Chapter 38

1966 Words
Ada kemarahan di tengah kebersamaan. Ada kematian di tengah kegembiraan. Di sisi yang sini dan di sisi yang sana, berbeda situasi. *** Entah memang takdir, entah memang ini adalah sesuatu yang tak terduga. Elis yang begitu mengidolakan Deon, yang sudah terkesima dengan sosok Deon, yang bahkan mungkin sudah jatuh hati pada lelaki dengan jambang tipis itu, sejak mula selalu menempel di dekat Deon. Bahkan kemudian ia duduk di sisi Deon. Kahayang yang memahami situasinya, memilih duduk di hadapan Deon. Kini, ketika Sambara muncul, justru membuat Kahayang dan Sambara duduk bersisian. Sedangkan di meja kasir, Lia dan Andin diam-diam mengamati. Lingga memilih makan di dapur restoran dari pada mengurusi hal tidak jelas. "Pa. Menurut Papa, Deon sama Sambara mana yang lebih pas untuk Kahayang?" tanya Lia dengan berbisik. "Hmmm.... Sambara, sih." Lia mengangguk-angguk sumringah. "Sama, Pa. Tapi, kedudukannya jauh lebih tinggi Deon lho, Pa." "Iya, sih...." "Eh, Pa. CMO ama CEO sama kan ya, Pa?" "Beda. CMO satu level di bawah CEO. Tapi, biar begitu, CMO itu kuat juga." Lia mengangguk-angguk antara paham dan tidak paham. "Biasanya, level-level tinggi itu diduduki ama orang terdekat pemilik perusahaan," lanjut Andin. "Wahhh.... nggg..., Pa..., apa Pa istilah anak-anak kalau orang kaya banget?" "Sultan." "Nah, iya. Sultan." Mata Lia berbinar-binar menatap Deon. "Kalau Kahayang dapat Deon, kita jadi keluarga sultan juga, ya, Pa." "Aduh kamu. Mimpi di siang bolong." Andin geleng-geleng kepaka sembari senyum simpul melihat kelakuan istrinya. "Mimpi kan boleh, Pa. Bisa siang bisa malam," ujar Lia sewot karena suaminya senyam-senyum saja. "Jadi sekarang kamu suka Deon atau Sambara?" "Mmm...." Lia kembali mengamati Deon. Dari tempatnya duduk, lebih mudah melihat Deon dari pada Sambara. Deon memang tampan. Wajahnya adalah wajah yang ramah. Dibanding Sambara saat pertama kali ketemu, Deon terlihat sebagai pribadi yang mudah bergaul. Sangat ramah. Wajahnya selalu terukir senyum. Hanya saja, Lia merasa ada yang salah dengan Deon. Ia tidak tahu apa. Setiap Deon tertawa, Lia tak menangkap keceriaan yang benar-benar ceria di mata Deon. Berbeda dengan Sambara. Saat pertama bertemu pria muda itu, Sambara terlihat kaku dan salah tingkah. Sambara juga tak terlalu banyak bicara, sekalinya bicara sesuatu yang biasa saja. Tak mendominasi pembicaraan. Tapi, Lia langsung suka pada Sambara. Lelaki itu memiliki sikap yang sangat biasa. Semua tentang Sambara, antara gerak tubuh, bicara, dan mata, berada pada satu garis. Ketika Sambara kesal, matanya ikut menyiratkan kesal. Ketika malu, matanya pun mengarah ke bawah karena malu. Benar-benar normal. Itu yang membuat Lia jatuh hati pada Sambara. Sedangkan Deon, sosoknya lama-lama mengingatkan Lia akan Gery di awal-awal kenal. "Ma," tegur halus Andin pada istrinya yang seperti melamun menatapi putri dan teman-temannya. Beberapa kali ia memergoki Deon menatap ke arah mereka dan memberikan senyum ramahnya. Dan beberapa kali juga Lia justru diam saja. "Hah? Apa? Ada apa?" tanya Lia gelagapan. "Nah, kan. Malah melamun. Itu Deon berapa kali liatin kamu." "Iya gitu?" Dan kembali Deon menatap meja kasir. Ia melemparkan senyum pada Lia yang sedari tadi dilihatnya seperti antara melamun atau mengamati dirinya. Membuat Deon penasaran apa yang dipikirkan Lia. "Pa." "Sebentar." Andin melayani seorang pria yang membayar makanannya bersama teman-temannya. "Apa?" tanya Andin setelah selesai. "Kayak ada yang aneh sama Deon." "Apanya yang aneh?" Andin ikut mengamati Deon dan tetap tidak melihat apa keanehannya. "Sulit dijelaskan. Hanya aneh saja." "Kamu ini, Ma. Baru kenal belum ada satu jam, kamu sudah mulai prasangka sama orang. Gak boleh begitu, Ma. Gak baik." Lia mendengkus karena diceramahi suaminya. "Iya-iya. Dah, ah. Saya ke belakang dulu liat Lingga. Itu anak kenapa pulang pagi lagi? Temen-temennya aja sampai sore. Sekali-sekali kamu nasehatin dia. Kamu kan bapaknya." Andin tertawa kecil melihat kesewotan istrinya yang sudah berjalan menuju dapur. Istrinya lupa kalau hari ini adalah Sabtu. Putranya hanya mengikuti sekolah tambahan selama lima jam saja. *** Sepanjang makan siang, baik Sambara maupun Deon, benar-benar menjadi asing. Memang sebelumnya, keduanya tidak pernah benar-benar dekat, tapi tak pernah seasing ini. Peranan dimainkan untuk menutupi kenyataan bahwa keduanya saling kenal, bahwa keduanya adalah saudara tiri, dan bahwa keduanya sedang bersaing. Untuk yang terakhir, benar-benar harus disembunyikan. Entah sampai kapan. Tak ada kesulitan bagi Deon memainkan peranannya, selain ia harus tetap bersikap sebagai pribadi ramah dan menyenangkan bagi siapa saja. Hidup Deon sendiri sudah terlatih untuk berakting. Lepas dari itu, kenyataan tentang siapa Deon juga sudah jelas. Jadi untuk latar belakang, tidak ada yang Deon sembunyikan. Yang sulit adalah Sambara. Ia sudah terlanjur diakui sebagai asisten bos besar. Ia tidak bisa mensejajarkan diri dengan Deon. Sambara yang tak pernah berakting, menjadi kesulitan menjalankan peranannya. Terlebih karena Deon dengan sengaja mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputra dirinya dan latar belakang kehidupannya. Semakin banyak Deon bertanya, semakin sering juga Sambara menciptakan kebohongan. Hanya satu yang benar sesuai fakta, dirinya menjawab pertanyaan Deon siapa bos besarnya dan Sambara menjawab Edwin Sambara. Makan siang berakhir. Deon dengan perasaan kesal, harus kembali ke dalam mobilnya lebih dahulu karena ternyata Sambara memarkir mobilnya di luar restoran. Ini berarti, Sambara memiliki waktu tambahan dengan Kahayang. Di dalam mobilnya, ia menjadi dirinya sendiri. Dengan sangat jelas ia marah pada Sambara juga pada opanya yang sudah mempermainkan dirinya dan ibunya. Mereka mengadakan sayembara setelah Sambara sudah maju lebih dulu. "Kalian pikir kalian bisa tenang? Benar kata Mama, keturunan sampah akan tetap menjadi sampah. Dan kamu Sambara, tidak akan pernah berhak menjadi CEO." Deon berkata sengit, sembari bibir tersenyum lebar dan membunyikan klakson mobil saat melewati Sambara dan lainnya. Baru keluar dari keluar dari restoran, Deon mendapat telepon. Deon mendengkus kesal saat membaca nama penelepon. Meski begitu, ia tetap menerima panggilan telepon itu. "Apa?" Deon mengernyit dalam. Kemarahannya tak bisa ditutupi. "Bawa ke rumah sakit kan bisa. t***l!" "..." "Ah, terserah! Pokoknya saya tau beres." Telepon dimatikan. Dengan kemarahan yang menumpuk, Deon melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli jika jalanan masih ramai dan cukup padat. Di depan restoran, Kahayang menahan langkah Sambara dengan langsung berdiri di depan Sambara sembari melipat tangan di depan d**a. Kahayang tidak peduli jika ia harus mendongak, juga tak peduli jika ia melihat tawa di sudut mata Sambara. Ya, Sambara menahan tawanya di mulut tetapi tak bisa menyembunyikan di mata. Kahayang saat ini terlihat bagai gadis kecil yang sedang merajuk dan akan menuntut sesuatu. "Ada apa?" tanya Sambara kalem. "Ngapain ke sini?" "Makan. Apa lagi?" "Makan kan gak harus di sini." "Terus di mana?" "Kamu kenapa, Ayang?" tanya Elis bingung dengan kekesalan Kahayang pada Sambara. "Iya. Kamu kenapa, Ayang?" Dengan sengaja Sambara membeo. Ia menikmati wajah kesal Kahayang yang semakin bersemu seperti apel. "Ishhh.... Pake nanya kenapa! Sudah jelas saya tidak suka kamu. Lagian kan kamu sudah punya pacar. Ngapain makan di sini?" "Serius?" Elis memandangi Kahayang dan Sambara bergantian. "Dia bukan kekasih saya." "Bukan kekasih tapi manggilnya 'Sayang'. Kamu pikir saya bodoh?" bentak Kahayang. "Kamu gak bodoh, tapi memang begitu kenyataannya dia bukan kekasih saya." "Halah. Memang lelaki itu jago ngeles." "Oke. Terserah pemikiranmu. Masalahnya, apa hubungannya antara status saya dan makan siang di restoran ini? Kamu tidak suka saya makan di sini atau kamu tidak suka ada wanita lain memanggil saya kekasih?" Kahayang terperangah dengan pertanyaan Sambara. Kepalanya tiba-tiba kosong. Ia menelan air liurnya sendiri. Pertanyaan Sambara seakan menohok dirinya yang sedang dikuasai emosi. Sebenarnya ia hanya tidak suka Sambara makan di restoran orang tuanya. Ini karena ibunya terlihat menyukai Sambara. Meski belum, tetapi Kahayang khawatir ibunya akan membanding-bandingkan Gery dengan Sambara. Masalahnya, Kahayang tidak mengerti kenapa urusan Beby yang memanggil Sambara 'Sayang', menganggu dirinya. "Iya, nih, Ayang aneh. Sambara kan bebas makan di mana saja. Lagian, kenapa memangnya kalau ada perempuan manggil Sambara 'Sayang'?" Sambara tersenyum manis pada Elis yang telah membantunya. "Nah, bener. Kenapa memangnya kalau saya makan di sini? Kalau tidak suka ya tidak suka aja. Atau...." "Atau apa?" tanya Kahayang dengan melotot. "Atau sebenarnya kamu cemburu. Jadi marahnya gak jelas begini." "Idih! Hoekkk.... Saya punya kekasih yang sejuta kali lebih oke dari kamu. Sorry, ya saya cemburu ke kamu. Hoekkk...." Kahayang menarik tangan Elis dan melangkah cepat meninggalkan Sambara. Elis tergopoh-gopoh mengikuti Kahayang karena tangannya yang tiba-tiba ditarik. Meski begitu, Elis sempat menoleh ke arah Sambara, mengedipkan mata dan melambaikan tangan. Sambara tersenyum simpul. Hatinya merasa puas melihat Kahayang yang uring-uringan tidak jelas. Ada kenyataan baru untuk menggoda Kahayang yaitu Beby. "Cemburu rupanya," gumam lirih Sambara sembari tertawa kecil. "Siapa cemburu?" Tawa Sambara sontak berhenti. Sambara nganga melihat kemunculan Lingga yang tiba-tiba. Ini sudah yang kedua kalinya. Atau mungkin ketiga kalinya. Yang pertama saat Sambara pertama kalinya makan di restoran. "Apa? Kenpa kaget begitu?" tanya Lingga seowt melihat ekspresi Sambara. "Kamu munculnya tiba-tiba. Ya pasti kaget." "Dasar orang tua." Lingga berlalu meninggalkan Sambara yang melotot disebut orang tua. "Kenapa yang satu ini begitu menyebalkan," geram Sambara. *** Di dalam salah satu unit apartemen mewah, Markus mendesah kesal sembari mematikan ponselnya. Wajahnya kusut berantakan karena dari semalam belum tidur. Semakin kusut karena ada beban yang harus ia urus. "Bagaimana, Bos?" tanya si botak dengan wajah khawatir. Markus menggeleng lemah. "Dia bilang terserah kita yang penting dia tau beres. Dia akan menaikkan bayaran sepuluh kali lipat." Si botak terdiam. Ini memang menjadi dilematis. Di dalam kamar, ada Dania yang terbaring sekarat. Keadaannya kacau. Wajahnya babak-belur sampai susah dikenali. Tubuhnya ditemukan tergeletak di lantai tanpa sehelai benang dengan posisi tengkurap dan banyak memar bekas cambukan, gigitan, juga tinju. Yang menyedihkan, di lehernya ada bekas jeratan, si botak menduga itu bekas lilitan sabuk. "Kita panggil pelanggan kita yang dokter itu?" tanya si botak. Markus tak menjawab. Kepalanya benar-benar pusing. Sedarian tadi ia menahan emosinya sendiri. Sejak mula ia sudah ragu menerima permintaan Oppa. Hanya keserakahannya yang membuatnya kemudian luluh dan mau memenuhi permintaan lelaki kaya itu. Penggadaan bayaran menjadi sepuluh kali lipat dan kini naik lagi sepuluh kali lipat dari sebelumnya, membuat Markus tidak bisa berpikir sehat. "Gara-gara yang kemarin aja, itu dokter minta gratis berulang kali. Bagaimana yang ini?" keluh Markus. "Terus bagaimana, Bos?" "Coba kamu liat lagi ke dalam. Tanya Bela keadaannya," pinta Markus yang denga sigap dilakukan si Botak. Bela sendiri beberapa kali menangis saat merawat Dania. Ia sudah membersihkan luka-luka di sekujur tubuh dan wajah Dania. Sekarang ia mencoba mengompres lebam yang membengkak di wajah Dania yang mulai ungu. Dania berasal dari kota yang sama dengan Bela. Sikap Dania yang halus dan penurut, membuat Bela sayang sebagai kakak. Ia dulu melarang Dania ikut masuk di dunia gelap begini. Baru dua kali melayani, Dania sudah mengalami hal buruk. Beruntung Dania bertemu lelaki baik. Tapi, kini, Bela justru mengantarkan Dania kembali pada dunia gelap. "Dania.... Maafkan gue. Lu harus kuat, Dania. Lu harus bisa bertahan. Lu sudah punya uang sangat banyak buat ibu lu. Ayo, Dania, buka matamu," isak Bela memohon. Sedari tadi Dania tidak memberikan respon apa-apa. Tak ada keluhan juga tak ada gerakan. Cukup menakutkan bagi Bela dan semua. Yang mereka andalkan adalah detak jantung yang lemah dan napas yang seperti tersengal dari Dania, pertanda masih adanya kehidupan. Tiba-tiba, Bela merasakan gerakan lemah dari jemari Dania yang sedang ia pegang. Bela membelalak, menunduk mendekat ke wajah Dania. "Dania.... Lu sudah bangun?" tanya Bela lirih. "B...b...bros." Dania sekuat tenaga bicara. Napasnya semakin tersengal. "Iya. Kenapa brosnya?" "Ke...kem...ba...likan." Bela mengernyit. Matanya bergeser pada bros yang tersemat di kemeja Dania. "Kembalikan ke siapa?" tanya Bela. "Ti...ti...tip.... Ma...ma...." Sesudahnya Dania lemas. Jemarinya yang tadi mengeras saat bicara dengan Bela, langsung lemah. Kepalanya juga terkulai ke kanan. Saat itu juga, Bela tahu, Dania sudah pergi. Tangisnya pecah dibarengi jeritan penyesalan. Ia sudah mengantar seseorang pada kematiannya. Ia sudah menjadi algojo bagi seseorang yang sudah ia anggap adik. Bela meraung. Berbarengan dengan itu, si botak yang baru masuk dan mendapati Bela menangis histeris, segera mendekati Dania. Ia meraba leher, tepat di bawah dagu, mencoba merasakan detak nadi. Tak merasakan apa-apa, ia beralih pada denyut nadi di tangan. Kembali tak merasakan apa-apa, si botak mencoba merasakahn kehidupan dari d**a Dania. Hasilnya semua nihil. Tak ada tanda kehidupan. "Bagaimana?" tanya Markus panik yang juga sudah ada di kamar. Si botak mendongak dan menggeleng. Dania sudah pergi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD