Chapter 21

1068 Words
Ada yang dilupakan begitu saja. Amarahnya bertumpuk menjadi kerak. Dan menghancurkan yang didekatnya. *** Ruang makan yang kecil. Meja oval yang tak terlalu panjang dengan lima kursi mengelilingi. Sungguh jauh kontras dengan ruang makan di rumah Sambara yang yang luas dengan meja segi empat yang cukup lebar dan panjang. Tak ada pernak-pernik istimewa seperti guci-guci atau interior unik dan mewah. Semuanya sederhana dan ditempatkan berdekatan. Sama dekatnya dengan nasi, lauk pauk, sayur, dan satu pitcher jar es teh manis dengan irisan tipis lemon. Sama dekatnya dengan keluarga Kahayang yang duduk di meja makan tanpa jarak yang jauh. Memudahkan masing-masing untuk mengambil apa yang diinginkan, baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan yang lain. Ia tak keberatan dengan pertanyaan beruntun dari Lia. Ia juga tak keberatan dengan keributan antara Kahayang dan Lingga. Ia juga tak keberatan dengan perhatian Andin yang terus menyuruhnya untuk menambah lauk atau nasi. Sambara tidak keberatan untuk banyak hal di rumah sederhana itu. Karena ia merasakan kehangatan dan kedekatan yang tak pernah ia rasakan. Sambara tak memiliki kenangan yang banyak dengan sang ayah yang sudah meninggal. Sedangkan dengan kakek dan ibunya, meski ada keceriaan dan kehangatan, tetapi tak seriuh di rumah Kahayang yang membuat seolah semua hidup. Setelah makan malam, Andin mengajak Sambara mengobrol di ruang tamu. Kahayang dan Lia, membereskan meja makan sedangkan Lingga masuk ke kamarnya. Sambara sempat heran tapi sekaligus kagum dengan orang-orang di rumah ini, terutama Andin dan Lia. Baru ini ia bertamu yang disambut orang tua, tetapi tidak ada pertanyaan detail perihal keluarga. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan menyelidik tentang latar belakang keluarga. Semua pertanyaan mengalir pada hal-hal yang sifatnya umum. "Udah malam, lho," cetus Kahayang yang sudah muncul. "Ayang...," tegur lembut Andin. Biar bagaiman tidak sopan menegur tamu dengan nada ketus. "Ya, kan memang udah malam. Lagi pula kita kan perlu istirahat." "Ayang!" Kali ini Lia menegur dengan mata melotot. Ia muncul dari belakang dan berdiri di sisi putrinya. "Biasanya juga kita tidur lebih malam. Dan lagi itu Sambara kan baru selesai makan. Gak baik usir-usir tamu. Ini juga masih jam sembilan, masih jam normal." Sambara terkejut saat Lia menyebutkan waktu. Ia baru ingat akan Beby yang ia tinggalkan di restoran besama Azka dan Elle. Ia juga teringat kalau ponselnya ia set senyap; kebiasaan jika jam kerja berakhir. Sambara mengeluarkan ponselnya. Ada puluhan panggilan dan puluhan pesan WA dari Beby. Ada juga beberapa dari Azka. Sahabatnya itu menanyakan keberadaannya. "Ayang benar. Ini sudah malam. Papa Andin dan Mama Lia pasti butuh istirahat." Saat menyebutkan Papa dan Mama, Sambara masih kikuk. Lia mendesak Sambara untuk menyebut keduanya dengan Papa dan Mama kalau mau dianggap keluarga. Sambara sendiri tidak keberatan, bahkan di dalam hatinya, ia senang. Hanya saja ini masalah kebiasaan. "Haduh, abaikan saja Ayang. Dia memang orangnya begitu. Galak," ujar Lia, membuat Andin dan Sambara tertawa terkekeh. "Kalau galaknya, sudah biasa, Ma. Hehehe...." Sambara berdiri diikuti Andin. "Tapi ini sudah malam. Pa, Ma, saya permisi pulang. Dan makanannya, benar-benar terima kasih. Ini adalah makan malam teristimewa buat saya." Lia langsung tertawa senang. Pujian Sambara membuatnya berbunga-bunga. "Sering-sering main ke sini atau restoran. Biar mamanya Ayang ada kesibukan memasak buatmu." Andin memajukan tubuhnya dan bersuara pelan. "Kalau gak ada kesibukan, mamamnya Ayang akan sering ngomel." "Pa...!" pekik Lia gemas. Andin dan Sambara tertawa. Setelah berpamitan, Kahayang mengantar Sambara keluar. Itu pun bukan atas kemauannya sendiri, melainkan didesak Lia. Setelah Sambara keluar pagar, Kahayang dengan kasar menutup pagar dan langsung menggemboknya. Sambara berbalik dan melongo dengan sikap kasar Kahayang. Ini seperti dirinya adalah penjahat mengerikan yang punya niat merampok dan niatnya ketahuan sama pemilik rumah hingga harus cepat-cepat pagar rumah digembok. "Apa?" sentak Kahayang dengan mata bulatnya yang semakin bulat. "Saya bahkan belum ada lima langkah dari pagar," ucap Sambara dengan mimik kesal. "Kalau perlu, baru selangkah aja, sudah langsung saya rantai pagar rumah dan saya semprot dengan disinfektan. Udah sana pergi, pergi. Hushh..., hushh...." Sambara tidak bisa berbuat apa-apa. Meski kesal dan dongkol, tetapi ia hanya bisa menahan saja. Ia pun berbalik. "Dan jangan kembali lagi ke sini atau restoran, ya!" Langkah Sambara terhenti. Sebuah seringai licik terukir di wajahnya. Kembali Sambara memutar tubuhnya menghadap Kahayang yang masih berdiri di balik pagar. "Maaf, ya. Kali ini doamu tidak akan terkabul. Daaa...." Sambara melambaikan tangan dan santai melangkah menuju mobil. "Gak usah datang-datang! Dasar siluman muka badak!" pekik Kahayang yang diabaikan Sambara. Lelaki itu masuk ke dalam mobilnya dan tak lama mobil melaju meninggalkan rumah Kahayang. Meninggalkan Kahayang yang geram sendirian. *** Di kamarnya yang bernuansa merah muda dan emas, Beby terlihat gelisah. Ia berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan memegang ponsel. Hatinya geram, pikirannya bertanya-tanya. Baru kali ini Sambara berlaku aneh yang parahnya membuat Beby menjadi malu. Laki-laki itu yang tadinya pamit keluar sebentar, ternyata tidak pernah kembali sampai makanan penutup selesai dihabiskan. Pesan WA-nya tak ada satu pun yang dibaca, begitu juga panggilan teleponnya, tidak diangkat. Beby memeriksa jam di ponselnya. Sudah jam sembilan malam lebih. Ia kemudian memeriksa pesan WA. Saat melihat tanda dua centang yang tadinya abu-abu menjadi biru, Beby langsung menelepon Sambara. "Hai, Beb. Kamu sudah di rumah?" tanya Sambara setelah menerima telepon dari Beby. Suara Sambara terdengar santai. Beby benar-benar ingin teriak marah, tetapi masih ditahannya. "Kamu ke mana aja?" "Maaf, Beb. Tadi ada urusan lain." "Pekerjaan?" "Bukan." "Lalu?" "Ada urusan lain." Beby mengeratkan pegangannya di ponsel. Jelas Sambara tidak akan memberitahukannya apa yang menjadi urusan pentingnya. Sedangkan Beby sangat ingin ada penjelasan yang sejelas-jelasnya karena dirinya sedang dikecewakan. "Tapi, setidaknya kamu ngabarin saya. Gak hanya pergi begitu saja," desis Beby. "Iya. Maafkan saya untuk itu." "Hanya maaf?" Hening di seberang telepon karena Sambara tidak mengerti apa maksud dari kata 'hanya' yang keluar dari Beby. "Lalu saya harus apa?" tanya Sambara. Pertanyaan yang seketika membuat Beby tak bisa lagi menahan emosinya. "Itu aja kamu harus tanya? Kamu ajak saya pergi dan kamu telantarkan saya begitu saja, sekarang kamu tanya kamu harus apa?" "Saya memang tidak tahu saya harus apa. Dan lagi, kamu yang memaksa untuk ikut acara makan malam saya dengan Azka dan Elle. Beby, saya sedang menyetir. Sekali lagi saya minta maaf. Jika ada hal yang harus saya tebus, beri tahu saya apa. Maafkan saya sudah msangat mengecewakanmu. Sudah malam, istirahatlah." Telepon ditutup dulu dari pihak Sambara. Beby hanya bisa menatap ponselnya dengan mulut terbuka. Sambara begitu santai menanggapi kemarahannya. Seolah Beby tidak ada artinya. Meski kenyataannya dirinya memang bukan siapa-siapa. Tapi, harusnya Sambara tidak mengabaikannya. Beby menjerit dan melempar keras ponselnya ke tembok hingga hancur. "Sambara b******k!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD