Chapter 19

1236 Words
Jangan menangis lagi, Sayang. Jemariku melindungi sebagian duniamu yang bersedih. *** Beberapa kali Kahayang hampir menabrak orang karena langkahnya yang terburu-buru dengan kepala menunduk atau salah satu tangan mengusap mata yang hampir menurunkan bulir air mata. Kahayang sedang mencoba untuk tegar dan tak menangis di tempat umum. Sulit baginya yang seorang ekspresif. Yang jika ada kekesalan maka akan terluap marah dan yang jika ada kegundahan akan terluap tangis. Kedua kakinya bergerak-gerak gelisah di depan kedua pintu lift di hadapannya. Sesekali ia menoleh ke belakang; masih dengan menunduk, untuk melihat kemungkinan dua pintu lift di belakangnya terbuka. Sedikitnya ia bergumam kesal karena tidak ada satu pun pintu lift yang datang dan terbuka dengan cepat. Saat terdengar denting pintu lift terbuka di belakangnya, bergegas Kahayang berbalik dan buru-buru masuk seolah pintu lift itu akan segera menutup dalam hitungan kurang dari sepuluh detik. Karenanya ia sempat bersenggolan dengan sepasang wanita dan pria yang akan keluar. Dengan sopan Kahayang meminta maaf berulang. Kahayang berdiri di sudut. Semakin menunduk. Kedua bahunya membungkuk. Dan tangis lirihnya pecah. Sudah beberapa bulan ia menahan diri dengan perubahan Gery. Sudah beberapa bulan ia menahan rindu. Pertemuan antara keduanya sudah tak sesering dulu juga tak pernah lama. Kahayang mendengar pintu lift terbuka. Beberapa orang masuk dan ia buru-buru menahan suara tangisnya. Dihapusnya air mata dengan kasar. Berharap tak ada yang tahu kesedihannya. Tapi, Kahayang mengernyit, ketika ada seseorang berdiri di hadapannya. Memunggunginya dengan kedua tangan terentang, menumpu pada kedua kisi-kisi lift, membuat benteng untuk Kahayang. Dan, ya, Kahayang merasa terlindungi. Ia bisa bersembunyi. Untuk yang ini Kahayang bersyukur dengan si pria misterius di depannya. Aroma kayu manis menyeruak samar. Kahayang mengernyit mencoba mengingat aroma yang ia rasa beberapa hari belakangan ia cium. Kahayang sedikit menggeser tubuhnya, mencoba melihat siapa sosok yang menjadi benteng di depannya. Dimiringkannya kepala agar bisa melihat wajah pria yang begitu menjulang tinggi dan Kahayang tak sadar sudah menjijit. Salah satu tangannya memegang bagian belakang jas karena tubuhnya mulai sedikit goyah, sedang tangan satunya memegang tangan yang terentang dan menumpu di kisi pembatas lift. Karena sikapnya yang sudah menyentuh, tiba-tiba si pria menoleh. Seketika Kahayang terhenyak. Dan tubuhnya yang jinjit hampir seperti akan jatuh membuat refleks si pria bekerja dengan cepat memutar tubuhnya dan menahan pinggang Kahayang. "Kamu buntutin saya?" tuding Kahayang. Si pria yang tak lain adalah Sambara hanya bisa melotot, menoleh ke belakang ke beberapa orang yang menatap keduanya dengan bertanya-tanya, dan tersenyum kecut. Kembali Sambara menatap Kahayang dan sedikit merapat. Dengan gemas Sambara berujar lirih, "Ngapain saya buntutin kamu?" "Ya gak tau. Memangnya saya bisa baca pikiran kamu?" "Bukan berarti kamu seenaknya nuduh saya buntutin kamu. Memangnya ini hotel nenek moyangmu?" Terdengar tawa cekikikan yang berusaha ditahan dari beberapa orang di belakang Sambara. Kahayang memiringkan tubuhnya dan melotot ke arah orang-orang itu. Sambara yang tidak enak hati, menggeser tubuhnya, menghalangi arah pandangan Kahayang. Kini keduanya saling melotot. Saling melontarkan kekesalan dan ketidaksukaan melalui pancaran mata yang sama-sama tajam. Saat pintu lift terbuka, Kahayang mendorong tubuh Sambara. Ia bergegas keluar. Ia bahkan sempat menyenggol lengan seseorang yang juga berniat keluar. Jika sebelumnya, Kahayang sempat minta maaf karena menyenggol lengan orang, kali ini tidak. Justru Sambara yang mengangguk dan minta maaf atas kehebohan Kahayang yang melangkah cepat. Sambara keluar mengikuti Kahayang. Salah seorang wanita yang tadinya satu lift, berbisik pada temannya. "Untung cowoknya cakepnya gak ketulungan." "Itu cowok kelilipan apa, sih? Kok, mau-maunya ama cewek ganas begitu," jawab wanita satunya. "Mending buat saya aja." Tawa pun meledak pada kedua wanita glamour itu. Kahayang sudah sampai diluar hotel. Ia celingukan meihat-lihat kemungkinan ada taksi kosong masuk ke pelataran hotel. Kahayang mengeluh karena sepertinya ia harus lebih keluar hotel, berdiri di tepi jalan untuk menghentikan taksi. Masalahnya hujan rintik-rintik membuatnya dilema untuk melangkah jauh keluar hotel. Sambara sendiri setelah menyerahkan kunci mobil pada petugas vallet dan berdiri di sisi Kahayang. Kahayang menoleh sengit dan bergeser dua langkah ke samping. Sambara merapatkan bibirnya gemas dengan cara Kahayang menjauhinya. "Kamu pikir saya kuman?" tanya Sambara. "Kurang lebih." Sambara memutar tubuhnya, menatap dalam wajah Kahayang dari samping. Kahayang melirik sekilas pada Sambara. "Kenapa kamu berpikir saya kuman?" tanya Sambara. "Karena setiap kehadiranmu membuat saya sakit kepala." "Penyebab sakit kepala adalah aktifnya saraf nyeri di kepala akibat gangguan di kepala atau di bagian tubuh kamu yang lain. Bukan karena kuman. Kamu pernah sekolah apa enggak?" "Kuman juga bisa bikin sakit kepala," ujara Kahayang ngotot, meski dalam hati tersirat malu mendapatkan penjelasan seilmiah itu dari Sambara. Sambara meringis, menatap Kahayang dengan tatapan mengejek. "Mungkin kemampuan orang pendek berpikir itu memang sependek tubuhnya." Kahayang panas hati. Ia mendekati Sambara, dengan mendengkus kesal ia mendongak hanya agar bisa menatap wajah Sambara. Sambara sendiri menyengir saat menunduk agar bisa menatap Kahayang. "Kamu ngatain saya?" "Enggak," jawab Sambara kalem. Mobilnya berhenti tepat di hadapan Sambara. Sopir vallet keluar dan berdiri di sisi mobil menunggu Sambara masuk. Sambara membuka pintu di sisi penumpang. "Ayo, masuk." Kahayang melirik. Mobil Sambara menggiurkan daripada mobil taksi. Ditambah, jika pulang dengan Sambara, ia tidak harus mengeluarkan uang. Tetapi, gengsi yang tinggi menahan Kahayang. "Udah, ayo, masuk cepat. Hujan ini." Sambara memegangi kedua pundak Kahayang dan mendorong gadis itu ke sisi penumpang. Kahayang tentu berontak, tetapi ia kalah kuat dengan Sambara yang kemudian sudah menghadang posisinya. Tubuh Kahayang sudah berada tepat di sisi penumpang yang sudah dibuka pintunya. Tangan kiri Sambara menopang di pintu dan tangan kanan menopang di kap atas mobil. Jika Kahayang maju sedikit saja, maka tubuhnya akan merapat ke tubuh Sambara. Begini dekat saja sudah membuat ia merasa aneh apalagi merapat. Kahayang tidak punya pilihan, ia akhirnya duduk di kursi penumpang dengan kasar. Sambara tersenyum penuh kemenangan. Ia kemudian menuju ke sisi bagian sopir. Setelah memberi sedikit tips pada petugas vallet, Sambara masuk dan melajukan mobilnya dengan santai di tengah gerimis hujan. "Di hotel ngapain?" tanya Sambara memecah sunyi di dalam mobil. Sambara tahu, tetapi ia memosisikan seolah tidak tahu apa-apa. "Mau tau aja. Kamu di hotel ngapain juga, saya gak nanya," ketus Kahayang. "Kenapa gak nanya? Tanya, dong." "Gak penting." Kahayang melengos dan menatap jalanan di sisinya. "Kalau gitu, kamu di hotel ngapain?" ulang Sambara. Kahayang mendiamkan. "Jangan-jangan.... Kamu...." "Pikiran kamu busuk, ya! Saya di hotel gak ngapa-ngapain. Saya makan!" bentak Kahayang. "Ooo.... Makan...." Sambara tersenyum jail. "Memperbaiki makan siang yang gagal, ya." "Kepo!" "Berarti bener. Pasti makan malamnya lagi kacau, makanya kamu uring-uringan." "Kamu, kok cerewet, sih? Turunkan saya. Kamu tau gak kalau orang lagi kesal? Jangan mancing-mancing! Turunkan saya. Turunkan!" pekik Kahayang dengan air mata yang tidak bisa ditahan. Hatinya benar-benar dipenuhi kemarahan dan kesedihan secara bersamaan. Kahayang merasa hari ini adalah hari sialnya sejak siang. Ia merasa semua pria hanya membuatnya menangis dan terluka. Sambara panik dan mulai merasa bersalah saat menoleh dan mendapati wajah marah Kahayang yang dipenuhi air mata. "Maafkan saya. Maaf, ya. Saya gak akan nanya-nanya lagi. Saya antar kamu pulang." "Enggak perlu! Pokoknya turunkan saya!" "Ini susah, Ayang. Kita berada di tengah jalan dan semua mobil melaju cepat. Palagi hujan. Sudah, ya. Maafkan saya." Kahayang menarik napas dan melepaskannya kasar. Sekali lagi ia selalu tidak punya pilihan. Kahayang menyentak tubuhnya saat bersandar dan memalingkan wajah dengan kesal menatap sisi jalan. Dengan kasar, Kahayang menghapus iar mata yang mengalir. Kahayang terkejut tetapi mendiamkan saat ia merasakan jemari hangat Sambara mengambil jemari kanannya dan meremasnya dengan lembut dan sedikit penakanan. Sungguh ajaib Kahayang justru merasa cepat tenang. Kehangatan jemari Sambara mengalir lembut sampai ke dalam dadanya. Sudah lama ia tak merasakan kehangatan genggaman tangan dari seorang pria. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD