Chapter 20

1280 Words
Rumahku bagai istana, tetapi dingin. Rumahmu bagai rumah liliput tetapi hangat. *** Hujan yang rintik-rintik sudah berhenti sejak mobil Sambara memasuki kawasan toko bunga Kahayang. Dengan sedikit arahan dari Kahayang, kini mobil Sambara berhenti di depan sebuah rumah yang sederhana tetapi asri dan terasa hangat. Saat itu juga Sambara langsung menyukai rumah Kahayang dan penasaran akan bagaimana di dalamnya. Rumah Kahayang ternyata tidak terlalu jauh dari restoran keluarga dan dari toko bunga. Rumah dengan dua lantai itu memiliki desain sederhana dengan ornamen kayu menjadi pemanis. Warna yang dipakai menunjukkan kedinamisan pemiliknya; merah kecokelatan, kuning, dan putih. Selain garasi juga ada halaman sederhana yang rimbun rapi dengan penataan tanaman hijau juga bunga-bunga. Rumah yang mengingatkan Sambara akan rumah-rumah di pedesaan. "Sudah puas liat-liatnya? Kaget? Ternyata ada rumah sekecil itu di belantara kota Jakarta ini?" Sambara yang tadinya masih mengagumi rumah Kahayang, mengalihkan perhatian pada Kahayang dengan tatapan dingin. "Kamu ini kecil-kecil mulut kamu pedas juga, ya." Kahayang menjadi tidak enak hati. Apalagi ditatap sedemikian rupa oelah Sambara. Baru ini ia merasa terintimidasi oleh tatapan seorang pria. Gery saja tidak pernah bisa membuat Kahayang berada pada posisi salah tingkah seperti saat ini. "Ah, sudahlah. Terima kasih tumpangannya." "Oke," jawab singkat Sambara yang kemudian menatap ke depan, tidak mengacuhkan Kahayang. "Kamu langsung pulang, ya. Gak usah nungguin saya masuk." Kahayang khawatir ibunya tiba-tiba keluar dan melihat mereka, kemudian heboh sendiri. "Oke." "Kamu nanti lurus saja, nanti ada perempatan, kamu ke kanan." Kahayang tidak tahu kenapa juga ia harus menunjukkan arah jalan, padahal Sambara juga tak menanyakan. Mungkin karena jawaban Sambara yang singkat dan Sambara yang tak menatapnya lagi. Lah, ngapain saya jadi bingung sendiri, batin Kahayang. "Oke." "Saya turun, ya." "Oke." "Kamu harus langsung pergi, lho." Sambara menunduk, melepaskan napas. Kepalanya terangkat sedikit dan dimiringkan. Tajam, kelam, dan menggoda. Itu yang ada di benak Kahayang. Apalagi mata itu dinaungi alis tebal yang lurus ke atas. Mengingatkan Kahayang akan raja-raja Mongolia di film-film. "Sebenarnya kamu mau menahan saya pergi atau kamu ada maksud lain yang saya tidak mengerti dengan memberikan saya arahan-arahan tidak jelas." Kahayang bergidik dengan ekspresi jijik. "Ihyuuu.... Sorry, sorry, aja saya nahan-nahan kamu. Kamu pikir saya kurang kerjaan, apa? Saya keluar sekarang." "Oke." Kahayang membuka pintu dengan gemas. Belum juga ia turun, terdengar bunyi klakson sepeda motor yang begitu nyaring dan sengaja ditekan agak lama. Kahayang terkejut dan kemudian nganga. Di depan mobil Sambara dengan sengaja sebuah sepeda motor matik berhenti. Lia turun dari motor dan telapak tangannya sedikit menutupi mata yang terasa silau terkena lampu sorot mobil. Dengan sigap Sambara mematikan lampu sorot. Setelah Lia turun, sepeda motor langsung meluncur memasuki rumah. "Gawat," gumam Kahayang. Dengan agak gugup, Kahayang menarik tangan kiri Sambara yang tadi di setir mobil. Ia memeriksa waktu di jam tangan Sambara. "Jam berapa ini?" Kahayang menggerak-gerakkan tangan Sambara agar bisa melihat dengan tepat waktunya. "Kamu kan pakai jam tangan sendiri." Sambara menunjuk pergelangan tangan kanan Kahayang. "Oh, iya." Kahayang melepaskan begitu saja tangan Sambara dan memeriksa waktu di jam tangannya sendiri. Sambara tersenyum geli. Sikap Kahayang yang ceroboh dan mudah gugup, selalu menciptakan kelucuan-kelucuan baru. Dan hal itu yang selalu membuat Sambara senang menggoda Kahayang. "Ayang...." Lia sudah membuka pintu mobil lebih lebar yang tadinya hanya dibuka sedikit oleh Kahayang. Lia membungkuk untuk bisa melihat lebih ke dalam. "Sambara...." Senyum mengembang sangat lebar mengetahui siapa yang sedang bersama putrinya. "Kok, bisa sama-sama, bukannya kamu tadi pamitnya pergi untuk ketemu Ge...." "Ma!" Kahayang memotong ucapan Lia dengan menyapa ibunya mengunakan nada yang tinggi. Senyumnya sengaja diukir saat Lia menatap Kahayang bingung. "Kok, sudah pulang?" "Kan sudah jam delapan." Perhatian Lia kembali pada Sambara. "Bara, kenapa mobilnya tidak parkir?" "Dia mau langsung pulang, Ma," sahut Kahayang yang bertindak sebagai juru bicara. "Kenapa buru-buru pulang?" "Kan capek, Ma baru pulang kerja." Lia melirik putrinya dengan kesal. Yang ditanya Sambara yang menjawab malah Kahayang. "Bara sudah makan?" "Sudah," sahut cepat Kahayang. "Belum," jawab kalem Sambara. Kahayang menoleh cepat, tangannya terkepal dan terangkat sedikit. Keinginannya adalah meninju lelaki yang sudah membuatnya kesal sepanjang jalan. Lupa kalau dirinya sudah diselamatkan dari malu saat di lift dan lupa juga kalau dirinya sudah diantar pulang. "Ayo, turun, Mama siapkan makan malam." Terdengar bunyi klakson dari sepeda motor lain. "Nah, itu papanya datang." Lia berlalu mendekati suaminya yang memasukkan motor ke garasi. "Sebenarnya apa maumu?" tanya Kahayang dengan suara mendesis agar kemarahannya tak didengar ayah ibunya. "Mau apa?" "Kamu kan bisa makan di rumahmu sendiri." "Males. Udah sana turun, saya mau parkir." Dengan tangannya, Sambara mengusir Kahayang. Kemenangan berpihak padanya, meski ia tak tahu pencapaian apa yang sedang diperjuangkan. Yang penting keributan antara dirinya dan Kahayang dimenangkan dengan undangan makan malam dari orang tua kahayang. *** Sebelum memasuki ruang makan, Edwin menghela napas. Dulu, karena istri pertamanya, membuat ia malas pada ritual makan bersama di ruang makan. Sekarang karena putrinya. Padahal makan bersama di ruang makan adalah momen baginya bisa berkumpul. Palagi makan malam. Waktu yang lebih santai karena tidak diburu-buru dengan aktifitas wajib seperti pekerjaan. Kembali ia menghela napas saat melihat putrinya beserta suami dan anak perempuannya, sudah ada di meja makan. Duduk tenang, menanti kemunculan Edwin. Rupanya Diana merealisasikan ancamannya pada sang ayah, ia akan terus mengganggu sang ayah sampai tuntutannya dipenuhi. Edwin duduk dengan berat hati. Lucy cucunya memberikan senyuman manis. Lucy sangat mirip ayahnya pada hal kepribadian. Lembek, menikmati kemewahan, dan agak bodoh.  Tapi, Edwin tak merisaukan. Perempuan terlalu pintar jatuhnya menjadi penuntut tiada batas, batin Edwin sembari melirik ke arah putrinya, Diana. "Deon mana?" tanya Edwin menyadari cucu laki-lakinya yang lain tidak ada. "Masih di kantor. Dia kan pekerja keras. Dia akan menjaga perusahaan dan...." "Iya, iya, iya. Ayo, makan," potong Edwin yang malas mendengarkan jilatan putrinya. Wajah Diana mengeras. Dia paling tidak suka diabaikan bahkan oleh ayahnya sendiri. "Sambara mana? Deon bilang dia bahkan sudah keluar dari kantor sebelum pukul tujuh malam." "Anakmu perhatian sekali," sindir Edwin yang sudah menerima semangkuk sup merah dari Supeno. "Dia gak sengaja liat kepergian Sambara. Papa jangan sinis begitu." "Yang sinis siapa? Bukannya benar kalau itu namanya perhatian? Atau harusnya saya bilang kalau Deon itu pelapor yang baik sekali?" Diana meletakkan sendok garpunya dengan marah. Dentingnya membuat Roy dan Lucy terkejut. Keduanya sama-sama menatap Diana diam-diam. "Papa jangan berpikiran negatif sama Deon! Dia bukan melaporkan kegiatan Sambara, tapi dia menjawab apa yang saya tanya. Papa pikir Deon gak sibuk meski jabatannya cuma CMO? Dia itu pekerja keras, dia itu...." "Ah, sudahlah, cukup,cukup. Saya lagi makan." Edwin mengibaskan tangan mengisyaratkan pada Diana untuk diam dan melakukan pengabaian. "Pa...! Kenapa Papa tidak peduli sama Deon? Dia sampai jam segini masih di kantor sedangkan Sambara...., di mana dia? Papa harusnya sudah bisa menilai loyalitas cucu-cucu Papa pada perusahaan. Jangan berpihak sebelah pada yang lainnya yang entah ke mana dia." "Dia makan malam dengan teman-temannya. Dia sudah ijin saya," jawab kalem Edwin. Jawaban yang langsung membuat Diana kembali mengalami kekalahannya karena melontarkan prasangka. "Lagi pula, buat apa lama-lama di kantor kalau sudah tidak ada yang dikerjakan. Pencitraan." Edwin berdiri dari duduknya. Ia sudah tidak selera menghabiskan supnya. Ditatapnya Diana dengan muak. "Saya mau makan di kamar." Roy menyikut lengan istrinya setelah Edwin dan Supeno berlalu. "Kamu kenapa frontal? Papa kan jadi marah." "Kamu kenapa lembek? Anakmu sedang disudutkan. Tidak bisakah kamu bertindak tegas?" tanya Diana sengit. "Liat situasinyalah. Kita lagi makan." Diana berdiri. "Makan aja yang ada di pikiranmu, pantas otakmu gak jalan." Diana menoleh ke Lucy. "Berhenti makanmu. Kita makan di luar aja." Diana melangkah cepat meninggalkan ruang makan. Lucy hanya bisa memandangi ayahnya dengan perasaan menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah semua pergi, Roy melanjutkan makannya. Wajahnya terlihat tenang. Tetapi, setelah Roy minum, ia justru terdiam. Tangannya memegang gelas dengan penekanan yang kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tak lama, gelas yang dpegang, pecah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD