Chapter 39

2167 Words
Jika kamu bilang aku adalah bunga, maka aku adalah bunga terindah. Jika kamu bilang aku adalah bangkai, maka aku adalah bangkai paling busuk. *** Sambara menghela napas di tangga terbawah. Perlahan ia menaiki anak tangga sembari merapal kata antonim, berulang-ulang. "Buruk ... Baik ... Buruk ... Baik ...." Dan kata terakhir yang keluar dari bibirnya, tepat di anak tangga terakhir adalah, "Buruk." Sambara yang tadinya menunduk, mengangkat kepala sedikit, cukup untuk dapat melihat wajah Supeno yang selalu tersenyum tipis. "Hal buruk apa lagi hari ini?" "Tidak terlalu buruk. Tapi, Mas Bara memang ditunggu di ruang makan." Sambara berkacak pinggang. Sikap tubuhnya terlihat malas untuk melangkah masuk. Ia tak melihat mobil asing, artinya hal buruk ini tak terkait dengan sebuah kunjungan seperti waktu itu. Kedatangan Beby termasuk kategori hal buruk. Jika bukan orang asing atau tamu, maka ini pasti perihal Diana. Hanya tantenya itu yang bisa merusak situasi tenang dan nyaman menjadi berantakan. "Tante Diana?" tanya Sambara. "Kenapa dengan Mama?" Sambara dan Supeno langsung melihat ke bawah, asal suara itu datang. Di pertengahan tangga, Deon perlahan menaiki tangga sembari tersenyum. Bukan senyum manis keramahan, juga bukan senyum sinis, itu seperti senyum yang sengaja diciptakan. "Jadi..., kenapa dengan Mama?" ulang Deon sembari menatap Sambara dan Supeno bergantian dengan wajah manis seolah memang dia tidak tahu apa-apa. Namun, Sambara tahu kalau Deon pasti tahu sesuatu. Semua orang di keluarga Edwin Bimantara sangat mengenal Supeno sebagai si pembawa berita. Kemucnulannya di teras, menanti kedatangan para penghuni rumah, selalu ada dua maksud. Terlalu baik atau terlalu buruk. Dan di rumah Edwin Bimantara tidak ada tamu, maka adanya Supeno di teras pastinya berkaitan dengan salah satu anggota keluarga. Hanya Diana yang punya potensi membuat keributan. Setiap ada Diana, maka akan selalu ada tuntutan dan protes. Sambara hapal untuk itu. "Sukses, ya. Karena sepertinya, jalannya sudah dibuka dulu."               Ucapan Deon tadi siang di restoran keluarga Kahayang, terngiang di ingatan Sambara. Sejak tadi sebenarnya Sambara sudah menduga jika Deon salah paham. "Apakah ini ada kaitannya dengan makan siang tadi?" tanya Sambara yang mengabaikan pertanyaan Deon. "Maksudmu?" Sambara diam. Matanya tak lepas dari mata Deon yang juga menatapnya. Meski Deon masih tersenyum, tapi Deon bisa merasakan hawa panas dari Deon. Hanya saja, Sambara kemudian memutuskan untuk tak melontarkan kecurigaan apa-apa. Ia tidak mau ucapannya menjadi bumerang. "Tidak." Sambara menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Lupakan. Baiknya kita segera masuk saja." Sambara berbalik dan melangkah cepat, masuk ke dalam rumah. Perasaan Sambara galau. Ia sudah menduga sejak siang bahwa Deon salah paham. Ia sebenarnya ingin meluruskan sejak kembali ke kantor, tapi Deon tidak ada dan mengurusi perusahaan cabang. Sambara menghentikan langkahnya dan berbalik, berhadapan dengan Deon. "Apa kamu menyampaikan sesuatu ke Tante Diana?" "Sesuatu apa?" tanya Deon sangat santai. Dalam hatinya, Deon sedikit senang melihat kekalutan Sambara dan penasaran dengan kemarahan ibunya. "Saya harap ini bukan salah paham." Sambara menghela napas. "Di bagian mana yang salah paham?" Sambara tahu kalau Deon sedang bermain kata dan Sambara tidak ingin menekan. Jika kemungkinan opanya dan tantenya ribut di ruang makan, maka ia tidak akan menambah. "Lupakan." Sambara berbalik dan bergegas ke ruang makan. Mendekati ruang makan, Sambara dan Deon mendengar ada yang pecah. Keduanya saling menatap dan bergegas masuk ke ruang makan. Di sana langsung terasa ketegangannya. Diana berdiri di dekat Edwin dengan sedikit membungkuk. Gerak tubuhnya menjelaskan kalau napasnya naik turun. Roy suaminya, berdiri di sebelah Diana, memeluk dari samping dan mengusap salah satu lengan Diana. Mulutnya komat-kamit, seperti sedang mencoba menenangkan. "Dari dulu Papa memang licik. Papa pilih kasih. Terhadap saya dan Bayu, Papa sudah berbeda. Karena s****l itu melahirkan anak lelaki, begitu?" Plak! Sebuah tamparan keras melayang di pipi Diana. Edwin sudah bangkit dari duduknya. Meski ia sudah tua, tetapi wibawanya dan kuasanya masih sangat nyata terasa. Membuat nyiut hati bagi siapa pun yang sedang berhadapan dengannya. Diana sendiri sampai mundur dua langkah karena melihat kengerian di wajah ayahnya sendiri. "Bersyukurlah kamu karena saya gak pikun. Saya masih ingat kamu itu anak saya. Darah daging saya. Begitu juga Bayu! Dan wanita-wanita yang saya nikahi, adalah wanita baik. Bahkan andai ada orang mengatakan ibumu s****l, maka yang mengatakan itu pasti saya bunuh. Meski, saya tak pernah mencintai ibumu. Paham kamu!" Diana terdiam begitu yang lain. Kemarahan Edwin bisa mengerikan jika nekat. Edwin paling tidak suka istrinya diberi label buruk. Ia sangat menghormati almarhum kedua istrinya, terlepas ia cinta atau tidak. Ia tidak akan pernah rela almarhum istrinya dihina sedemikian rupa. "Terakhir ini saya cukup mendengar kamu menghina istri saya. Sekali lagi.... Kamu dan keluargamu akan rasakan akibatnya. Kamu pasti tahu papamu ini bagaimana. Jadi jangan main-main." Edwin menatap mata putrinya dengan kemurkaan yang tak disembunyikan. Bahkan wajahnya terlihat jijik terhadap putrinya sendiri yang sudah keblinger akan harta dan kuasa. Edwin merasakan kehadiran orang lain. Ia menoleh. "Kemari kalian berdua," pinta Edwin dengan suara dalam. Ia kembali duduk untuk menenangkan dirinya. Ia harus begitu agar kemurkaannya tak menyebabkan pihak-pihak yang ia tidak sukai terluka lebih dalam. Karena pihak yang membencinya adalah darah dagingnya sendiri. Sambara dan Deon patuh. Keduanya berdiri di sisi lain Edwin. Berseberangan dengan Diana, Roy, dan Lucy. Diana sendiri juga mengikuti jejak ayahnya. Dengan dibimbing Roy, dia pun ikut duduk. "Ceritakan bagaimana kamu bisa kenal Kahayang," pinta tegas Edwin. Sambara mengeluh dalam hati. Dugaannya benar. Kejadian tadi siang diceritakan Deon tanpa konfirmasi yang mengakibatkan salah paham di pihak Diana. "Saya tahu Kahayang lebih kurang empat hari sebelum pengumuman sayembara. Bukan dari Opa, tapi dari Sofia. Toko bunga langganan kehabisan bunga mawar biru. Bunga itu langka dan tidak semua toko bunga jual. Sofia bilang di toko itu ada dan memang ada."  Sambara terdiam sejenak, menatap Diana. "Tante pasti kenal Sofia. Ibunya adalah Tante Sondang, teman arisan Tante Diana, bukan?" Ada senyum miring kesinisan dari wajah Edwin. Ia tak perlu menatap wajah putrinya, tapi dia bisa merasakan putrinya pasti sangat terkejut dengan kenyataan ini. Sambara jutsru mengenal Kahayang dari orang luar. Yang orang luar itu justru adalah orang yang Diana kenal dekat. Edwin berdiri dengan santai. Diliriknya Diana yang menatap tajam Sambara. Tawa sinisnya tak bisa ditahan. "Makanya, cari tahu dulu baru bertindak. Itu agar kedudukanmu kuat. Oh, ya...." Edwin ganti menatap Deon. "Kamu jangan seperti bayi yang apa-apa lapor. Kalau mau kasih bingkisan ke mamamu, kasih yang ada isinya. Kalau kamu kasih bingkisan kosong, kan kasihan mamamu, uring-uringan tidak jelas sampai memecahkan gelas segala."  Deon menunduk. Menggigit bibir bawah karena malu di sebut bayi. Lebih malu lagi karena ia di sudutkan akan kebodohannya melaporkan perihal siang tadi yang didasarkan pada kecurigaannya semata. Ia bahkan tidak mengkonfirmasi terlebih dahulu. Edwin masih terkekeh, bahkan kekehannya sengaja diperjelas saat melewati Diana yang duduk dengan kaku. Sangat jelas sekali putrinya itu menahan gegelegar amarahnya sendiri. Dia sudah menyemburkan lavanya tidak tepat waktu juga tidak tepat sasaran. Menyemburkan dua kali maka kiamat bagi Diana sendiri. Sebuah ide muncul di benak Edwin. Ia berhenti dan berbalik langsung menatap mata Deon yang ketangkap basah sedang menatapnya. Deon gelagapan, tak menduga opanya berbalik saat ia memandangi punggung Edwin. Kembali Edwin tersenyum sinis. Benar-benar berbeda, batin Edwin yang membuat perbandingan. Sambara dan Deon tadinya sama-sama memandangi punggung Edwin yang akan keluar dari ruang makan. Bedanya; Deon langsung salah tingkah. Ia bersikap kikuk dan kebingungan. Deon melipat masuk bibirnya, sedikit mengangguk-angguk, dan perlahan merubah arah pandangannya. Sedangkan Sambara, meski bukan yang pertama Edwin tatap, tapi cucunya yang satu itu, bergeming dengan sikapnya. Sambara diam saja dan membalas tatapan kakeknya tanpa makna. Sangat ketara siapa yang tenang dalam menghadapi situasi. Sambara adalah bayangan Bayu dan Bayu adalah bayangan ibunya. Tenang dan tidak meledak-ledak. Sambara tidak gentar meski Diana sering menyudutkannya. Dan cucunya itu akan selalu dengan kesopanannya dalam menghadapi Diana juga dirinya. Bibit tidak mengkhianati buah. "Saya paling anti dituduh-tuduh. Parahnya lagi, itu dilakukan oleh darah daging." Diana memalingkan wajah. Kemarahannya makin menjadi. Ia pikir ayahnya sudah selesai, tapi ternyata bersambung. "Jika saya dikata malong maka jadilah saya maling. Saya yang tadinya tidak ingin terlibat karena sudah dianggap terlibat maka..., saya akan nyemplung sekalian. Dan saya tidak akan peduli dengan pikiran dan anggapan siapa pun di sini. Saya mau lihat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana perkembangan sayembara ini." Edwin kembali diam. Menatap satu per satu anggota keluarganya. Menerka-nerka bagaimana perasaan mereka akan sikapnya yang sudah dijelaskan. "Saya akan sering-sering mengundang Kahayang ke sini." Semua terperangah. Diana yang tadinya memalingkan wajah dan berusaha mengabaikan setiap ucapan ayahnya, sontak terkejut, memutar tubuhnya kasar, menatap ayahnya dengan mata melotot penuh. Semuanya mulai bertanya-tanya apa maksud dan rencana Edwin Bimantara atas sayembara ini. Edwin tersenyum menahan kegeliannya saat melihat ekspresi Diana. Ada kepuasan tersendiri karena bisa membalas telak. "Jangan khawatir. Saya tidak akan benar-benar mencampuri. Jadi kamu gak usah melotot seperti Leak begitu," ujar Edwin pada Diana. Edwin tak kuasa menahan kekehnya sedang yang lain tidak mengikuti. Selain masih penasaran akan maksud Edwin, lainnya juga paham akan situasi yang tidak sedang baik-baik. "Saya cuma ingin tahu lebih dulu dari para kandidat akan perasaan Kahayang. Hanya permainan kecil dari saya untuk kalian. Oke, itu saja. Silahkan kalian lanjutkan makan malam tanpa saya. Saya sudah sakit perut duluan." Edwin menoleh pada Supeno yang setia di sisinya. "Bawa makan malam saya ke kamar. Saya sakit perut kalau makan di sini setelah ribut." Dengan santai Edwin memutar tubuhnya dan menjauhi ruang makan. Ia tak peduli akan reaksi putrinya. Ia justru terus tertawa kecil karena puas menjatuhkan Diana dan mempermainkan putrinya sedemikian rupa. Biar pun putrinya sudah sangat dewasa, tampaknya masih perlu dididik. *** Kahayang tersandung saat membawakan teh hangat dan gorengan pisang untuk ayahnya. Kahayang langsung melihat-lihat ke bawah kakinya. Memerhatikan lantai sekitarnya yang kemudian membuatnya mengernyit dalam. Tidak ada satu pun benda yang menghalangi langkahnya dan mengakibatkan dirinya tersandung. Bahkan antara ruang makan dan ruang depan, tidak ada undak-undakan. "Kenapa?" tanya Lia yang kemudian ikut-ikutan memerhatikan lantai. "Tadi saya kesandung. Tapi gak tau kesandung apa," jawab Kahayang yang keningnya mengernyit dalam. "Keserimpet kakimu sendiri kali. Lagian jalan buru-buru gitu. Udah, kasih itu ke papamu." Lia melewati Kahayang yang masih penasaran. Akhirnya Kahayang pasrah dan menuju ruang depan yang merupakan ruang tamu juga ruang keluarga. Di ruang depan, Lia sudah duduk di sofa panjang dengan kaki dilipat. Di sebelahnya, Andin duduk di sofa pijat. Kedunya sama-sama menonton televisi yang menyiarkan berita-berita terkini. Membicarakan berdua akan apa yang tengah terjadi. Hal yang romantis bagi Kahayang. Ketika pasangan berumur lain sudah lelah akan kehidupan, yang kemudian setiap malamnya berkutat pada kesendirian masing-masing atau bahkan memilih tidur cepat. Ayah dan ibunya selalu menyempatkan berduaan. Menjalin komunikasi meski sebenarnya di restoran selalu bertemuda dan bersama. Tapi, pasti beda rasanya kalau komunikasi dilakukan saat sudah di rumah. Sebuah keintiman. Kahayang berharap tuanya akan seperti ayah dan ibunya itu. tetap harus ada kebersamaan meski mungkin seharian sudah bersama. "Saya ke kamar dulu ya, Pa, Ma," pamit Kahayang setelah meletakkan gelas teha dan camilan gorengan pisang. Andin menoleh, tersenyum sekilas dan mengangguk. Ia kembali menatap layar televisi. Sedangkan Lia, memandangi Kahayang dalam. "Mama kok jarang liat Gery. Sepertinya sudah lama gak main ke sini." "Sibuk, Ma," bela Kahayang lesu. "Minggu juga?" "Minggu dipakainya buat istirahat." "Repot juga ya. Jadi manajer saja sudah sebegini menghabiskan waktu, gimana kalau nanti jadi presdir, ya." Kahayang bisa merasakan kesinisan ibunya akan Gery. Ia sendiri sedang malas membela Gery mati-matian. Ia pun kesal akan Gery yang sepertinya sok sibuk. Ada saja alasan Gery setiap diminta kencan. "Entahlah, Ma. Ya udah saya mau ke kamar dulu." Jawaban yang lesu, membuat Lia keheranan. Begitu juga Andin. Biasanya Kahayang akan menggebu-gebu membela Gery. Setiap Lia membahas kekuarang Gery, maka akan ada keributan kecil. Kali ini lain. Kahayang seperti menerima saja. "Ada masalah sama Gery mungkin, Ma." Lia mengangguk-angguk pelan. "Biarkan aja, Ma. Gak usah bahas Gery dulu lagi," saran Andin. "Kayaknya masalahnya kali ini berat, sampai itu anak gak ada apinya." "Iya. Ya udah biarkan aja, Ma." Lia menghela napas. "Semoga putus." "Hust. Nanti anaknya dengar, apa yang gak jadi api malah jadi api beneran." Andin mengingatkan. "Lebih baik putus sekarang, Pa. Mumpung ada dua orang lebih berpotensi juga baik yang sepertinya suka sama Ayang." "Kan masih sepertinya. Sapa tau mereka Cuma ingin temanan." "Saya yakin enggak," ujar Lia mantap. "Kamu ini." Andin senyum tipis. Istrinya selalu punya keteguhan akan perasaannya. Itu yang membuatnya terus jatuh hati pada Lia meski usia sudah menggerogoti waktu. Di kamarnya, Kahayang merebah dan melamun dengan posisi miring. Tangannya memegang ponsel yang sesekali ia periksa layarnya, berharap ada telepon atau pesan masuk dari Gery. Seharian ini, ia tak mendapatkan pesan apa-apa dari Gery. Apalagi telepon. Keinginannya kuat untuk mengirimi Gery pesan duluan atau menelepon duluan. Tetapi kemarahan dan egonya melarang. Belakangan ini, selalu dirinya yang inisiatif, Gery tidak. Akhirnya ia menyerah. Kahayang mulai mengetik pesan untuk Gery. Beberapa kali ia mengetik kemudian dihapus. Ia tiba-tiba bingung harus menyapa apa. Akhirnya ia hanya mengetik kata, 'Hai'. Lama baru kemudian ada balasan dari Gery. Gery: Belum tidur? Kahayang: Kamu sibuk? Gery: Saya ngantuk. Capek. Kahayang mendesah kesal. Jawaban klise sejak Gery menjadi manajer. Kahayang: Seharian sibuk? Gery: Iya. Kahayang: Sampai tidak sempat mengirim pesan? Gery: Jangan manja. Kahayang mendengkus. Hatinya benar-benar kesal hingga ia menangis. Dilemparnya ponsel ke sisi lain tempat tidur. Kahayang melanjutkan tangisnya dengan telungkup. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD