu, ya," tawar Sambara yang langsung dibalas anggukan menggemaskan dari Beby, membuat Sambara tertawa kecil. Setelah memesan minuman, kembali Sambara menatap ke arah Kahayang. Entah kenapa, tetapi Sambara seperti melihat raut wajah Kahayang merona. Kemarahan jelas keluar dari wajah itu. Tetapi posisi tubuh Kahayang terlihat tenang. Kenapa dia? Jangan, jangan, itu cowoknya yang tadi batal makan siang. Tapi, kalau sampai dibawa makan malam ke sini, harusnya dia seneng dong. Kenapa jadi jutek begitu? "Kamu lihat apa?" Pertanyaan Beby  segera mengalihkan perhatian Sambara dari Kahayang. Ia pura-pura melihat ke arah lain dengan berdeham. "Lihat orang-orang aja. Tumben restoran ini ramai." "Iya, ya. Mungkin karena awal bulan," ujar Beby yang dibalas anggukan kepala Sambara. "Bara...." "Ya?" "Sudah banyak teman-teman kita yang menikah dan pada punya anak." Sambara hanya mengangguk dengan tatapan kembali pada Kahayang. Terlihat Kahayang mulai memsang selempang tasnya ke pundak. Sambara gelisah. Gadis itu jelas akan keluar. "Kamu gak pingin juga?" tanya Beby. "Iya, iya." Sambara menjawa tanpa berpikir. Fokusnya pada Kahayang. Jelas lelaki di depannya tak terlalu merespon dan itu sepertinya membuat Kahayang marah. "Iya, iya, aja kalau gak direalisasikan juga gak akan jadi, Bara," goda Beby. Ia tak menyadari jika Sambara tidak sedang fokus akan apa yang Beby ucapkan. Dan itu membuat Beby berkhayal sendiri. "Hai..., sorry, sorry telat. Gila macet." Kehadiran Azka membuyarkan pikiran Sambara pada Kahayang. Ia berdiri, menyalami Azka dan memeluk Elle. Sambara dan Elle adalah sepupu dari pihak ibu Sambara. "Katanya mual. Rewel?" tanya Sambara lembut pada Elle. "Dia orang Indonesia. Gak ada yang cocok ama di luar." Elle tersenyum sembari mengelus perutanya yang belum terlihat menggembung. Elle menatap Beby biasa. "Hai." Beby mencium kedua pipi Elle dan tersenyum riang; senyum dibuat-buat. "Sudah berapa minggu?" "Enam minggu," jawab singkat Elle yang kemudian duduk, diikuti yang lain. "Ngidam apa?" tanya Beby. "Gak ada." "Dia cuma ingin pulang ke Indonesia aja, Beb," ujar Azka. Azka memahami istrinya tak menyukai Beby dan ia sedang menetralisir keadaan. Sambara benar-benar hilang fokus saat Kahayang berdiri dan berjalan cepat keluar dari restoran. Ia melihat gadis itu sempat mengusap matanya dengan kasar dan cepat, tetapi ternyata masih ada air mata yang turun. "Ng..., sebentar, ya." Sambara bergegas berdiri. Saat akan keluar, tangannya dipegang cepat Beby. "Mau ke mana?" "Keluar sebentar." "Ada telpon?" "Bukan. Tapi ada urusan sebentar." "Tapi kan...." "Biarin aja kenapa, sih, Beb. Kayak takut diapain aja kalau ditinggal Bara," tegur Elle dengan nada dingin seperti biasa. "Bentar, ya, Beb." Dengan lembut Sambara melepaskan tangan Beby, setelahnya ia bergegas keluar restoran mengejar Kahayang. Tak memedulikan yang lain. Termasuk Beby yang memandangi punggungnya dengan marah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD