Chapter 34

1671 Words
Khawatir pada kekasih yang pergi menemui yang lain. Khawatir pada kekasih yang bicara dengan yang lain. *** Ini yang kedua kalinya Kahayang datang ke butik mewah milik Beby. Di awal ia tak menduga butik milik Beby hanya sekitar dua blok dari toko bunga sederhananya dan memang kawasan butik Beby adalah kawasan super wah. Jadi wajar jika butik Beby, meski sudah kedua kalinya Kahayang datang, tetap saja membuat gadis itu melongo. Nuansa rose gold mendominasi hampir seluruh ruangan. Menjadi keunggulan karena pantulan cahaya lampu akan menciptakan suasan nyaman. Baju-baju dan segala pernak-pernik wanita yang dipajang menjadi terlihat sangat menonjol. Sistem marketing yang baik dengan menarik visual dari calon pembeli. Ada dua lantai dan dua tema. Lantai pertama adalah baju-baju semi formal dengan tas, sepatu, juga aksesoris yang sesuai. Lantai dua adalah baju-baju formal. Gaun-gaun cantik dipajang. Begitu juga tas-tas kecil nan mewah beserta sepatu-sepatu hak yang anggun. Di lantai dua juga ada ruangan Beby untuk menerima customer yang biasanya akan minta desain khusus atau konsultasi pemilihan pakaian. Kahayang dan orang-orangnya bergerak cepat. Sebelumnya Kahayang sudah memberikan beberapa pilihan penataan bunga dan penempatannya. Beby sudah setuju. Begitu juga dengan bunga-bunga yang ditawarkan Kahayang. Saat itu, Beby sendiri tidak menduga jika Kahayang memiliki selera pemilihan bunga yang apik. Kahayang bisa menyesuaikan siapa customer-nya. Rio beberapa kali video call dengan Beby untuk memeriksa pengerjaan semua, terutama Kahayang. Keduanya semakin puas karena Kahayang memberikan sentuhan manis yang terlihat mewah, tidak menonjol, melainkan berimbang. Rio menepuk lembut bahu Kahayang yang sedang mengarahkan seorang pria yang membawa lusinan mawar merah muda. Gadis itu menoleh dengan terkejut. Tahu itu Rio, wajahnya jadi tidak enak, khawatir ada yang salah. "Kenapa? Ada yang kurang pas?" tanya Kahayang. "Hehehe.... Tidak. Mbak Beby sangat puas. Saya tinggal sebentar ke ruangan Mbak Beby. Mau nelpon. Kalau ada apa-apa, cari saya aja di sana." Kahayang tersenyum senang mengetahui customer barunya tak kecewa. Ia mengangguk pada Rio. Rio bergegas menuju ruangan Beby, dudu di salah satu sofa dan mulai melakukan panggilan ke kekasihnya. Tak butuh lama, kekasihnya menerima panggilan video call dari Rio. "Kamu cantik," puji Rio langsung. Kekasihnya tidak berdandan berlebihan. Hanya alas bedak dan bedak, pensil alis, dan bibir yang menggunakan pelembab bibir yang bisa berubah warna. Meski begitu, Rio melihatnya sudah sangat cantik. "Cantik dari mana?" tawa kekasihnya. "Pelanggannya maunya saya tetap apa adanya. Makanya saya gak pakai wig dan cuma pakai baju ini." "Begitu lebih baik." "Sungguh? Setidaknya dia tidak minta yang aneh-aneh." "Tapi..., tetap saja...." "Hei.... Tidak semua orang sama, 'kan. Yang pelihara kamu dulu, dari awal sudah mintanya aneh-aneh. Kamunya aja gak peka dan terperosok. Orang yang ini kan enggak. Dia minta apa adanya aja. Paling cuma perawatan. Percaya saya, semuanya akan baik-baik saja. Dan saya bisa jaga diri." Rio mengusap wajahnya. Entah kenapa perasaannya tetap saja tidak enak. Ada ketakutan. Ia sampai membawanya ke dalam mimpi. "Rio! Kamu jangan gitu, dong. Kamu kan udah ngijinin. Tapi jangan terlihat tidak ikhlas." Rio tersenyum. "Saya ngijinin kan karena kamu maksa terus." "Ihh..., kamu." Senyum Rio semakin lebar. Sikap merajuk kekasihnya selalu membuat Rio rindu dan gemas. "Ya, sudah. Tapi kamu harus janji untuk tidak melepaskan bros itu. Itu bros sangat mahal. Saya membelinya khusus." "Iya, Sayang." "Kapan kamu dijemput?" "Sebentar lagi." Rio menghela napas panjang. "Hati-hati, ya. Dan jangan lupa, saya sayang kamu." "Saya juga sangat menyayangimu, Rio." Keduanya saling meninggalkan ciuman kamuflase dan sambungan telepon ditutup. Saat itulah, jantung Rio semakin sakit. *** Sudah pukul setengah tujuh dan Pekerjaan Kahayang sudah selesai. Ia hanya tinggal memeriksa kemungkinan-kemungkinan. Karena bisa dilakukan sendiri, ia meminta orang-orangnya untuk membersikan semua dan pergi pulang. Sembari memeriksa tatanan bunganya, Kahayang tak henti-hentinya melongo. Kagum dan terpesona akan kecantikan juga kemolekan para model yang ketika datang langsung bergegas ke lantai dua. Setelah selesai memeriksa di lantai satu, Kahayang meluncur ke lantai dua. Ia pun menuju ruang ganti yang juga luas. Para model berias dan berpakaian dengan pakaian yang ditentukan. Mata Kahayang berbinar-binar. Di matanya, para model itu terlihat mewah. Bagai perhiasan, ada pancaran bling-bling. "Cantik, ya?" Kahayang mengangguk dengan ekspresi wajahnya yang lucu. "Mau seperti mereka?" Kembali Kahayang mengangguk. "Harus tinggi dulu." Kahayang tersadar. Dari tadi ia merespon seseorang. Sontak ia menoleh dan mendapati Rio yang tertawa kecil. Wajah Kahayang pun bersemu malu. "Eh, Maaf, Rio. Saya tadinya mau memeriksa bunga-bunganya." Kahayang benar-benar malu. Ia yakin pasti ekspresinya terlihat konyol. Semoga tidak ada air liur yang mengalir. "Gak pa-pa. Santai aja. Siapa pun kalau melihat ini, pasti hatinya bergetar ingin. Makanya saya berkecimpung di dunia mode." Kahayang mengangguk-angguk. "Oh, ya. Ini dari Mbak Beby. Dia benar-benar puas dengan hasil akhirnya." "Mbak Beby datang?" "Iya. Itu di ruangannya." Rio mendekat dan berbisik. "Sama cowoknya." Kahayang tersenyum mafhum. Rio mengulurkan dua amplop untuk Kahayang. "Ini sisa pembayarannya, ya. Dan ini bonus. Kupon diskon lima puluh persen untuk seluruh item yang kamu beli. Berlaku sampai seminggu ke depan. Dipakai, ya." Kahayang menerima dengan senang. Terutama untuk kuponnya. "Terima kasih." "Ayang. Kalau mau ke sini, telpon saya dulu. Nanti saya bantukan memilih pakaian yang pas untuk kamu." Rio mengerling. "Pasti. Terima kasih, Rio. Kalau gitu, saya pulang dulu, ya." "Saya gak ngantar, ya. Saya harus persiapin ini." Rio mengedarkan pandangannya pada keriuhan di ruang ganti. "Iya, gak pa-pa. Eh, anu. Apa saya perlu pamit Mbak Beby?" "Gak usah. Dia kalau lagi sama cowoknya, gak boleh diganggu. Gempa dahsyat sekali pun gak boleh ganggu ruangan itu," gurau Rio. "Hehehe.... Baiklah. Saya langsung aja, ya." Rio mengangguk. Kahayang melangkah ringan saat keluar dari ruang ganti. Lantai dua sepi. Tapi, sebelum naik Kahayang melihat semua karyawan dikumpulkan di lantai bawah dulu. Merasa benar-benar sepi, Kahayang berjalan ke tengah ruangan. Ia merasa dikelilingi banyak kemewahan. Sejauh mata memandang yang ia lihat gaun-gaun cantik. Sepatu-sepatu runcing yang memesona. Tas dan pernak-pernik yang serba berkilau. Ditambah bunga-bunga yang telah ditatanya semanis mungkin. Kahayang memutar tubuhnya perlahan. Menikmati suasananya. Menempakan dirinya seolah adalah pemilik. Kedua tangannya direntangkan, senyumnya melebar. Meski sesaat ia bahagia. Meski tak dimiliki, Kahayang senang. Ada tawa kecil saat putaran tubuhnya semakin kuat. Semua kemewahan berputar-putar. Sampai akhirnya itu mulai tak menyenangkan. Kahayang mulai merasa pusing. Ia pun berhenti. Karena berhentinya tiba-tiba, tubuh Kahayang menjadi oleng. Mungkin pun ia akan ambruk andai tidak ada seseorang yang menangkap tubuhnya. Kahayang terkejut karena tubuhnya disentuh. Tak hanya disentuh, tetapi ia merasa dipeluk. Ada aroma khas yang ia kenal, membuat Kahayang mengernyit. Meski masih pusing, tetapi dia memaksakan diri membuka mata. "Kamu!" pekik Kahayang. Terkejut dengan sosok yang sudah menangkap tubuhnya dan memeluknya. "Lepaskan!" Kahayang mendorong tubuh Sambara. Dengan santai Sambara melepaskan tangannya dari pinggang Kahayang. Karena pusing yang belum benar-benar hilang, keseimbangan Kahayang kembali goyah. Ia pun jatuh terduduk. Mencoba menarik napas dan menenangkan diri. Beberapa detik, Kahayang kembali normal. Pandangannya sudah fokus. Ia melihat sepsang kaki di hadapannya. Perlahan Kahayang mendongak. "Bukannya ditolong, malah liatin aja," sengit Kahayang. "Tadi sudah ditolong, kamu tolak." "Karena tadi belum jatuh," elak Kahayang. "Nunggu kamu jatuh dulu baru saya tolong?" tanya Sambara kalem yang kemudian mengulurkan tangan. Kahayang menepis tangan Sambara. "Telat." Andai Kahayang bukan wanita, ingin sekali Sambara menjitak kepala gadis itu. Sepertinya apa-apa dari Sambara selalu salah bagi Kahayang. Sambara hanya bisa mengelus d**a. "Ngapain ke sini? Elis yang kasih tau, ya? Buat apa sih harus sampai nyusul ke sini? Kan kamu bisa telpon atau WA aja. Bilang aja saya harus bayar hutang budi nya bagaimana?" tanya Kahayang beruntun. Tidak ada kesempatan bagi Sambara menjawab. "Itu daftar pertanyaanmu apa sudah semua?" "Dengar, ya. Saya paling gak suka sama cowok yang buntuti saya ke mana-mana. Kayak kurang kerjaan aja. Apa pekerjaan sebagai asisten orang besar membuat kamu kebanyakan waktu luang, hah?" "Sayang." Sambara yang akan membuka mulut, langsung terdiam dengan suara sapaan dari arah belakang punggungnya. Sedangkan Kahayang, langsung melotot, menatap Sambara bingung. Perlahan ia  memiringkan tubuhnya untuk memastikan siapa yang memanggil 'Sayang' dari belakang Sambara. Kahayang baru keluar dari ruangannya. Ia menatap Kahayang dengan sedikit mengernyit dan sorot mata yang sangat tajam. Beby mulai berjalan mendekat. Sambara sendiri sudah memutar tubuhnya menghadap Beby. "Kenal?" tanya Beby dan Kahayang pada Sambara. Keduanya secara bersamaan menanyakan hal sama. Cukup membuat kaget hingga Beby mendelik ke arah Kahayang dengan tidak suka. "Ya. Kami sudah bersama selama sepuluh tahun lebih." Beby menjawab seolah mewakili Sambara. Sikapnya sangat jelas menunjukkan posisi dan kedudukannya akan hubungannya dengan Sambara. Tidak ada status yang jelas dari pernyataan Beby, tetapi itu bisa menjadi hal sangat jelas bagi yang lainnya. "Wah.... Hubungan yang sangat lama." Kahayang melirik sinis pada Sambara. "Jadi..., bagaimana kalian kenal?" tanya Beby pada Kahayang dan Sambara. "Oh, kami tidak kenal. Mana mungkin saya kenal dengan beliau yang begini sukses." Kahayang tertawa dipaksakan. Ia memalingkan wajah dan seperti mau muntah. Sikapnya itu hanya bisa dilihat Sambara. Beby tersenyum senang dan semakin menempel pada Sambara. Keduanya terlihat sangat serasi. Kahayang menjadi minder sendiri. Berdiri di hadapan Sambara dan Beby, ini seolah ia anak kecil yang sedang berhadapan dengan orang dewasa. "Oh, ya, Bara. Ini Kahayang. Ia punya toko bunga dua blok dari sini. Ini semua dekorasi dari dirinya dan bunga-bunga ini dari tokonya. Bagus bukan?" ujar Beby menjelaskan. Sambara menatap berkeliling dengan kagum. "Nanti. Maksud saya kelak. Kita akan pakai jasa dia lagi, ya." Beby menggelayut manja di lengan Sambara. Kembali Beby memberikan pernyataan yang abu-abu. Yang bisa menjadi salah pengertian bagi yang lain. Sambara sebenarnya tidak suka. Biasanya ia akan menyela untuk memperbaiki pernyataan Beby dengan halus. Namun, kali ini, ia penasaran akan reaksi dan tanggapan Kahayang. Karenanya ia membiarkan saja. "Oh..., hehehe..., dengan senang hati. Saya pasti akan memberikan yang paling baik untuk acara pernikahan kalian," ujar Kahayang dengan senyum lebar yang dibuat-buat. "Terima kasih. Oh, ya. Kamu mau pulang, 'kan? Atau mau melihat pembukaan butik ini?" Ada pengusiran yang halus. Meski itu ada penawaran, tapi sangat jelas penawaran itu tak lebih hanya bentuk lain dari kesopanan untuk mengusir. Kahayang kan bukan undangan. "Saya permisi pulang dulu. Terima kasih kuponnya." Kahayang memberikan senyum manis untuk Beby dan pelototan untuk Sambara. Ia melangkah cepat meninggalkan pasangan yang di mata Kahayang begitu glamour. Tak bisa ia tandingi bahkan dengan Gery. Mengingat Gery, Kahayang langsung tertunduk lesu dan menghela napas. Langkahnya seketika menjadi gontai. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD