Chapter 50

1858 Words
Pagi yang aneh. *** Anes sudah mulai risih dengan sikap antusias si wanita. Senyum si wanita terlalu lebar dan gairahnya terlalu besar, benar-benar membuat Anes sesak dan ingin keluar lalu pergi jauh saja. Dia gak habis pikir bagaimana nasib Deon jika menikah dengan wnaita di hadapannya itu. Terlalu cerewet, terlalu b*******h. Deon adalah seorang yang taktis dan tak banyak bicara. Bahkan setelah b******a, keduanya lebih sering diam, saling berpelukan, menonton film, dan melakukan kesenangan yang nikmat, lagi dan lagi. Deon juga bukan seorang yang terlalu peduli. Jika Anes bercerita, Deon akan diam saja, bisa-bisa malah langsung dipotong dan Deon akan pergi. Intinya, Deon tak suka wanita banyak bicara dan terlalu bahagia, karena itu membuat Deon muak. "Oh, ya. Kenapa toko bunganya bernama "Kahayang"? Anes mengalihkan topik dengan cepat. Ia sudah mulai bosan berbasa-basi. "Karena yang punya toko bernama Kahayang." Dalam hatinya, Anes tertegun dengan nada suara yang penuh kebanggaan dari wanita di hadapannya, saat memberi penjelasan. Seolah toko bunga ini begitu istimewanya. Tapi, kemudian Anes merasa bahwa si wanita sedang tidak membagakan dirinya sendiri. "Dan..., kamu..., Kahayang?" tanya Anes hati-hati. "Bukan." Kali ini Anes benar-benar tertegun dari ekspresinya. Ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa terkejutnya dan kemudian malu pada diri sendiri yang bodoh. Harusnya sejak awal dia bertanya dulu, bukannya bergaya sok manis dan kemudian berakrab-akrab ria. Anes menyesal sekaligus kesal. "Bukan? Lalu?" Si wanita celingukan sebentar dan tersenyum sumringah pada seorang gadis berambut pendek yang berdiri di salah satu rak sembari memegang pot porselen. Sepertinya pot itu baru akan dijadikan media tanam. "Nah, itu orangnya yang bernama Kahayang." Tak ada senyum di wajah Kahayang. Juga tak ada kegentaran Kahayang saat menatap mata Anes. Ia sudah kesal sejak ia melihat kilasan cibiran dari bibir Anes. Perasaan kahayang mengatakan kalau wanita di hadapannya itu bukan wanita baik untuk dirinya. Ia tak suka orang bermuka dua. "Ayang! Sini...!" Elis memanggil sembari melambaikan tangan. Dengan keengganan yang nyata Kahayang mendekat. Perasaannya semakin kesal dengan tatapan Anes yang dirasanya tak sopan. Mata Anes berkeliaran dari atas ke bawah dan kembali lagi ke atas. Sosok Kahayang yang ini, benar-benar berbeda dari perkiraan. Mata Kahayang begitu jernih juga tajam. Tubuhnya mungil dengan bentuk wajah bulat yang membuat Kahayang imut. Apalagi rambut pendeknya dipotong dengan sangat bergaya, tidak kuno, tidak kaku. "Ayang, kenalin. Ini Mbak Anes." Elis mengenalkan dengan antusias. "Temanmu?" tanya santai Kahayang. Bersamaan Anes dan Elis melongo. Anes lebih-lebih lagi terkejut karena masih ada seseorang yang tak mengenali dirinya. Dan sialnya itu justru Kahayang. Seorang gadis yang menjadi pesaingnya yang sekaligus adalah tiket Deon menguasai kerajaan Bimantara. Elis menepuk lengan Kahayang dengan gemas yang langsung disambar mata tajam Kahayang. "Sakit! Apa-apaan, sih?" bentak Kahayang. "Hehehe.... Maafkan dia Mbak Anes. Orangnya memang lemot. Lemah otak." Elis cengengesan ke arah Anes dan mendelik pada Kahayang. Anes sendiri tak menanggapi Elis. Ia masih berfokus pada sosok Kahayang. Melihat bagaimana tak pedulinya gadis itu, perasaan Anes menjadi tidak nyaman. Rasanya, ini akan menjadi sulit. "Mbak Anes ini artis terkenal. Filmnya aja beberapa kali masuk nominasi." Elis lanjut menjelaskan tentang siapa Anes pada Kahayang. "O." Tanggapan yang benar-benar biasa dan datar. Jangankan kagum, terkejut pun tidak. Seolah Anes adalah seorang biasa dan sama saja yang tak perlu tanggapan istimewa. Ini membuat Anes tak bisa berpikir harus bagaimana dan harus apa. Kahayang yang merasa sedang diamati sedemikian rupa, menoleh pada Elis dengan kernyitan dalam. Sinyal matanya pada Elis seolah bertanya apalah ada yang salah dengan penampilannya atau mungkin juga Kahayang bertanya, kenapa dengan Anes. Apapun tanya Kahayang yang tak terucap, Elis hanya mengedikkan bahu. Elis hanya memahami jika Kahayang bingung, begitu juga dirinya, tapi tak punya jawaban. "Mbak. Mbak Anes." Elis menepuk lembut lengan Anes. Anes mengerjapkan mata. Dan sepertinya pagi ini adalah pagi terbodoh bagi dirinya. Berulang-ulang Anes memaki kebodohannya. Belum apa-apa, sosok Kahayang sudah membuatnya tertekan. "Oh, iya." Anes menarik napas perlahan, mengisi udara pada paru-parunya agar lebih tenang. Entah logika masuk akal atau tidak, yang pasti setelah menarik napas, Anes merasa bisa mengontrol dirinya. Atas sikapnya yang mengamati Kahayang sedemikian rupa, Anes merasa tidak perlu minta maaf. Anes mengulurkan tangan sembari memasang senyum lebar. "Hai. Nama saya Anes. Dan saya saat ini bukanlah artis." "Wahhh..., Mbak Anes ini merendah," ujar Elis dengan nada kagum. Kahayang menyambut uluran tangan Anes. "Saya Kahayang." Anes cukup kagum untuk perkenalan dari Kahayang. Gadis itu tak memberi embel-embel kepemilikannya. Tanda kalau Kahayang bukan seorang sombong. Tapi tidak juga. Siapa tahu akting, batin Anes. Membandingkan Kahayang dengan dirinya sendiri yang masih berlakon. "Masih muda, ya. Bagus tokonya. Kenapa bunga?" "Karena saya suka bunga." Jawaban sederhana Kahayang. "Mau bunga apa, Mbak?" "Bunga apa yang mewakili Virgo?" Kahayang tersenyum dan melangkah menuju salah satu rak di mana bunga-bunga Ranunculus aneka warna ditata rapi. Anes mengikuti dan kemudian takjub. Ia pernah membaca jika bunga yang cocok untuk bintang kelahiran Deon adalah  bunga Ranunculus. Ternyata Kahayang bukan hanya menjual, tetapi juga memahami. Nilai plus yang enggan Anes berikan. "Kenapa Ranunculus?" uji Anes. "Wah. Sedikit orang yang tahu nama bunga ini. Orang terkasihnya, Virgo, ya?" goda Kahayang yang mulai melunak. Kahayang suka dengan orang yang memahami bunga dan tanaman. Anes tersenyum malu-malu. "Begitulah. Kata orang, bunga ini cocok dengan Virgo yang selalu tampil menawan dan perfeksionis." Tanpa sadar, pertanyaan Anes justru dijawab sendiri oleh Anes. Kahayang tersenyum simpul. Bunga Ranunculus memang bunga yang cantik dan menarik. Bibit persilangan yang melambangkan lintasan budaya. Bunga ini memang menyimbolkan kerupawanan seseorang, tetapi bunga itu juga menceritakan tentang seseorang yang mati karena patah hati. "Tapi..., katanya..., bunga ini memiliki kisah kelam. Seorang pangeran yang narsis dan hanya mencintai dirinya sendiri, akan mati karena kepuasannya sendiri." "Begitulah." Kahayang menatap Anes yang tertegun diam menatap bunga Ranunculus itu. Kahayang menangkap kesedihan di wajah cantik Anes. "Ah, tapi itu hanya kisah yang dibuat-buat untuk bunga itu terlihat menarik. Bukan untuk dipercaya." Anes tersenyum dan menatap Kahayang. "Boleh saya beli bunga ini? Sepertinya saya akan lebih sering beli bunga di sini." *** Mood Gery tidak baik dan semakin tidak membaik pagi ini. Anes belum membalas pesannya, juga belum meneleponnya balik, padahal Gery sudah mengirimi banyak pesan dan puluhan kali telpon. Perasaan kesal Gery berubah menjadi khawatir. Tak biasanya Anes mengabaikannya sedemikian lama. Gery bangun pagi dan lekas-lekas berpakaian. Saat keluar kamar, ibunya baru saja meletakkan nasi goreng hangat di atas meja. Senyum manis selalu tersungging untuk Gery. "Pagi," sapa Ida. Ia bangga dengan putra semata wayangnya itu. Bangun pagi, bekerja dengan semangat, kedudukan yang baik di perusahaan, adalah hal-hal yang sering kali Ida banggakan di antara teman-teman arisannya atau di lingkungan sekitar. Ida merasa patut berbangga diri karena ia sendirian membesarkan Gery. "Pagi, Ma." Gery menjawab singkat. Menghampiri ibunya dan mencium pipi ibunya dengan cepat. "Saya berangkat, Ma." "Sarapan dulu, Ger. Mama sudah masakin nasi goreng kesukaanmu." "Gak usah, Ma. Saya keburu." Gery terus melangkah ke ruang depan dan mengambil sepatu kerjanya yang berwarna cokelat gelap. Ida bergegas membuntuti. "Tumben pagi-pagi begini." Gery tak menjawab dan mulai measang kaos kakinya. Ida paling tidak suka jika putranya tidak acuh padanya. Pikirannya melayang pada hari kemarin petang. Gery yang awalnya pergi dengan senyum lebar, pulang-pulang berwajah butek dan terlihat kesal. Kemarin hari Minggu. Gery biasanya keluar menemui Kahayang. Ida yang tak terlalu suka dengan Kahayang, selalu berharap keduanya pisah. Jadi, saat melihat ekspresi lusuh Gery kemarin, Ida tak banyak menanggapi selain terus mengharap kalau keduanya ribut dan pisah benaran. "Udah. Masalah kemarin jangan dibawa lama-lama sampai pagi ini. Nanti pekerjaanmu berantakan." Ida mencoba bicara bijaksana. Padahal berniat mendorong putranya untuk tak perlu memikirkan urusannya dengan Kahayang. "Sudahlah, pisah saja kalau ini membuatmu kesal terus-menerus. Perempuan yang tidak bisa membuat lelakinya tenang, bukanlah wanita yang pantas untuk kamu yang pekerja keras. Kamu ini tampan. Jenjang karirmu akan semakin meroket jika kamu menikahi wanita yang bisa mendukungmu. Tidak membuatmu...." "Saya berangkat, Ma." Gery mengulangi pamitnya. Mencium pipi ibunya. Dan melesat keluar. Pikirannya jenuh dan terfokus pada Anes. Ia benar-benar mengkhawatirkan kekasih gelapnya itu. Gery tak peduli dengan omongan ibunya karena itu semua salah. Ibunya hanya sedang sok tahu yang dilandasi ketidaksukaannya pada Kahayang. Sedangkan Ida, kembali bergegas mengejar Gery yang sudah membuka pagar lebar dan akan masuk ke dalam mobilnya. "Cepat putuskan dia kalau dia tak bisa membuatmu bahagia!" teriak Ida agar bisa didengar Gery yang sudah menyalakan mesin mobil. Gery merasa lega setelah keluar rumah. Ia sering kali tertekan dengan ibunya yang terlalu banyak tuntutan dan juga terlalu sering mengatur. Gery paham jika ibunya menginginkan kebahagiaannya, tetapi Gery sudah jenuh diperlakukan seperti anak kecil yang harus selalu didikte di setiap sepak terjang. Gery menyingkitkan perasaan jenuhnya akan sang ibu dan mulai fokus akan keadaan Anes. Selang hampir empat puluh menit, Gery akhirnya sudah di depan rumah Anes. Ia mematikan mesin mobil dan mencoba mengamati situasi rumah dari dalamnya. Gery tak melihat mobil Anes. Ia kemudian kembali mencoba menelepon Anes. Tetap tidak ada respon. Jam segini, pembantu Anes pasti sudah bangun. Gery tidak tahu pasti karena ini pertama kalinya ia ke rumah Anes. Mereka selalu bertemu di luar. Anes melarangnya datang ke rumahnya karena khawatir ada wartawan melihat dan menjadikannya berita gosip. Gery sangat ingin keluar mobil, menekan bel, dan bertanya keadaan Anes pada siapa saja yang membukakan pagar baginya; kemungkinan besar itu adalah pembantu Anes. Namun, keraguan Gery sangat besar. Ia khawatir Anes sangat marah. Kegelisahan Gery semakin menjadi saat melihat seseorang dengan penampilan sangat sederhana keluar dengan membawa sapu. Tubuhnya kecil, berkulit cokelat tua, dengan rambut digelung seadanya. Pakaiannya yang amat sangat sederhana, semakin menguatkan perkiraan Gery jika itu adalah pembantu Anes. Kaki Gery terus-menerus mengetuk dasar mobil, begitu juga jari-jemarinya yang terus mengetuk setir mobil. Pertimbangan Gery adalah amarahnya Anes. Ia masih belum mau pisah dari Anes. Pada akhirnya Gery hanya terdiam di dalam mobil. Menunggu saja Anes pulang entah dari mana dan sejak kapan perginya. Berulang kali Gery memeriksa waktu dari jam tangannya. Waktunya sudah semakin mepet dengan jam kerjanya, tapi sosok Anes belum ia lihat. Bulir-bulir keringat membasahi keningnya, mempengaruhi emosinya. Akal sehat mulai tak jalan. Tak perlu pertimbangan lama, Gery memutuskan tetap menunggu Anes pulang. Setelah hampir empat jam menunggu dan sudah dipastikan Gery tidak kerja, pintu pagar tiba-tiba dibuka. Gery tersentak. Ia yang tadi dalam posisi tiduran, segera menegakkan tubuh dan sandaran kursinya. Mobil merah Anes muncul dari arah berlawanan. Gery yang melihat mobil Anes, langsung menegakkan sandaran kursinya dan duduk tegak. Menanti dengan d**a berdegup keras. Gery sengaja menunggu mobil Anes masuk. Sementara, di dalam mobil merahnya, Anes mencengkeram setir mobil dengan gemas. Ia melihat mobil hitam terparkir dan Anes tahu itu mobil siapa. Sedikit menyesal karena ia tadi meminta asisten rumah tangganya membuka pagar sesaat sebelum mobilnya membelok. Anes mengambil ponselnya yang lain. Dan terkejut melihat banyaknya panggilan tak terjawab dari Gery. Ia juga melihat notifikasi pesan, tapi mengabaikan dan langsung menelepon Gery. Gery tersenyum sinis saat ponselnya berdering. Sedikit pun Gery tak memeriksa ponselnya, ia sudah tahu siapa yang menelepon dan dengan sengaja tak menerima panggilan itu. "Telpon saja terus, Sayang. Kita lihat, seberapa kuat kamu di situ." Gery tersenyum semakin lebar. Anes terjebak. Jika dia pergi dan berharap Gery mengikutinya, rasanya mustahil. Gery melihat peluang dengan terbukanya pagar. Ditambah, lelaki itu pasti sangat kesal sampai-sampai terniat menunggunya di depan rumah dan tidak kerja. "Oke. Kita lihat saja," gumam Anes dan mematikan ponselnya. Ia membawa mobilnya masuk. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD