Chapter 40

2029 Words
Main-main ke rumahmu. Aku dapat hadiah menarik. *** Kahayang tersenyum puas setelah bunga terakhir ia masukkan ke dalam vas kaca yang tinggi. Bunga yang ia pilih untuk customer barunya adalah bunga lili, mawar dan alyssum. Warna yang dipilih adalah merah muda dan putih. Warna yang tak mencolok untuk hari Minggu. "Hanya untuk satu rangkaian, kamu sampai harus dijemput segala? Antara keren dan mencurigakan," ujar Elis setelah selesai mengintip dari kaca pintu toko. Kahayang mengedikkan bahu dan menuju meja kasir untuk mengambil tas selempangnya dari laci. "Yang penting cuan." "Tapi kan ini berlebihan. Kamu gak curiga?" "Mmm.... Berlebihan..., iya, sih. Gak pernah kita sampai dijemput segala." Kahayang menoleh keluar. Dari tempatnya ia bisa melihat mobil hitam masih terparkir tenang di seberang toko. Tadi pagi saat baru saja membuka toko, ia mendapat telepon dari seorang customer baru. Ia meminta satu rangkaian bunga untuk di meja makannya. Ia juga akan mengirim orang untuk menjemput jam sebelas siang. Kata menjemput disangka Kahayang adalah mengambil rangakaian bunganya, ternyata dari setengah sebelas siang, seseorang berumur datang yang ditugaskan untuk menjemput Kahayang. "Agak aneh, sih," lanjut Kahayang. "Nah, kan. Udah, kasih aja rangakainnya. Terus bilang kalau kamu tidak perlu ikut." "Tapi...." "Udah, ayo, cepet!" desak Elis. "Tapi..., anu...." Kahayang memainkan matanya ke Elis yang berdirinya membelakangi pintu. "Gak usah ona anu inu. Udah bilang aja kalau...." Ting! Elis tak melanjutkan kalimatnya. Cepat ia memutar tubuhnya menghadap pintu yang baru dibuka seorang pria beruban. Wajah lelaki tua itu sebenarnya sama sekali tidak menyeramkan, bahkan menenangkan. Dengan bibir yang tersungging senyum tipis. Namun, kemudian menjadi mencurigakan karena permintaan untuk menjemput Kahayang. "Apakah sudah siap?" tanya pria itu dengan sikap sangat sopan. Tubuhnya agak membungkuk. Kedua tangan saling bertumpu di depan. "Nggg..., sudah, sih, Pak," jawab Kahayang yang mulai ragu untuk ikut. "Bunganya bisa di bawa, tapi..., saya gak perlu ikut, gak pa-pa, 'kan, Pak?" Ekspresi terkejut terlihat sekilas di wajah lelaki tua itu yang kemudian tersenyum lagi. "Kenapa, Mbak?" "Ya, kalau cuma untuk membawa satu vas bunga ini, saya rasa, bapaknya bisa membawanya sendiri." "Iya, betul. Tapi kan tadi Mbak Ayang menyanggupi untuk membawa sendiri ke rumah majikan saya." Kahayang menghela napas lemah. Tadi begitu antusiasnya, dirinya meng-iya-kan untuk membawa rangkaian bunganya ke tujuan. Namun, itu adalah kewajaran. Masalahnya sekarang, ia dijemput bak ratu. Ini membuatnya sedikit tidak nyaman. Apalagi kemudian terpengaruh akan kekhawatiran Elis. Kahayang melirik ke Elis, meminta bantuan. Ia suka tidak tega hati jika berhadapan dengan customer. Ia lebih senang jika bisa memuaskan kemauan customernya. Memberikan pelayanan yang baik. Hatinya sendiri sebenarnya tidak mengkhawatirkan apa-apa. Ini karena pikirannya sudah dipengaruhi Elis. "Pak, kenapa harus dijemput? Kami bisa mengantarnya sendiri," tanya Elis yang penasaran. Lelaki itu menghadap Elis. Sikapnya benar-benar membuat Kahayang kagum. Pria itu tidak pemilih. Ia bersikap sopan baik apda dirinya maupun pada sepupunya. Ia sopan pada siapa yang mengajaknya bicara. Laki-laki yang baik. "Majikan saya mengkhawatirkan keselamatan Mbak Ayang jika membawa rangkaian bunganya sendiri. Beliau sudah pernah melihat Mbak Ayang." Lelaki itu ganti menoleh ke arah Kahayang dengan senyum lebar. "Beliau Opa Edwin Bimantara." *** Jantung Kahayang berdegup cepat saat mobil berhenti di depan sebuah teramat mewah. Rumah itu memiliki pilar-pilar megah di bagian utama. Kahayang melihat ada dua jalur kendaraan yang dibatasi oleh pohon-pohon pinus. Gerbangnya begitu tinggi, setidaknya begitu yang dilihat Kahayang. Mobil kembali melaju masuk. Kahayang menahan napas melihat rumah yang bak istana. Customer Kahayang sebenarnya banyak orang-orang kaya. Rumah-rumah mereka juga mewah. Kahayang tidak pernah terkagum-kagum sebelumnya. Namun, khusus rumah Edwin Bimantara, Kahayang tidak berhenti melongo. Rumah Edwin, terasa sepuluh kali lebih mewah dari rumah-rumah mewah lainnya. Pintunya dibuka Supeno, dengan sopan Supeno mempersilakan Kahayang keluar. Ia mengambil alih vas bunga tinggi yang dibawa Kahayang. Dua orang asisten rumah tangga wanita datang bergegas menghampiri, mengambil alih vas dari tangan Supeno. "Tuan di mana?" tanya Supeno. "Di rumah kaca, Pak." Seorang asisten rumah tangga berambut pendek menjawab. Supeno mengangguk dan kedua asisten rumah tangga itu melangkah pergi, menaiki anak-anak tangga menuju rumah. "Mbak Ayang ketemu Tuan Edwin dulu, ya. Beliau ada di rumah kaca. Mengurus tanaman-tanamannya." "Pak Edwin suka berkebun?" tanya Kahayang. "Iya. Mari, Mbak." Supeno mengajak Kahayang menuju sisi lain bangunan. Sepanjang jalan, Kahayang tak henti-henti mengagumi sisi samping bangunan rumah utama. Desainnya begitu elegan. Pencampuran antara Timur Tengah dan Eropa. Ini karena ada semacam kubah di bagian puncak bangunan rumah dan ada pilar tinggi di depan. Taman samping juga begitu menyejukkan. Aneka jenis tanaman hias ditata apik. Semuanya jenis tanaman mewah atau kalaupun biasa, tanaman itu adalah tanaman yang mulai sulit ditemukan. Mendekati rumah kaca, Kahayang dikejutkan dengan sosok Sambara. Pria itu membawa karung yang entah berisi apa dari arah lain. Ia hanya menggunakan kaos tanpa lengan warna hitam. Kulit Sambara yang putih terlihat kemerahan dan pria itu juga berkeringat. Sepertinya ia tak memerhatikan Supeno dan Kahayang karena ia meluncur langsung masuk ke dalam rumah kaca. "Itu Sambara, 'kan?" tanya Kahayang memastikan. Supeno masih sambil berjalan, berbalik. "Iya, Mbak. Sudah kenal?" "Ngapain dia di sini?" Supeno tak menjawab hanya tersenyum simpul. Jangan-jangan bos besar yang dimaksud..., Opa Edwin. Pantas penampilannya keren. Orang yang gak tahu bisa salah nilai. Dikira bos padahal cuma asisten. Untung saya cepat tahu. Kahayang tertawa sendiri dalam hati. Meski sebenarnya tidak ada manfaatnya juga ia tahu kedudukan Sambara, secara pria itu tidak pernah mengaku-ngaku apalagi menggodanya. Keduanya sudah masuk ke dalam rumah kaca. Kembali Kahayang dibuat terpana. Rumah kaca itu cukup luas. Ada banyak tanaman hias yang sepertinya sedang dibudidayakan. Kebanyakan adalah bunga dan buah. Kahayang melihat Edwin sedang duduk jongkok sembari memeriksa tanaman, sedangkan Sambara berada di sebelahnya, mengeluarkan tanah dari dalam karung yang tadi dibawanya. Supeno bergegas menghampiri Edwin. "Halo, Ayang. Apa kabar?" sapa Edwin dengan suara lantang. Ia segera berdiri dibantu Supeno. Sambara yang mendengar nama Ayang disebut, terkesiap kaget. Matanya melotot saat benar-benar melihat kemunculan Kahayang di dalam rumah kaca. Ia menatap bagian belakang kepala Edwin dengan tak percaya. Baru semalam opanya itu menyampaikan niat dan hari ini sudah terealisasi. Kahayang mendekat dengan senyum manisnya. Matanya sempat melirik ke arah Sambara dengan sinis. Ia langsung mengulurkan tangan ke arah Edwin. "Hahaha.... Sebentar-sebentar." Edwin melepaskan sarung tangannya. "Agak kotor apa tidak apa-apa memegang tangan Ayang yang cantik ini?" goda Edwin. Sambara kembali melotot mendengar kegenitan opanya terhadap Kahayang. Kahayang yang melihat ekspresi Sambara jadi geli sendiri. "Hehehe..., Opa Edwin bisa aja. Hanya tangan yang kotor, masih bisa dicuci. Asalkan bukan hati yang kotor." Saat mengucapkan itu, Kahayang jelas-jelas mengarahkan matanya ke Sambara. Membuat laki-laki itu hanya bisa merapatkan bibir dengan gemas. Merasa Kahayang sedang menyindirnya. Edwin tertawa sangat lebar melihat gerak-gerik Kahayang. Ia menduga, kalau jalan pertemuan cucunya dengan Kahayang tidak mulus. Edwin tidak kecewa, ia justru menikmati. Cinta yang tak mulus itu justru membuat cinta itu rekat, begitulah pemikiran Edwin. "Oh, ya. Kalian sudah kenal?" pancing Edwin setelah berjabat tangan dengan Kahayang. Tak ada yang menjawab. Masing-masing menyerahkan tanggung jawab untuk menjawab apda lainnya. Mau bilang kenal, keduanya agak segan karena hubungan yang tidak baik. Mau bilang tidak kenal, rasanya tidak enak berbohong. "Ahhh..., pasti belum kenal." Edwin terkekeh melihat adu mata antara keduanya. Sangat jelas kalau Sambara maupun Kahayang ingin menutupi kenyataan kalau keduanya sudah saling kenal. "Ayo kenalan." Edwin mendorong lengan Sambara. "Tangan saya kotor. Maaf." Sambara kemudian berbalik hendak kembali mengurus tanah. Tapi lengannya dipegang Edwin. "Kahayang ini gadis yang sangat baik. Kupingmu terbang sampai tidak dengan dia tadi bilang apa? Tangan yang kotor masih bisa dicuci," ulang Edwin. Kahayang menunduk menahan geli melihat Edwin memarahi Sambara. Apalagi istilah kuping terbang, Kahayang membayangkan kuping Sambara bersayap. Sambara melihat kesenangan di wajah Kahayang karena melihat dirinya ditegur Opa Edwin, menjadi gemas. Ia melepaskan sarung tangan dan mengulurkan tangan. Kahayang menyambut tangan itu dengan percaya diri. Jemari Sambara begitu hangat. Ada kesan kasar di telapak tangan yang besar itu. Kahayang begitu terksesima dengan tangan lelaki yang terasa kasar. Menandakan kekuatan, bukan lelaki lembek. Kahayang malu sendiri menyadari bahwa ia menyukai jemari Sambara. Sambara pun memiliki perasaan yang sama. Jemari Kahayang begitu lembut dan kecil. Ia serasa memegang jemari liliput. Ia merasa berkuasa atas Kahayang. Ia menyukai bagaimana jemari Kahayang menetap di dalam tangannya. "Ehem...." Edwin dengana berdeham. Kahayang dan Sambara cepat menarik tangan masing-masing. Malu karena Edwin menatap keduanya dengan senyam-senyum. "Lho, kok, dilepas? Kan belum berkenalan," tanya Edwin berlagak polos. "Sambara." Sambara berinisiatif mengenalkan dirinya agar sang opa tidak rewel. "Kahayang." "Itu bukan berkenalan namanya. Berkenalan itu ya harus berjabat tangan. Ayo, ulangi." Sambara melirik Edwin dan mendelik. Tapi yang dilirik bersikap biasa saja meski dalam hati tertawa lebar. Edwin bahkan memberi isyarat apda Sambara untuk cepat menuruti perintahnya. Sambara pun kembali mengulurkan tangan. Kahayang mau tidak mau mengikuti juga. "Sambara." "Kahayang." Kembali keduanya cepat-cepat melepaskan tangan. Meski sebenarnya menjabat tangan masing-masing begitu menggoda. "Hehehe.... Nah, gitu yang benar. Sambara ini...." "Asisten Bapak Edwin Bimantara," potong Sambara cepat. Edwin dan Supeno melongo dengan pernyataan Sambara, tetapi Sambara menatap tajam keduanya bergantian. Seolah memberitahukan bahwa informasi itu saja yang perlu Kahayang tahu. "Hem..., iya. Asisten saya," ujar Edwin yang memahami. "Iya, Opa. Saya...." Cepat Kahayang merapatkan bibirnya. Hampir saja ia bilang kalau dirinya sudah tahu karena Sambara sudah bilang saat di restoran bersama Deon. Ia harus berakting tidak tahu apa-apa perihal Sambara karena ia baru berkenalan dengan pria itu. "Saya kenapa?" tanya Edwin. "Anu, saya paham," jawab Kahayang sekenanya. "Bapak Edwin kapan kenal Kahayang?" Sambara sangat ingin menanyakan ini dari tadi. Sangat mengejutkan karena Kahayang terlihat biasa dengan opanya ditambah gadis itu ikut memanggil Edwin dengan tambahan Opa. "Mmm..., beberapa hari lalu. Setelah sarapan pagi. Pertemuan pertama. Bukan begitu Kahayang?" Edwin menekankan nadanya pada kalimat terakhir. Bahwa ia menemui Kahayang setelah pengumuman sayembara. "Iya, Opa," jawab Kahayang. "Pantas Opa tahu bunga bagus karena ternyata Opa penyuka tanaman hias." Sambara mengernyit bingung. Jika, opanya dan Kahayang baru pertama itu bertemu, lalu bagaimana opanya memilih Kahayang sebagai objek sayembara? Pertanyaan itu bergelung kini di hati Sambara. "Sering-sering datang ke sini. Saya akan menunjukkan kamu koleksi saya," tawar Edwin. "Baik, Opa. Saya juga suka menanam. Tapi lahan di rumah saya sangat kecil." "Kalau begitu, saya akan membagi rumah kaca ini denganmu." Kahayang terkejut dan tidak mengerti tentang pembagian rumah kaca yang dimaksud Edwin. "Maksudnya, Opa?" "Kamu lihat di bagian sana." Edwin menunjuk bagian lain yang kosong. "Itu buatmu. Tanamlah tanaman yang kamu suka. Untuk membantumu, saya juga membagi Sambara." Edwin tertawa lebar, apalagi melihat ekspresi wajah Sambara yang tercengang. Edwin memegang lengan atas Sambara yang berotot. "Lihat otot ini. Dia kuat. Kamu bisa minta tolong dia untuk membawa sekarung pupuk atau lebih." Kahayang yang tadi tak terlalu perhatian, jadi menatap lengan atas Sambara yang memang berotot. Terlihat otot itu begitu kuat. Mata itu tak berhenti di lengan tetapi menelusui ke d**a Sambara. Kaos hitamnya terlihat basah dan menempel. Bidangnya d**a Sambara begitu terlihat. Tubuh Kahayang beraksi aneh. Ia merasa hangat tiba-tiba. Ada keinginan kuat untuk merasakan otot lengan dan d**a Sambara. Cabul, Ayang! Kamu c***l! Kahayang menunduk, menggeleng lemah, mencoba mengusir pikiran cabulnya yang sebenarnya tidak c***l. "Kenapa?" tanya Edwin melihat reaksi Kahayang. "Oh, enggak Opa. Saya Cuma tidak mau merepotkan." "Hahaha.... Apanya merepotkan. Kamu gak sepot, 'kan  Sambara?" "Saya repot," jawab acuh Sambara yang kemudian berbalik dan berjongkok, meneruskan pekerjaanya mencampur tanah dengan pupuk. Edwin mendelik dan tersenyum geli pada Kahayang. "Ah.... Sudah waktunya makan siang. Ayang, kamu makan siang di sini, ya." Sambara mendongak dan Kahayang terkejut. "Tidak, Opa. Tidak perlu repot-repot. Saya mau kembali ke toko," tolak Kahayang. "Makan dulu baru pulang." Kahayang tak bisa berkutik. Permintaan yang tak bisa ditolak, meski Kahayang merasa tidak nyaman. Ia gamang membayangkan makan di rumah orang besar. "Saya mandi dulu, ya. Supeno akan menemanimu masuk ke dalam. Kamu boleh lihat-lihat dulu di sini. Atau mau melihat lahanmu." Edwin mengerling menenangkan kegugupan Kahayang karena diundang makan siang tiba-tiba. "Terima kasih, Opa. Tapi saya...." "Sudah jangan menolak. Gak baik permintaan orang tua." Kahayang diam dan mengangguk lemah. Andai ia tahu diundang makan di rumah seorang sultan, Kahayang tentu akan berpakaian lebih baik lagi. Bukan kaos kebesaran dan celana jeans. "Bara! Antar saya masuk. Kamu juga harus mandi. Makan siang." Sambara menatap kesal opanya, tetapi tetap menurut. Ia berdiri cepat, melempar sekop kecilnya di tanah. "Bapak mau digendong atau dibopong?" Plak! Edwin mengemplang kepala Sambara dengan gemas. "Ayo, masuk!" Sambara mengelus kepalanya dan melirik Kahayang yang tadinya mendelik terkejut kini justru menunduk tertawa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD