Chapter 37

1649 Words
Kesalah pahaman karena iri yang tercipta. Logika tidak disertai pencarian akan kejelasan. *** Mesin mobil sedan hitam masih menyala. Dibiarkan menyala dengan sengaja agar bisa tetap menyala pendingin dalam mobil. Selain itu, si pengemudi di dalam sedang menimbang diri sendiri, keluar atau pergi saja. Itu yang dilakukan Sambara. Ia butuh pendingin mobil tetap menyala agar pikiran dan hatinya bisa tetap dingin. Ia sendiri tidak mengerti kenapa pemandangan tadi memengaruhi perasaan dan juga berpikirnya. Tadinya Sambara akan menemui Kahayang. Ia ingin menjelaskan situasi sebenarnya antara dirinya dan Beby. Sambara tak ingin Kahayang berprasangka lain dan kemudian menjauhinya. Meski setelah dipikir-pikir, Sambara tidak mengerti kenapa juga ia harus merasa perlu untuk meluruskan apa yang sudah terjadi. Toh, Kahayang bukan siapa-siapanya. Kecuali dalam hati terkecil Sambara mungkin menginginkan kemenangan atas sayembara yang dibuat opanya. Tapi saat akan mendekati toko bunga Kahayang, ia melihat rombongan kecil memasuki mobil Deon. Mobil itu berputar dan kemudian berbelok. Seketika Sambara tahu kalau mereka menuju restoran keluarga Kahayang. Dan seketika itu juga Sambara tahu, Deon sudah mulai melancarkan gerakannya untuk kemenangan sayembara kursi CEO. Ini seperti refleks. Sambara mengikuti mobil Deon dan kini justru terparkir di bawah pohon, beberapa meter dari restoran keluarga. Menimbang ini dan itu. Berpikir ini dan itu. Serba tidak jelas. Sambara melepaskan napas. Ia kemudian memutuskan untuk pergi saja. Selain tidak enak dengan Deon, dia juga jadi malas. Baru saja Sambara melepas napas panjang ketika jendela kacanya diketuk. Sambara terkejut dan lebih terkejut lagi saat mendapati wajah Lingga menempel di kaca Sambara. Sambara berdecak sembari mengelus d**a. Perlahan Sambara menurunkan kaca mobil. "O. Hidup." Lingga masih membungkuk. Menelusuri wajah Sambara dengan cermat. Membuat Sambara jadi salah tingkah sendiri sekaligus kesal dengan santainya ucapan Lingga. "Ya, Lingga. Saya masih hidup. Dan syukurnya saya sehat. Tidak kurang suatu apapun." Sambara meyunggingkan senyum. Tapi Lingga hanya menatap Sambara datar saja. "Tidak tanya." Sambara merapatkan bibirnya. Sedikit kesal karena dijatuhkan anak SMA. Sambara menoleh sengit. "Kamu bolos?" "Kenapa gak masuk? Takut?" Lingga mengabaikan pertanyaan Sambara dan menegakkan tubuhnya. Disebut penakut juga pertanyaannya tidak dijawab, harga diri Sambara tidak terima. Ia menaikkan kaca mobil, mematikan mesin, dan keluar. "Saya bukan takut. Malas ribut sama kakakmu yang ngomel-ngomel melulu." Lingga mengedikkan bahu masih dengan ekspresi datar. Ia berbalik dan melanjutkan langkahnya menujur restorang orang tuanya. Sambara seperti orang bingung. Ia sudah terlanjur keluar mobil, tapi ia tidak diacuhkan Lingga. Kembali masuk mobil akan memalukan, mengikuti Lingga, maka ia harus berhadapan pada situasi yang semakin tidak enak, karena ia tidak hanya akan berurusan dengan Kahayang,  tapi juga berurusan dengan Deon. Akhirnya Sambara memutuskan bersikap layaknya lelaki. Sudah terlanjur basah, sekalin saja. Sambara melebarkan langkahnya agar bisa mensejajari langkah Lingga. "Kenapa bolos?" tanya Sambara lagi. "Mau tau aja." "Kamu gak capek diomelin terus kalau bolos?" Lingga melirik sekilas pada Sambara. Baru ini ada teman lelaki Kahayang yang peduli pada dirinya. Biasanya mereka akan melakukan pembiaran. Terutama Gery. Paling hanya pertanyaan kenapa dan kemudian sudah selesai. "Biasa," jawab singkat Lingga. "Kelas berapa kamu?" "Tiga." "Kelas tiga?! Dan kamu membiasakan diri bolos?" Sambara terheran-heran. Saat akhir-akhir masa sekolah bahkan kuliah, hidup Sambara menjadi membosankan dan melelahkan. Hidupnya hanya berkutat pada buku-buku catatan, buku-buku pelajaran, diktat, dan lain-lain, demi sebuah pencapaian dalam jenjang pendidikan yaitu kelulusan. Sambara menahan langkah Lingga dengan memegang lengan pemuda jangkung itu. "Saya mengajukan penawaran untukmu." Lingga mengernyit begitu juga Sambara. Jika Lingga mengernyit karena bingung akan sebuah penawaran yang datang tiba-tiba. Sambara mengernyit justru karena bingung kenapa dia mengajukan penawaran pada adiknya Kahayang. "Apa?" tanya Lingga. Sambara terlihat berpikir. Ia bingung akan memberi penawaran apa. Jangankan itu, ia juga bingung pencapaian apa yang ia inginkan dengan memberikan Lingga penawaran. "Berapa hari aktif kamu sekolah?" tanya Sambara. "Lima hari aktif sekolah. Sabtu–Minggu  ada bimbingan belajar." "Oke. Jika selama tujuh hari itu kamu tidak pernah bolos satu kali pun, saya akan kasih kamu hadiah." Lingga menatap Sambara malas. "Kamu pikir saya Lolita?" Sambara melongo. "Lo...lolita?" "Ishhh...." Lingga melepaskan diri dan melanjutkan langkah yang semakin dekat. Sambara lekas mendekati Lingga. "Dua ratus ribu." Lingga berhenti. "Uang?" "Iya. Kamu pikir apa?" "Dua ratus ribu?" "Iya. Dengan syarat tanpa bolos kecuali ada keterangan jelas." "Lima ratus ribu." Lingga menawar. Sebenarnya Lingga bingung buat apa Sambara begitu peduli padanya. Namun, kemudian terpikir bahwa tindakan Sambara adalah bagian menyogok untuk bisa mendapatkan kakaknya. "Memangnya kamu tidak diberi uang saku? Dua ratus lima puluh ribu." "Uang saku lain. Hadiah lain." "Ini buat kebaikanmu. Tiga ratus ribu, terakhir. Nanti kalau kamu lulus dengan masuk peringkat lima besar, saya naikkan sepuluh kali lipat." Ekspresi Lingga masih datar, tetapi dalam hatinya bersorak. Ia mulai menghitung sisa minggu ujiannya. Mengkakulasi tabungannya. Dan itu uang yang tidak sedikit. Ia bisa berontak dari ibunya yang ingin Lingga kuliah di Jakarta sedangkan Lingga sangat ingin kuliah di Jogja. Baru ini ada lelaki yang begitu tergila-gila pada kakaknya sampai ia memikirkan adiknya. Lingga memutuskan, menyukai Sambara dan akan mendukung pria itu jika memang Sambara menyukai Kahayang. Bukan perihal nilai uangnya. Tapi, kepedulian Sambara sampai rela memberikan uangnya untuk Lingga. Padahal kata Kahayang, Sambara hanyalah seorang asisten. "Oke. Tanggung sendiri kalau kamu bangkrut. Tiap Senin saya akan menagih." Sambara tersenyum dan mengulurkan tangan, tetapi Lingga tidak mengacuhkan. Sambara memaki kesal sedangkan Linga justru tersenyum lebar. Keduanya sudah menjalin kedekatan yang tulus. Setidaknya dari Sambara. Ia melakukannya tanpa maksud. Itu hanyalah sebuah tindakan implusif. Sebuah bentuk kepedulian. *** Lingga sudah masuk duluan sedangkan Sambara masih melangkah perlahan. Maju, malas. Mundur, sudah tidak mungkin. Yang kini ia pikirkan adalah, ia harus bersikap bagaimana nanti di depan Deon. Dan yang menjadi pertanyaan adalah, Deon akan bagaimana terhadap dirinya. "Ah sudahlah. Yang terjadi, terjadilah," gumam lirih Sambara. Saat ia masuk, Sambara melihat Lia berdiri di sebelah Lingga. Tangan Lingga terulur ke Deon yang duduknya membelakangi pintu masuk, yang artinya, Deon belum menyadari akan kehadiran dirinya. Terlihat keceriaan di wajah Lia. Tak hanya di Lia, keceriaan juga sepertinya juga ada di wajah Kahayang yang duduknya menghadap ke pintu masuk. Mata Kahayang bergulir menatap ke pintu. Ia terkejut melihat Sambara sudah ada di dalam restoran. "Siluman...," bisik Kahayang untuk dirinya sendiri. "Ha? Apa?" tanya Lia. Ia tak mendapatkan jawaban. Lia kemudian mengikuti arah tatapan Kahayang. "Lho. Ada Sambara." Sambara tersenyum kikuk. Tak ada pilihan, ia musti mendekati Lia. Seketika, semua mata tertuju padanya. Deon dan Elis memutar tubuhnya agar bisa melihat Sambara. Ini benar-benar menjadi situasi yang canggung. Terutama antara dirinya dan Deon. Dalam keseharian, sepanjang hidup keduanya, Sambara dan Deon berada pada jalan masing-masing. Kehiduapan yang berbeda, teman berbeda, sekolah yang tak sama. Keduanya benar-benar tidak pernah bertemu di luar hal-hal yang sifatnya rutinitas, seperti kantor. Ini adalah pertama kalinya bagi Sambara dan Deon. Dari hal-hal yang kurang enak, Deon justru merasa seperti mendapat dua kejutan. Setelah kemunculan Sambara, Deon terkejut dengan kenyataan bagaimana santainya Lia menyebut nama Sambara. Seolah Sambara sudah dikenal baik dan akrab dalam lingkungan keluarga Kahayang. Ini membuat Deon menahan kesal dan menyembunyikan ketidaksukaannya pada Sambara. Lelaki itu, selalu lebih dulu berada di awal. Dan itu yang dibenci Deon. Saat ia menduga ia sudah pertama, ternyata Sambara sudah melaju lebih dulu. "Selamat siang," sapa Sambara dulu. Mengangguk hormat pada Lia dan kemudian pada lainnya. "Wah, ada Bara. Suatu kebetulan sekali. Orang-orang Bimantara ada di sini." Lia benar-benar tak menduga. Entah apa pemikat putri sulungnya itu, hingga para pria dari perusahaan yang sama, bisa kenal dan dekat dengan Kahayang. Bahkan kekasih putrinya juga bekerja di Bimantara. "Kalian kenal?" tanya Lia antusias. Sambara dan Deon saling menatap bingung. Juga saling melempar tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan Lia. Sambara dan Deon menunggu apa yang akan dijawab pesaingnya. Sambara berharap Deon bisa menjawab, dengan begitu ia bisa mengikuti alurnya. Deon pun berharap yang sama. "Mana mungkin kenal, sih, Ma. Jabatan keduanya aja beda jauh. Bimantara kan bukan perusahaan kecil." Sambara juga Deon melepaskan napas kelegaan. Kahayanglah sang penyelamat. Ia yang membuka alur. Memudahkan Sambara dan Deon bersikap. Tinggal mengikuti saja dulu apa yang jadi pemikiran Kahayang dan orang-orang sekitar. Jika dianggap tidak kenal, maka keduanya akan bersikap layaknya dua orang yang tidak saling kenal. "Oh. Di Bimantara juga?" tanya Deon pura-pura. "Iya," jawab singkat Sambara. "Bagian apa?" Sambara kini yang terjebak. Ia tidak tahu Deon memperkenalkan diri sebagai apa. Apakah benar-benar mengaku sebagai CMO ataukah lainnya. Jika sambara mengaku sebagai CEO sedangkan Deon mengaku CMO, maka itu akan merendahkan kedudukan Deon dan Sambara tak suka menjatuhkan orang yang belum menjadi lawannya. "Asisten bos besar. Yang cuma ke sana ke sini gak jelas," jelas Kahayang. "Hust. Ayang! Gak boleh omong begitu. Apa pun itu, Sambara bekerja," tegur Lia tidak suka. Ia memang mengajarkan anak-anaknya untuk tak merendahkan pekerjaan orang. Dan teruntuk Kahayang, ia tak suka putrinya menjadi wanita yang menjatuhkan harga diri lelaki dengan meremehkan pekerjaannya. Kahayang langsung terdiam. Ia menyadari kesalahannya. "Maaf." "Gak pa-pa, Ma. Itu memang pekerjaan saya. Asisten bos besar." Sambara benar-benar dengan ucapaannya. Ia justru semakin berterima kasih pada Kahayang yang sudah menyelamatkannya. Sedang Sambara tersenyum lebar, kedua mata Deon justru membulat. Sambara menyapa Lia dengan 'Ma'. Deon menduga-duga seberapa lama Deon kenal keluarga Kahayang, sampai sebegitu akrabnya ia memanggil Lia dengan 'Ma'. Sayembara baru diumumkan kurang dari tiga hari, jika dirinya saja masih memanggil Tante karena baru kenal, lalu Sambara sudah berapa hari lebih lama? Berarti setelah pengumuman, Sambara langsung ke sini? Atau saat Kahayang mengantar bunga, itu bunga pesanan Sambara? Atau.... Jangan.... Jangan.... keduanya sudah kenal lama. Opa Edwin yang mengarahkan Sambara untuk berkenalan dulu, baru kemudian ia memberikan sayembara. Deon meremas tangannya. Jika pikiran keduanya benar, maka sudah dipastikan keberpihakan opanya. Ini harus ia laporkan pada ibunya. Persaingan ini akan percuma. Sia-sia. Sambara sudah diberi jalan dari awal. Ibarat orang lomba lari, Sambara sudah lari lebih dulu. Deon berdiri dan mengulurkan tangan. Permainan mau tidak mau harus dijalankan karena sudah dimulai. Alurnya juga sudah dibuatkan. Masing-masing tidak bisa mundur. "Saya Deon. CMO Bimantara Grup." Sambara menerima uluran tangan Deon. "Sambara." "Sukses, ya. Karena sepertinya, jalannya sudah dibuka dulu." Senyum sinis terukir di wajah Deon. Saat itulah Sambara memahami, jika Deon sudah salah paham.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD