Chapter 23

1323 Words
Takdir yang tak terduga. Aku dan kamu diisyaratkan. Aku dan kamu selalu bertemu. *** "Ini?" Azka melotot pada Sambara. Di dalam matanya ada kegelian juga keterkejutan. Tawanya kemudian pecah melihat anggukan lemah Sambara. Sahabatnya itu duduk di tengah sofa panjang, merentangkan kedua tangannya pada sandaran sofa, merebahkan kepalanya pada sandaran hingga mendongak menatap lampu gantung. Sikapnya terlihat pasrah akan apa yang menjadi mandat dan itu menggelikan Azka karena ia tahu Sambara sebenarnya adalah seseorang yang kompetitif. Ia hanya mengalah jika terkait dengan keluarganya. Dan saat ini, saiangan Sambara adalah sepupunya sendiri. Ini yang membuat Sambara datang-datang melempar amplop cokelat dan setelahnya melempar tubuh ke sofa. Bersaing dengan keluarga sendiri, menjadi beban bagi Sambara. "Jadi bagaimana ceritanya gadis ini menjadi sayembara?" tanya Azka yang sudah ikut duduk di sofa. Sambara menegakkan tubuhnya. Sikapnya masih loyo saat menceritakan keributan di kamar Opa Edwin. Dan menjadi agak serius setelah menceritakan kelanjutannya di meja makan. *** Supeno meletakkan amplop cokelat kecil ke sisi piring Sambara dan Deon. Semua mengernyit, bertanya-tanya. Deon memegang amplop cokelatnya. Mencoba merasakan isi amplop dan menerka apa isi sebenarnya. Tatapannya berpindah dari Edwin, ayahnya, dan kemudian ibunya. Sedangkan Sambara, mengambil amplopnya ragu dan menatapnya diam. "Diana." Edwin menyapa nama putrinya dengan nada tegas. "Saya turuti kamu dengan syarat berlaku. Kamu turuti saya atau tidak sama sekali." Kalimat yang diakhiri tanpa tanda tanya. Kata 'atau' bukan lagi sebagai pilihan melainkan keputusan mutlak. Diana terdesak. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Diana mengangguk setuju. Edwin menatap kedua cucunya, Sambara dan Deon. "Di dalam amplop itu ada sayembara buat kalian. Tidak ada batas waktu untuk kalian karena ini perihal proses. Bisa saja cepat, bisa lambat. Tergantung usaha kalian. Dan...." Edwin menoleh sekilas pada Diana. Mengirimkan pesan bahwa kalimat pamungkas berikut ini tidak bisa dibantah. "Selama pemenang belum ada, maka status dan kedudukan kalian tetap seperti biasa." "Maksudnya, Pa?" tanya Diana nyaring. Edwin menoleh dingin. Ia sudah menduga reaksi putrinya itu. "Maksudnya sudah jelas. Saya tidak akan begitu saja merubah keputusan perusahaan." "Tapi...." "Kita bisa batalkan sekarang," ujar Edwin tegas. "Tidak jadi soal untuk saya jika hanya menghadapimu di sisa umur saya." Diana mengatupkan mulutnya rapat. Ayahnya benar-benar tak memberikan penawaran. "Bagaimana?" Diana meremas tangannya sendiri dan mengangguk pasrah. Edwin kembali menatap pada kedua cucu lelakinya. "Kalian buka saja amplopnya." Sambara dan Deon menurut. Masing-masing membuka amplop dengan cara berbeda. Deon menyobek cepat dan langsung mengeluarkan isinya. Sambara menyobek perlahan dan melihat isinya dahulu sebelum mengeluarkannya. Keduanya sama-sama terkejut, terutama Sambara. Ada dua lembar foto dan selembar kertas bertuliskan alamat. Saat itu juga Sambara tahu pada siapa sayembara ini ditujukan. Siapa yang sedang diperjuangkan. "Namanya Kahayang dan itu keluarganya. Ia hanya punya seorang adik laki-laki. Ia memiliki toko bunga. Alamatnya sudah saya tulis di situ," ujar Edwin. "Apa yang harus kami lakukan, Opa?" tanya Deon. "Siapa di antara kalian bisa menikahinya, maka kedudukan CEO langsung ditetapkan tanpa bisa diganggu gugat untuk seumur hidup dengan pengecualian-pengecualian yang sudah menjadi muktamal perusahaan. Jika Kahayang hamil dan melahirkan. Entah putri, entah putra, maka status kepemilikan Bimantara Grup serta kepemimpinan puncak jatuh padanya. Anggap saja saya sudah membuat wasiat. Ini akan berlaku meski saya meninggal sebelum Kahayang hamil." Semua terpana. Diana sampai tak bisa berkata-kata. Wasiat sudah dibuat. Sayembara sudah digelar. Gong pertandingan sudah menggaung. *** "Gila, gila!" Azka tertawa setelah mendengar keseluruhan cerita Sambara. "Berat ini. Itu cewek galaknya minta ampun. Dan kelihatan sekali kalau dia gak suka sama kamu." "Masalahnya bukan di situ. Pernikahan dengan suatu tujuan, apa bisa dijalani normal? Bukan pernikahan seperti itu yang ada dalam pikiran saya." "Hahaha.... Ya, ya, saya paham. Lalu kamu bagaimana?" "Entahlah. Ini benar-benar konyol. Saya akan bicara dengan Opa. Saya akan minta mundur." "Akan ada dua kemungkinan pasti. Satu, Opa Edwin pasti tidak akan terima. Bukankah saat kamu bilang untuk mundur jadi CEO, Opa Edwin langsung marah dan sayembara itu langsung dibuat." Sambara mengangguk lemas. "Kedua..., Opa Edwin akan membatalkan semua. Buatmu mungkin tidak masalah karena kamu memilih menghindari konflik. Tetapi buat yang lain, ini akan menjadi malapetaka. Mereka tidak akan mendapatkan apa-apa dan konflik antar keluarga akan semakin dalam. Kamu mau begitu?" Sambara memejamkan mata dan memijit tulang hidungnya. Azka benar. Konflik di dalam keluarganya sudah cukup tajam. Dimulai dari sang Opa yang memiliki istri dua. Ia pun sejak kecil sudah merasakan kebencian-kebencian yang tersebar. Namun, menolak atau menerima mempunya konsekuensi yang sama jika terkait hubungan antar keluarga di kediaman Edwin Bimantara. Selama Diana masih hidup, maka gesekan-gesekan itu tak akan berhenti. "Jadi bagaimana? Mau tetap mundur?" tanya Azka memecah diam Sambara. Sambara melepaskan napas. "Maju mundur sama saja. Maju sajalah." "Nah, gitu. Hahaha.... Kamu akan mulai melakukan pendekatan seperti apa?" "Arghhh.... Gak taulah. Yang penting niat dulu maju." Keduanya pun tertawa lebar. Optimistis memang selalu membawa semangat bagi yang berniat juga bagi yang melihat saja. "Hei. Omong-omong bagaimana dengan Beby? Oh, iya, semalam kamu hilang ke mana? Gila kamu, ninggalin begitu saja Beby ke kita. Mana gak bisa dihubungi. Benar-benar gila kamu." Sambara hanya tertawa saja. Seolah itu bukan masalah dan memang seharusnya bukan masalah besar karena Sambara tidak punya ikatan khusus dengan Beby yang harus membuatnya bertanggung jawab. Dan lagi, ada Azka juga Elle, artinya, Beby tidak ditinggalkan pada orang-orang tidak dikenal. "Beby mengirim pesan sampai puluhan. Ada mungkin lima puluh lebih. Dan menelepon juga." "Trus?" "Ya, selayaknya perempuanlah. Dia marah. Sebenarnya saya gak ajak dia makan malam. Dia yang maksa buat ikut. Jadi ya...." Sambara mengedikkan bahu. Menganggap itu semua bukan masalah besar baginya. "Memangnya kamu ke mana?" tanya Azka penasaran. Azka tertawa ditahan dengan menggigit bibirnya. Layaknya seorang pemalu. "Malam itu, saya liat Ayang di restoran. Saat dia keluar, saya refleks saja mengikuti." "Wahhh..., gila! Kamu membuntuti seorang wanita? Gila, Man!" Azka benar-benar terkejut. Itu diluar sifat Sambara yang pasif. "Kamu mengikutinya sampai...?" "Sampai rumahnya dan makan malam di sana." "Gila! Sayembara belum dimulai, tapi kamu sudah start duluan. Eh tunggu...." Azka tiba-tiba tercenung. Menatap Sambara lekat. "Apa? Gak harus se-surprise gitu, 'kan?" "Kamu gak merasa ini takdir?" tanya Azka dengan suara lirih. "Hah?" "Sayembara baru saja diumumkan tadi pagi. Tapi kamu dan si Ayang ini, sudah lebih dulu bertemu. Kalau bukan takdir, apa namanya?" Sambara terkekeh. Tapi, dalam hati juga terkejut menyadari kenyataan itu. Ia juga tak menduga jika pertemuannya dengan Kahayang yang karena bunga mawar biru, kini akan menjadi tolak ukur kesuksesannya memimpin perusahaan dan yang gilanya Kahayang akan menjadi kunci baginya untuk memiliki semua. "Kalau kamu menolak ini sebagai takdir, maka ini berarti hanya akal-akalan opamu," ujar Azka. "Maksudnya?" "Iya. Jika ini bukan suatu kebetulan yang disebut takdir, artinya, opamu tahu kamu sedang dekat dengan Kahayang. Karenanya untuk memuluskan langkahmu, pertaruhan ini menggunakan Kahayang. Kalau memang seperti ini, maka..., ini tidak akan adil bagi Deon." "Tidak mungkin yang kedua. Tapi, meyakini ini takdir juga lucu buat saya. Ah, sudahlah." Sambara memerikasa jam tangannya. "Waktunya makan siang. Mau makan siang sama-sama?" "No. Elle tadi bilang kalau ia ingin makan siang sendiri di ruangannya. Gila! Dia sekarang kalau lihat saya bawaannya mau muntah," keluh Azka. Sontak Sambara tertawa ngakak. "Mampus!" Terdengar ketukan halus di pintu. Sekretaris Azka masuk, ia membawa buket bunga yang langsung diserahkan pada Azka. "Dari Bu Elle." "Itu bayi manis sekali, ya," goda Sambara yang langsung menyambar buket bunga dari tangan si sekretaris. "Elle mana mungkin seromantis ini. Nih." Sambara menyodorkan kartu yang tadi tersemat ke Azka. Azka tersenyum sumringah dan membaca pesan di kartu. Ucapan maaf dan sayang dari Elle untuknya. Saat membalik kartu ucapan, Azka termenung membaca nama toko bunganya. "Nama toko bunganya Ayang apa?" tanya Azka. "Kahayang. Sesuai dengan namanya." Azka menyodorkan kartu ucapan yang sudah dibalik ke Sambara. Sontak Sambara nganga. Ditatapnya tajam si sekretaris. "Yang antar bunga ini tinggi apa kecil?" "Kecil, Pak. Itu orang masih diluar menerima telepon." Sambara langsung berdiri. Ini terulang. Sikap spontan saat menyadari ada Kahayang, Sambara akan bereaksi mendekat. Pria itu tanpa pamit meninggalkan Azka dengan sekretarisnya keluar ruangan. Sedangkan Azka setelah melongo, menatap sekretarisnya. "Kartu ucapan dari Elle dibawa Sambara," ujarnya dengan mimik wajah memelas, membuat si sekretaris tertawa geli. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD