Chapter 22

1106 Words
Perebutan kedudukan dengan sayembara sebagai penebusan dosa masa lalu. *** Sebelum membuka pintu kamarnya, Sambara melepaskan napas dulu. Sejak kepindahan keluarga Diana, sesuatunya jadi terasa sesak dan memberatkan, bahkan untuk pergi sarapan pagi. Seharian ia tak bertemu dengan Edwin. Penebusannya hanya bisa ia lakukan saat sarapan dan makan malam. Sejak menjadi yatim piatu, Sambara tak mau menyia-nyiakan kebersamaannya dengan orang tersayang, Edwin Bimantara. Dengan keengganan yang tak bisa disembunyikan, Sambara keluar kamar. Berharap-harap ia tak berpapasan dengan Diana. Meski terbiasa dengan nada sinis, tetap saja Sambara harus menahan diri agar tak emosi. Rupanya, kemarahan Diana pada nenek Sambara, terus berlanjut sampai pada sang cucu, tak lain keponakan Diana; Sambara. Sempat Sambara bersyukur karena tak bertemu Diana. Namun, kelegaan itu sesaat. Sampai di ruang makan, semua mata memandang ke arahnya. Di kursi utama, Edwin belum muncul. Hal yang tak biasa. Edwin selalu bangun lebih pagi dan selalu lebih awal ada di ruang makan. "Opa sakit?" tanya Sambara lirih pada Deon setelah duduk di sebelahnya. Deon membalas dengan senyum manis dan mengedikkan bahu. "Mungkin menunggu Paduka Yang Mulia Agung muncul duluan. Karena kan sebelumnya kita semua yang menunggu Paduka." Kesinisan di pagi hari dari Diana. Sambara menelan liurnya, menahan luapan marah yang sudah di tenggorokkan. Sambara berdiri, menepuk lembut pundak Deon. "Saya liat Opa dulu." "Oke," jawab Deon dibarengi acungan ibu jari. Punggung Sambara terasa panas. Ia tahu, mereka yang di meja makan sedang memandangi pungunggungnya dengan tatapan tajam. Dan tatapan terpanas adalah dari Diana. Sambara melangkah cepat menuju kamar Edwin Bimantara. Ia melihat Supeno bersama seorang pelayan wanita yang membawa troli penyaji makanan. Keduanya sudah masuk duluan. Sambara lekas-lekas menyusul. Tanpa mengetuk pintu kamar, Sambara masuk. "Opa sakit?" Sambara melewati Supeno dan pelayan wanita, mendekati opanya yang terkekeh di depan sangkar burung murai. Opanya duduk santai di teras luar kamar. Supeno langsung memindahkan sangkar burung, membersihkan meja dan mulai menata makanan untuk Edwin. Sedangkan Sambara duduk di depan opanya. "Sarapan di sini?" tawar Edwin. "Di sini tenang. Di ruang makan, panas. Hehehe...." "Opa..., ama anaknya sendiri omong begitu. Semua lagi nungguin Opa." "Biar aja. Opa juga gak suruh mereka nungguin Opa." "Tapi kan kasihan, Opa. Udah, ayo, makan di meja makan sama saya." Edwin memandangi Sambara dengan senyum tipis. "Kamu persis omamu." "Apanya yang persis, Opa?" "Nuntutnya. Hehehe...." Sambara tersenyum simpul. Kakeknya bukan sedang menilai buruk neneknya. Edwin justru menilai positif. Ini karena tuntutan neneknya, selalu terkaiit dengan ikatan terjalin antar istri dan keturunannya. "Ya, sudah. Ayo, Opa makan di meja makan." "Gak enak makan di sana," tolak Edwin. "Apanya yang gak enak? Masakan juru masak rumah Bimantara itu tiada tara lezatnya," goda Sambara. "Bukan makanannya yang gak enak. Tapi Diana." "Jangan gitu sama anak sendiri," tegus Sambara yang dibalas kekehan Edwin. "Keadaan makin gak enak kalau Opa tetap makan di kamar." "Opa bosan dengan urusan kedudukan. Opa memang punya kuasa, tetapi menerima keputusan dewan direksi dan pemegang saham, adalah wujud dari penghormatan pada mereka yang sudah loyal dengan perusahaan. Opa gak mau dikata otoriter." Sambara mengembuskan napas dan bersandar. "Opa. Kalau sekiranya ini menjadi kekisruhan, saya gak apa-apa mengundurkan diri dari CEO." "Jangan gila kamu!" Tatapan Edwin sengit. Nada bicaranya pelan tetapi ada penakanan yang dalam. "Jangan nambah-nambah pikiran Opa. Opa sudah cukup capek dengan Diana." "O...." Semua menjingkat terkejut dan sama-sama menoleh ke arah pintu yang terbuka. Di sana sudah ada Diana. Wanita itu berjalan pasti menuju Edwin dan Sambara. Bunyi sepatu hak tingginya menggema mengerikan bagi Supeno dan pelayan wanita. Keduanya mundur agak menjauh, memberi ruang bagi Diana mendekat. "Jadi Papa capek dengan saya dan tidak capek dengan dia?" telunjuk Diana terarah pada Sambara. "Anak dari pria yang ibunya merebut ayah dari...." "Halah...." Edwin mengibaskan jelamrinya. Mimik kelihatan sangat bosan. "Gak usah bicara berlebihan, meski itu kenyataan." "Siapa yang berlebihan? Papa yang justru berlebihan. Buat apa pakai sarapan di kamar? Segitu jijiknya sama saya dan keluarga saya? Begitu?" "Tante, silahkan duduk." Sambara berdiri dan mempersilakan Diana. "Dari bibitnya penjilat. Sampai keturunannya jadi penjilat juga, ya." "Diana!" Edwin menggebrak meja. Membungkam semua kata yang bersiap menyembur. "Apa mau kamu?" Diana menelan ludahnya sebelum bicara. "Papa sudah tau mau saya apa. Saya anak tertua. Deon adalah cucu tertua. Harusnya kedudukan perusahaan mengikuti garis." Edwin dan Diana beradu mata. Masing-masing mempertahankan posisi. Edwin mendesak putrinya agar tak banyak menuntut, sedangkan Diana bersikeras tidak akan merubah tuntutannya. "Opa...." Suara Sambara membuyarkan perang mata antara ayah dan putrinya. Masing-masing melepaskan napas panjang. Membuang gumpalan di d**a. Edwin dan Diana menatap Sambara dengan tanya. "Saya serius dengan kata-kata saya tadi Opa." "Tidak bisa!" bentak Edwin dengan nada keras. Membuat Sambara tidak enak hati. Opanya bukanlah seorang yang pemarah dan ini kemarahannya yang pertama dengan bentakan tinggi. Diana menatap Sambara dengan penuh cuirga. Ia tidak tahu apa dibicarakan ayahnya dengan Sambara di permulaan. "Memangnya kamu omong apa?" "Nggg.... Saya...." "Diam!" Edwin melebarkan matanya pada Sambara. Tangan tuanya mengepal dan gemetar di tepi meja. "Kenapa disuruh diam. Saya juga pingin tau Samabar mau omong apa?" Diana menatap Sambara. "Kamu mau serius menguasai perusahaan, begitu, ya?" "Bukan. Bukan begitu. Saya...." Sambara tidak melanjutkan kalimat pembelaanya karena Edwin berdiri dengan kasar. Edwin mendekati Diana dengan kemarahan memuncak yang tak ia sembunyikan. "Puluhan tahun saya merintis dan membesarkan Bimantara. Selama itu, saya tidak pernah otoriter sepertimu. Keputusan sudah dibuat. Tapi..., karena kamu mendesak dan memaksa. Maka saya akan buat sayembara buat kedua cucu-cucu saya." "Sayembara? Sayembara apa?" tanya Diana penasaran. "Kalian berdua keluar dan tunggu di ruang makan. Dan selama itu, saya tidak mau ada kegaduhan. Terutama darimu Diana. Lucu jika kamu mengajak ribut keponakanmu sendiri. Sekarang, keluar kalian semua." Dengan patuh, Sambara keluar dari kamar, diikuti Diana. Tak ada dialog terjalin antara tante dengan keponakannya. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bertanya-tanya sayembara apa, yang akan diberikan Edwin. Di kamar, Edwin duduk di tepi tempat tidur, menenangkan dirinya yang renta. Ia kehabisan tenaga karena kemarahannya yang singkat. Umurnya sudah tak lama lagi. Tetapi, ia ingin apa yang menjadi miliknya, bisa dinikmati pada yang seharusnya memiliki. Ada kisah masa lalu atas berdirinya Bimantara dan Edwin ingin memerbaikinya.  Supeno sudah selesai menyiapkan dua buah amplop cokelat. Ia menatap tuannya dengan iba. Edwin yang memang sudah tua, terlihat jauh lebih tua dan melemah. "Tuan. Apa Anda siap dengan hasil dari taruhan ini?" tanya Supeno. "Saya tidak tahu, Peno. Saya menaruh harapan besar pada kedua anak ini. Tapi, jika gadis itu memilih yang bukan pilihan saya, ya, saya terpaksa ikhlas. Yang penting gadis ini dan keluarganya, sudah mendapat tebusan dari saya." Edwin menatap Supeno dengan tatapan sendur. "Saya ingin mati dengan tidak membawa beban banyak. Saya ingin mati dengan membawa maaf dari keturunan dia." Supeno mengangguk. Edwin kemudian berdiri dibantu Supeno. "Mari kita temui mereka. Kita mulaikan sayembaranya." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD