Chapter 35

1175 Words
Pria-pria menderita. Karena kuasa wanita melukai ego. Mereka mencari pembalasan. *** Deon memeriksa waktu yang bergulir dari jam tangannya. Sudah akan mendekati pukul tujuh malam. Deon meregangkan tubuhnya. Pekerjaannya sudah selesai, tapi pulang jam segitu ke rumah, hanya membuat Deon kesal. Ia punya apartemen sendiri. Ia juga punya rumah sendiri. Namun, ibunya tak pernah mengijinkan dirinya memisahkan diri. Pengekangan yang tak berkesudahan meski umurnya sudah sangat dewasa. Deon meanggap Diana itu gurita. Memiliki banyak tentakel untuk melekatkan seluruh anggota keluarga pada tiap bagian dirinya. Setiap Diana punya masalah, semua wajib terlibat untuk penyelesaian. Termasuk warisan dan kedudukan. Deon benar-benar frustasi juga jenuh. Terdengar denting notifikasi pesan masuk. Dengan malas, Deon membuka dan membacanya. Markus: Sudah masuk kamar, Bos. Apartemen biasa. Deon tersenyum lebar. Mainannya sudah disediakan. Ia perlu pelepasan sebelum pulang ke rumah. Anes sebenarnya bisa saja ia pakai seperti biasa, tapi Deon malas. Satu, karena Anes tidak bisa benar-benar menjadi mainannya. Anes tidak bodoh dan ia bisa menjadikan apa yang sudah ia lakukan sebagai bumerang berbahaya. Dua, Anes sudah melibatkan perasaan terlalu banyak. Deon belum mau dituntut. Lagi pula, Anes tidak punya nilai manfaat untuk masa depan. Jadi bagi Deon Anes bukan perjuangan. Deon: Oke. Deon berdiri cepat. Bayangan akan kesenangan model apa yang akan ia lakukan, berkelebat di pikirannya, memacu adrenalinnya. Ia ingin cepat sampai di apartemen. Menikmati pelepasan yang tak akan membahayakan dirinya. *** Sudah tiga puluh lima menit berlalu, tetapi orang bernama Oppa belum juga muncul. Dania yang tadinya duduk-duduk di sofa sembari menonton televisi, mulai melangkah masuk ke dalam kamar. Ia takjub akan kamarnya. Ia sudah menduga jika kamarnya akan mewah, semewah interior di ruang tamu dan ruang-ruang lainnya. Dania menekan tombol sangat kecil di bagian belakang bros lumba-lumbanya. Perlu perhatian khusus untuk itu, tapi akhirnya ia bisa menekan tombol kecilnya. "Entah alah ini bekerja atau tidak, pokoknya saya udah pencet tombolnya. Lihat Rio, kamarnya. Saya pingin punya kamar seperti ini." Dania memutar tubuhnya perlahan. Merekam isi kamar dalam ingatannya dan melalui brosnya. Nuansa kamar didominasi warna kuning gading dan hitam. Tempat tidur menghadap ke jendela kaca yang lebar. Jika gorden dibuka, maka akan terhampar pemandangan gedung-gedung tinggi juga angkasa. "Bagus, 'kan, Sayang? Saya mau kamar kita kayak gini, ya. Tapi...." Dania memutar tubuhnya lagi perlahan dan kemudian mengarahkan brosnya ke langit-langit kamar. "Jangan banyak cermin, ya. Saya takut. Apalagi itu. Buat apa pasang cermin begitu besar di langit-langit." Ada cermin besar, yang luasnya serupa dengan tempat tidur, di pasang di langit-langit kamar, tepat di atas tempat tidur. Dania adalah orang yang konservatif jika urusan tempat tidur. Ia pemalu dan tidak suka di ekspos kegiatan mesranya dengan pasangan. Baginya itu justru tidak akan membuat kenikmatan. Dania menuju jendela kaca. Disibaknya sedikit gorden. Ia bisa melihat banyak lampu menyala di gedung-gedung lain. Ketika tatapannya terarah ke bawah, ia melihat kelap-kelip lampu kendaraan bermotor. "Sayang.... Apakah saya akan baik-baik saja?" "Bicara dengan siapa?" Dania menjingkat kaget. Cepat ia memutar tubuhnya. Seorang pria dengan senyum ramah, berdiri depan pintu. Kedua bola matanya sempat berputar melihat sekeliling. "Apakah ada yang lain?" Dania tersenyum malu dan menggeleng. "Saya bicara sendiri." "Kenapa? Takut? Ini bukan pertama kalinya, 'kan?" Dania merasakan nada kecewa dari pertanyaan pria yang tetap berdiri di ambang pintu. Tatapannya menelusuri Dania perlahan. Memastikan apa yang diinginkannya benar-benar sesuai. "Bukan," jawab Dania lembut. Mata lelaki itu bebinar. Ia mendekat perlahan. Senyumnya betah terukir di wajahnya yang bersih dan tampan. Baru ini Dania mendapatkan pelanggan yang begitu tampan. Hanya saja, ketika menatap ke dalam mata pria itu, tiba-tiba perasaanya menjadi tidak nyaman. Mata pria itu berkilau menakutkan. Mempengaruhi cara pandang Dania akan senyum manis pria itu yang kini serasa seperti seringai serigala. Tubuh Dania sedikit bergetar saat jemari pria itu terulur dan kemudian menempel di pipinya. Membelai pipinya lembut dan jemari itu kemudian menjalar sampai ke bagian belakang kepala Dania. Tangan pria itu yang lain, merengkuh pinggang Dania dan menariknya kuat. Pria itu langsung menyergap bibir Dania. Dania mencoba mengimbangi, tetapi pria itu mendesak terlalu kuat, menguasai Dania hingga napas Dania terasa mau habis. Saat pria itu menangkap lidah Dania, sebuah gigitan yang kuat menahan lidah Dania, sontak Dania memekin dan mendorong sekuatnya tubuh si pria. Berhasil. Cumbuan itu terlepas. Dania merasakan rasa aneh di air liurnya. Rasa sedikit asin. Rasa darah. Perasaan Dania semakin kalut. Belum juga apa-apa, pria itu sudah menyakitinya. Pria itu menyeringai. Ketampanannya menjadi semakin mengerikan. Ia kembali menarik Dania dan langsung menangkap bibir Dania. Digigitnya kuat bibir bawah Dania, membuat Dania meringis dan kemudian menjerit lirih. Dania mencoba mendorong, berbeda dengan yang pertama, pria itu kini jauh lebih kuat. Pelukannya di pinggang Dania tak lepas, begitu juga cumbuan ganasnya di bibir Dania. Air mata mengalir karena kesakitan yang teramat. Ia bisa merasakan darah segar dari bibirnya yang digigit kuat. Kembali Dania mencoba memberontak. Sekuatnya ia mendorong si pria dan kali ini berhasil. Pria itu tertawa kecil setelah melepaskan diri dari Dania. Dengan punggung tangannya ia mengusap ujung bibirnya. Mencecap darah Dania yang sengaja ia cicipi dengan melukai bibir Dania. "Manis," ujar si pria dengan tatapan puas. Dania bergidik. Jika seseorang bisa begitu menikmati darah manusia, maka dipastikan akan ada kengerian. "Sayang..., kita mulai saja, ya." Dania bergeming dengan air mata yang tiba-tiba turun. Air mata kesakitan karena lidah dan bibirnya terluka. Juga air mata ketakutan. Orang di depannya meski sangat tampan, tetapi adalah iblis. Manusia yang bisa menikmati luka dan darah sebagai kesenangan. Dania sudah bisa menduga itu. "Sa...saya..., mau mem...membatalkan. Nggg..., mung...mungkin lain kali." Dania gelisah. Tak ada jalan lain selain menyeberangi tempat tidur atau melewati si pria. "Kamu pikir saya akan bilang 'iya'?" Senyum yang semakin lebar dari si pria justru semakin mengerikan bagi Dania. Setiap langkah maju dari pria, otomatis membuat langkah mundur bagi Dania yang akhirnya membuat Dania merapat pada dinding. "Apa yang salah dari saya?" "Ti...tidak ada," jawab Dania gugup. "Apa kurangnya saya?" Dania menelan air liurnya. "Ti...tidak. Tidak a...ada." Tiba-tiba leher Dania dicengkeram sangat kuat. Dania gelagapan. Kedua tangannya mencoba melepaskan cengekeraman dari pria itu. Tubuhnya ditarik mendekat, Dania merasa lehernya seperti mau putus. Dan tubuhnya dilempar ke tempat tidur. "Buka." Dania yang masih terbatuk-batuk karena masuknya oksigen yang tiba-tiba, dibuat bingung. "Bu...buka a...apa?" tanya Dania dengan suara berbisik. Tiba-tiba pria itu sudah meloncat dan mendih perutnya. Dania melenguh. Tubuh pria itu lebih tinggi darinya, lebih berotot dari Rio, rasanya saat perutnya diloncati, seluruh isi perut ingin keluar. "Bodoh! Selalu banyak tanya! Tidak punya inisiatif! Bodoh!" Setiap kata yang diucapkan, maka satu kali tinju melayang di wajah Dania. Dania menjerit sekuatnya dan kemudian sadar, ini apartemen mewah yang memiliki ruang kedap suara sangat baik. Teriakannya akan percuma. Dania tidak yakin akan apa yang terjadi ke depan. Hanya saja ia yakin, ia akan tersakiti kali ini. Pria itu melepaskan ikat pinggangnya, melilitkan di leher Dania dengan kuat. Ada senyum kesenangan yang Dania bisa lihat dari sela matanya yang sulit terbuka. Tak apa. Hanya malam ini saja. Lain kali, saya akan turuti apa kata kamu Rio. Maaf. Maafkan saya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD