Chapter 36

1607 Words
Memulai langkah baru untuk pendekatan. *** "Ayang! Ayang sini! Cepat!" teriak Elis. Wajahnya menempel di jendela kaca. Tangannya terulur ke belakang, melambai ke arah Kahayang dengan gerakan cepat. Tubuhnya melompat-lompat kecil dengan gemas. "Ada apa, sih? Ada kecelakaan?" tanya Kahayang malas. Ia meletakkan pot bunga anggrek di tempat yang kosong karena sebelumnya dua pot anggrek bulan sudah laku terjual. Elis menoleh gemas akan kelambanan Kahayang. "Ke sini cepat!" Kahayang mendengkus dan mendekati Elis. Ia pun ikut-ikutan menempelkan kepala ke kaca jendela. Mengamati jalan dan orang-orang dengan bingung. Ia tidak tahu apa dan siapa yang harus ia lihat. "Harus lihat apa ini?" tanya Kahayang mulai kesal. "Lihat itu cowok dengan kemeja ungu gelap." Dengan telunjuk yang menempel ke kaca, Elis menunjuk-nunjuk. Kahayang menyipitkan, mencoba mencari sosok pria yang dimaksud Elis. "Yang baru saja menyeberang itu?" Elis tidak menjawab melainkan menarik tubuh Kahayang menjauh dari jendela kaca. Ia merapikan rambut panjangnya, bercermin sebentar dari kaca cermin kecil yang selalu tersedia di rak. Kahayang sendiri hanya bingung memerhatikan kehebohan sepupunya itu. Ia menoleh ke pintu dan tepat saat itu bel gantung berdenting seiring dengan terbukanya pintu. Seorang pria tampan dengan kemeja ungu gelap masuk. Di wajahnya ada kumis dan jambang tipis. Tidak mengesankan kotor, melainkan justru terlihat sangat maskulin. Apalagi pria itu memiliki senyum yang teramat manis dan binar mata ceria. Seperti gambaran pria-pria romantis yang tidak kemayu. "Hai. Saya datang lagi," sapa si pria pada Elis. "Hai. Terima kasih sudah mau datang kembali. Bunga kemarin bagaimana? Ibunya suka?" Kahayang terpana mendapati kelembutan Elis. Sepupunya itu menjadi sangat manis menghadapi customer. Walaupun sebenarnya Elis selalu manis dan ramah pada setiap orang yang masuk ke dalam toko bunga, tetapi yang kali ini benar-benar berlebihan. Senyum Elis terlalu lebar hingga gigi-giginya terlihat. "Sangat suka. Pilihan Mbak sangat tepat." "Aduh, kok 'Mbak'. Saya Elis." Elis mengulurkan tangannya cepat. Sempat membuat pria di hadapannya terkejut, tapi kemudian memaklumi dan menjabat tangan Elis. "Saya Deon." "Oh..., hehehe..., Mas Deon." Elis masih menggenggam tangan Deon. Menikmati mantapnya genggaman tangan Leon yang besar juga hangatnya jemari itu. Tak hanya itu, Elis juga menguasai wajah Deon dengan puas. Deon sendiri mulai salah tingkah. Apalagi ia menyadari kalau sedari tadi ada wanita lain yang memerhatikan dengan kedua tangan dilipat di d**a. Deon menatap Kahayang, memberikan senyum kecut dan tatapan memohon. Kahayang tersenyum geli mendapati tatapan Deon padanya. Ia bisa merasakan bagaimana tersiksanya laki-laki jika diperlakukan berlebihan. Ia mendekat dan menepis kedua tangan yang saling bersalaman. Elis langsung memberikan tatapan kesal, tapi Kahayang tak peduli. "Hehehe..., maafkan sepupu saya. Dia memang suka agak iri." Elis memajukan tubuhnya dan meminta Deon juga agak mendekat. Deon pun menurut karena sepertinya Elis akan membisikinya sesuatu tentang sepupunya itu. "Sudah lama dia gak pernah liat cowok cakep." Dan tawa Elis pecah sesudah mengatakannya. Deon sendiri hanya tersenyum menahan tawanya sendiri. "Dih!" Kahayang melengos. Berbalik dan memilih untuk menata bunga-bunganya. "Mbak ini pasti Kahayang." Deon langsung menembak. Ia tak ingin mengulur waktu. Ia harus bisa bertemu Kahayang sebelum Sambara. Kahayang menoleh. "Bagaimana bisa tau?" "Iya. Kok, tau? Wah, kamu sengaja cari-cari tau tentang sepupu saya, ya?" Nada bicara Elis mulai tidak suka. Bukan tidak suka karena cemburu, melainkan tidak suka jika sepupunya dikorek-korek identitasnya oleh orang asing. "Bukan, bukan begitu." Cepat-cepat Deon meluruskan maksud ucapannya. Ia tidak mau kedua wanita itu menaruh curiga dan kemudian menjauhinya. Bisa gagal dirinya dalam sayembara itu. "Lalu?" tanya Elis tegas. "Kan, Mbak kemarin bilang kalau yang jaga di toko ini cuma berdua." "Tapi kan saya...." "Saat itu saya nanya nama Kahayang apakah nama pemiliknya," potong Deon. "Mbak jawab, iya. Dan dia sedang keluar mengantar bunga pesanan. Jadi tadi sebenarnya saya hanya menebak saja saat menyebut Mbak ini Kahayang." Elis dan Kahayang masih menatap penuh selidik pada Deon. Elis sendiri mencoba mengingat percakapannya dengan Deon, sedangkan Kahayang mencoba menerka-nerka apakah pria di hadapannya ini benar-benar orang baik. "Ah! Iya!" Elis memekik keras membuat Deon dan Kahayang menjingkat kaget. "Saya ingat!" "Hust! Itu suaranya," tegur Kahayang. Elis langsung tersipu malu. "Iya sayang ingat. Maaf, ya kalau kita tadi jadi gak sopan." "Tidak apa-apa, Mbak." "Eh! Kok Manggil Mbak sih. Elis. Cukup Elis. Dan dia memang Kahayang." "Hai." Kahayang mengangguk sopan dan tersenyum sewajarnya. Deon mengulurkan tangannya, membuat Kahayang mau tidak mau menyambut uluran tangan Deon. "Deon." "Kahayang." "Saya kira tadi kamu anak magang. Anak sekolah." "Karena pendek?" "Bukan." Deon mengekek. "Karena mungil." "Hahaha.... Apa bedanya?" tanya Elis geli. "Beda. Kalau pendek itu pendek dalam satuan ukuran. Kalau mungil.... Itu bukan tentang pengukuran tetapi sesuatu yang bersifat manis. Sosok yang elok." Sebuah pujian. Kahayang meleleh. Apalagi Deon bicara dengan nada yang lembut di balik wajahnya yang berjambang tipis. "Ehem! Hem!" Elis berdeham beberapa kali. Deon menyadari situasinya ia melepaskan tangan dengan lembut. "Maaf. Kelamaan." "Gak pa-pa. Kalau perlu sampai seabad lagi kita berjabat tangan. Sampai seseorang kehabisan suara karena berdeham." Kahayang melirik pada Elis. Ia menyindir sepupunya itu. "Oh, iya. Mau beli bunga buat siapa kali ini?" tanya Elis. "Hmmm.... Sebenarnya...." Elis dan Kahayang sama-sama mengernyit melihat Deon yang sepertinya ragu menyampaikan sesuatu. Deon menjilat sekilas bibir bawahnya sebelum kemudian mulai mengutarakan niatnya. "Gimana ya jelasinnya." Deon mengusap dagunya, menimban lagi. "Ngomong aja. Jangan dipendam," ujar Elis. Deon mengangguk dan menghela napas panjang. "Semoga kalian tidak prasangka. Begini, untuk pertama kalinya saya memberikan hadiah yang ternyata membuat ibu saya sangat bahagia. Selama ini saya selalu memberikan hadiah beliau barang-barang mahal dan berkelas. Tapi, ternyata ibu saya inginkan hadiah yang punya makna. Bunga anggrek bulan itu punya makna dalam tentang kasih seorang ibu. Dan bagi ibu saya, itu hadiah dari saya yang paling mahal di antara barang mahal lainnya." Baik Elis maupun Kahayang, sama-sama kagum akan cerita ketulusan Deon pada ibunya. Sedikit pria sukses yang ingat dan mencari tahu apa yang menjadi kebahagiaan ibunya. Deon adalah makhluk langka. Bagi Elis ini kesempatan mendapat laki-laki baik. Bagi Kahayang ini penyesalan karena ia sudah menjadi milik Gery. "Wah. Iya, iya. Saya tak menduga bunga pilihan saya telah menjadi momentum membahagiakan bagi ibumu, Deon." Dengan sengaja Elis mengingatkan Deon kalau bunga angrrek bulan adalah pilihannya. Deon tersenyum dan mengeluarkan kata terima kasih dari bibirnya untuk Elis. Tapi dalam hati ia kesal. Ia tidak suka ada orang dengan terang-terangan mengingatkannya akan sebuah kebaikan atau budi yang sudah dilakukan. Ini mengingatkannya akan sikap ibunya yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan. "Melihat ibu saya begitu bahagia, saya sudah berniat untuk mentraktir makan. Hitung-hitung sebagai bentuk terima kasih saya pada kalian." Dengan sengaja Deon menyebut kalian. Ia tidak mau membesarkan kepala Elis. Elis bukan tujuannya. "Wahhh! Serius?" tanya Elis senang. Deon mengangguk mantap. "Nanti malam bagaimana?" Kembali Deon mengeluh dalam hati akan agresifitas Elis. Dia menguat-nguatkan diri tak menunjukkan kesebalannya. "Malam saya tidak bisa. Siang ini bagaimana? Kalian tidak makan siang?" tanya Deon, menatap Kahayang tajam, berharap gadis itu mau. "Kami biasanya makan siang bergantian," jawab Kahayang karena ia yang ditatap Deon. Kahayang menatap Elis yang menangkupkan kedua tangannya. Sikap memohon. "Kalian silahkan saja makan siang. Saya di sini." "Ah, iya. Kalau begitu kita makan siang sekarang aja, Deon," ajak Elis yang langsung mengambil tas selempangnya dari laci. Deon seketika kebingungan. Ini tidak seperti yang ia duga. Ia harus bisa secepatnya dekat dengan Kahayang. Secepatnya juga dekat dengan keluarga Kahayang. Ia tadi sudah punya rencana dan itu akan menjadi keberhasilan andai tidak ada Elis. Deon berputar otak. "Apa tidak apa-apa?" tanya Deon hati-hati. "Oh, tidak apa-apa. Memang biasanya kalau waktu makan siang, kami bergantian," jawab Elis riang. "Mmm.... Gimana, ya. Saya yang jadi tidak enak." "Santai aja. Tidak apa. Memang begitu," ujar Kahayang. "Tapi saya yang tidak enak. Saat saya melihat wajah ibu saya, saya tidak hanya berniat untuk mentraktir Elis, tetapi juga pemilik toko bunganya." "Saya? Kenapa saya masuk dalam niatmu?" "Kemarin saya memang sedang mencari hadiah untuk ibu saya. Toko-toko sekitar banyak menjual pakaian, tas, atau perhiasan yang saya waktu itu merasa ibu saya pasti akan menerimanya dengan biasa saja. Toko bunga ini satu-satunya yang ada di sini. Saya berpikir, andai pemilik toko bunga tidak punya inisiatif untuk membuka tokonya di sini, tentu alternatif pilihan saya masih berkutat pada itu-itu saja." Kahayang menatap Elis bingung. Wajah Deon jelas terlihat seperti menyesal. Niatnya untuk mengajak makan mereka berdua, sepertinya memang sudah diinginkan Deon sejak kemarin. "Kalau saya yang gak ikut bagaimana?" tanya Elis curiga. Apakah Deon memang setulus itu akan niatnya ataukah Deon sebenarnya punya maksud lain atas pemilik toko bunga yang tak lain Kahayang. "Ya, saya juga akan menyesali itu," dusta Deon. "Biar bagaimana, kalian berdua sudah menolong saya dengan bentuknya yang berbeda. Elis dengan memberikan masukkan akan bunga yang tepat untuk hadiah dan Kahayang atas tokonya." Elis tersenyum lega. Ternyata Deon memang ingin mengajak mereka berdua makan siang. "Khusus hari ini, tutup aja, yok," ujar Elis pada Kahayang. "Tapi...." "Bentar, ya, Deon," ujar Elis. Elis bergegas mendekati Kahayang dan menarik gadis itu ke belakang. "Apa?" tanya Kahayang. "Tutup aja bentar." "Nanti Mama marah. Tau sendiri, rejeki jangan sampai lolos karena kita tutup beberapa jam." Elis mengibaskan tangan. "Tante gak mungkin marah. Kita ajak makan di restoran Tante aja." "Hah?" "Tante kan suka wajah-wajah ganteng, hehehe...." "Ya, gak gitu juga, sih...." Meski bibirnya menolak tetapi hati Kahayang setuju. Ibunya suka luluh jika ada cowok tampan dengan pakaian yang sangat rapi. Terhadap Sambara aja bisa begitu lemahnya apalagi sama Deon nantinya. "Udahlah, percaya. Gimana?" "Ya, udah, ayo." Kahayang tersenyum lebar begitu juga Elis. Lagi pula itung-itung membawa pelanggan baru. Tidak hanya keduanya yang merasa lega karena sudah mendapat kesepatan. Tetapi juga Deon. Apalagi saat penawaran makan siang di restoran keluarga muncul tanpa perlu ia harus memutar otak lagi. Deon tertawa lega di dalam hati. Sekali dayung, dua pulau terlampaui. Bekrnalan dengan Kahayang dan sebentar lagi berkenalan dengan keluarga Kahayang. Dalam hati Deon bertanya-tanya, kenapa Sambara tidak terlihat memiliki rencana. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD