Chapter 54

808 Words
Setia atau mendua? *** Jari-jemari Deon yang begitu putih, panjang, dan begitu halus, meremas lembut jemari Kahayang. Ibu jarinya mengusap perlahan buku jemari Kahayang tanpa jeda. Tatapan Deon, sangat dalam menembus hati Kahayang membuat gadis itu merasakan rasa hangat menjalar dari dalam dadanya. Sempat-sempatnya dalam keadaan begitu, Kahayang mengingat bagaimana Gery dulu menyatakan perasaannya kepada dirinya. Dan sepertinya, rasanya kurang lebih sama. Seperti seseorang yang tiba-tiba dihadang. Tak bisa berkutik. Tidak ketakutan melainkan menyenangkan. Begitu senangnya hingga jantungnya berdetak menciptakan melodi cepat. "Maukah kamu menjadi kekasih saya, Kahayang?" Deon mengulang pertanyaannya. Kali ini suaranya lebih dalam. Senyumnya juga tak ada. Menyiratkan kalau ia sedang serius. *** "Ayang! Kahayang!" Lengan Kahayang diguncang lembut oleh Elis. Sepupu Kahayang itu sedari tadi keheranan dan kebingngan dengan sikap Kahayang yang dirasa aneh. Ia masuk dengan senyum tetapi seperti nyawanya tertinggal entah di mana. Kahayang mengerjakan apa yang memang harus dikerjakan. Salah satunya merangkai bunga, pesanan dari seorang ibu pejabat. Tapi, cara mengerjakannya yang membuat Elis bengong dan kemudian mengernyit dalam. Sepupunya itu tiba-tiba seperti seorang yang melamun dan tiba-tiba tersenyum geli sendiri. Kalau ditanya, perlu Elis mengulang pertanyaannya karena kesadaran Kahayang yang lambat. Ini seperti tanda orang yang sedang jatuh cinta. "He? Jatuh cinta? Masak, sih?" gumam Elis yang lebih serius mengamati polah dan ekspresi Kahayang. "Ayang!" Setelah sentakan yang sedikit lebih keras, akhirnya Kahayang menoleh, menatap Elis. "Apa?" "Kamu kenapa?" "Saya? Memangnya saya kenapa?" tanya Kahayang bingung. Ia kemudian membarikan pita ungu dengan pinggiran emas pada plastik pembungkus  rangkaian bunga pesanan. "Selesai. Jam berapa diambil?" Elis memeriksa waktu di jam tangannya. "Harusnya sekarang." Dan tepat setelahnya terdengar denting pintu. Seorang wanita berumur dengan pakaian mewah masuk menanyakan bunga rangkaian pesanannya. Elis segera melayani. Wanita itu sangat puas. Ia memuji bagaimana rangkaiannya terlihat mewah dengan kesederhanaannya. Wanita itu membayar tanpa meminta kembalian. "Ibu tadi memang paling royal. Bungamu dipujinya. Andai semua begini, jadi nih kita buka cabang," ujar Elis puas dan memasukkan uang pembayaran ke mesin kasir. Elis heran karena tak mendapat tanggapan dari Kahayang. Biasanya, Kahayang paling heboh jika ada pelanggan yang memberikan tips dengan tidak meminta kembalian. Elis mendapati Kahayang duduk sembari menopang daru dengan kedua tangannya yang bertumpu di atas meja yang tadi dipakai untuk merangkai bunga. "Ayang! Ngelamun terus. Ada apa, sih tadi?" tanya Elis sembari menyenggol lengan Kahayang. Kahayang tidak marah, ia justru tersenyum lebar dengan tatapan menerawang. Hal yang tak biasa, mengingat Kahayang sedikit temperamen jika kesyikannya diganggu. Elis menempelkan telapak tangan ke kening Kahayang. "Normal, sih. Kamu kesambet apa, Yang?" "Cinta," jawab Kahayang dengan masih tetap senyam-senyum. "Ha? Cinta? Cinta dari siapa?" "Merasakan dua cinta, boleh gak?" tanya Kahayang dengan wajah memelas. Elis sebenarnya bingung, tapi ia memilih mengikuti alur Kahayang dulu. "Boleh aja, sih. Namanya juga perasaan. Siapa yang bisa menduga." "Kalau memilikinya?" "Memiliki dua cinta, maksudmu?" Kahayang mengangguk. "Siapa yang menyatakan cintanya sama kamu?" pancing Elis yang mulai curiga dengan arah bicara Kahayang. Kahayang menoleh menatap Elis sembari mengerling. "Deon." "Ha?! Deon?" Kahayang cekikikan mendapati ekspresi terkejut Elis. "Kamu jatuh cinta lagi, Ayang? Serius?" "Mmm.... Gimana, ya." "Gimana apanya?" "Deon tadi nembak saya." Elis ternganga terkejut. "Trus. Kamu terima?" Ekspresi Kahayang berubah. Kali ini terlihat serius. Seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Dan akhirnya Kahayang menunduk sembari menghela napas. "Saya bilang saya sudah memiliki kekasih." Nada suara Kahayang terdengar seperti menyesal. "Kok, kayak sedih gitu." "Entahlah. Sikap Gery belakangan aneh dan semakin menjauh. Dia datang hanya jika dia mau, itu pun sering kali batal. Rasanya hampa." "Dan Deon datang menawarkan cinta. Membuat perasaanmu terombang-ambing, begitu?" Kahayang mengangguk lesu. "Deon baik. Deon lembut. Deon perhatian." "Hmmm..., iya juga, sih. Tadi siang setelah Deon tahu kamu sedang menata bunga di luar, Deon langsung keluar melesat. Katanya mau ketemu kamu. Katanya lagi, kamu pasti kelaparan." "Ah, jadi dia tadi ke sini. Saya lupa tanya dari mana dia tau saya da di sana. Ternyata dari kamu." Elis mengangguk. "terus tadi, setelah kamu bilang sudah punya kekasih, Deon gimana?" "Dia bilang...." Kahayang menerawang mengingat ucapan Deon dengan tersenyum sendiri. "Dia bilang apa?" desak Elis. "Ijinkan saya berjuang merebut hatimu. Beri saya kesempatan untuk mencintaimu sampai kamu bilang sama saya untuk mundur. Pada saat itu, saya baru melepasmu." "Deon bilang begitu? Wahhh..., pejuang juga." "Menurutmu bagaimana? Deon bilang kalau ia tidak apa-apa menjadi kedua asalkan kedudukannya sama dengan Gery. Dengan begitu ia bisa berjuang secara adil." Elis tak langsung menjawab. Ia sebenarnya tidak pernah suka dengan Gery. Apalagi ibunya Gery semakin sombong sejak anaknya naik jabatan.  Elis pikir, harusnya Kahayang bisa dapat yang jauh lebih baik. "Kalau Deon tak masalah, kenapa tidak dijalani saja?" Akhirnya Elis memberikan jawabannya meski mungkin itu kurang tepat. "Janur belum melengkung. Jangankan itu, lamaran saja tak pernah ada.  Kalau ada yang memperjuangkan kamu,  beri saja kesempatan. Kamu kan masih punya kesempatan memilih." Kahayang tercenung. "Kesetiaan hanya untuk dia yang sudah diikat janji Tuhan. Kalau cuma pacaran aja, kita mah masih bebas," sambung Elis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD