Chapter 41

2134 Words
Kugoda hatimu yang kesepian dan diabaikan yang lain. *** "Asisten, hah?" tanya Edwin setelah cukup jauh dari rumah kaca. "Strategimu?" "Tak terduga Opa." "Maksudnya?" "Saat saya pertama kali datang ke toko bunganya untuk mengambil mawar biru, saya mengaku sebagai utusan dari Bimantara Grup. Desi memesan mawar itu via telpon dengan mengatasnamakan Bimantara Grup." "Dan kamu tidak ingin meluruskannya?" Sambara mengedikkan bahu. Ia merasa tidak ada perlunya meluruskan. Justru dengan tidak mengaku sebagai CEO, dia lebih bisa menjadi dirinya sendiri. Lagi pula kedudukannya saat ini masih sebuah perebutan. Bukan kedudukan yang tetap. "Gak penting juga, Opa." Edwin menatap cucunya dengan keheranan. Sambara seperti tidak terlalu antusias dengan sayembara ini. Menghindari konflik adalah ciri dari garis keturunan istri keduanya. Hal yang baik sebenarnya, tetapi jika itu lelaki, kesannya adalah pecundang dan ia tidak ingin itu ada di Sambara. "Kamu gak ingin memikat dia? Atau kamu tidak menyukai sayembara dari saya?" tanya tajam Edwin. Sambara bisa merasakan ketidaksukaan pada nada bicara Edwin. Sejak dulu kakeknya tidak suka akan sikap yang lembek atau mengalah. Bagi kakeknya, seorang pria harus punya jiwa kompetitif, dengan begitu ia akan berhasil Tapi ini menyangkut seseorang dan masa depan. Ada perasaan yang dilibatkan dan Sambara tidak mau dalam sayembara ini ada yang terluka. Bukan luka fisik, melainkan luka batin. Sambara juga tidak jawaban untuk kedua pertanyaan Edwin. Apalagi tentang memikat. Ia belum pernah menyukai seorang wanita. Ia tidak tahu bagaimana bisa memikat Kahayang yang dari mula pertemuan sudah diwarnai keributan. "Opa. Saya ingin ini mengalir dulu. Sayembara ini baru beberapa hari. Ini bukan masalah apakah saya suka atau tidak. Sikap saya, bukankah Opa sudah tau." Sambara mengingatkan Edwin akan kejadian saat di meja makan. Pagi, saat sayembara kemudian diumumkan. Bahwa Sambara tidak ingin jika perihal kekuasaan menjadi perpecahan sepanjang masa. Diingatkan seperti itu, Edwin melengos. Ia hanya ingin perusahaan yang ia bangun dipegang oleh keturunannya yang tepat. Lagipula, Sambara bukan hanya pilihannya seorang. Hampir semua orang di rapat pemegang saham, menginginkan Sambara sebagai pimpinan puncak. "Dan lagi, Opa. Saya menjalani sayembara ini, sebagai bentuk patuh saya ke Opa. Jika memang ini jalan satu-satunya bagi Opa untuk menyelesaikan konflik keluarga, maka saya akan mengikuti." Edwin hanya menghela napas. Kedewasaan Sambara membuatnya bangga sekaligus membuatnya kesal. Pada akhirnya ia memang penonton, meski ia adalah penyelenggara. "Tapi...." Edwin melirik Sambara. "Bagaimana penilaianmu tentang Kahayang?" "Hehehe.... Pakai jujur, nih?" Kini Sambara yang menggoda. Cukup untuk mencairkan ketegangan antara dirinya dan Edwin karena Edwin menatap dirinya dengan binar yang lucu. "Harus jujurlah," jawab Edwin antusias. Sambara tersenyum geli. Ia mendekat ke Edwin dan setengah berbisik. "Dia nenek sihirnya." Tawa pun meledak bersama. *** Kahayang sudah puas melihat-lihat isi rumah kaca. Bersyukur karena diberi sedikit hadiah tanah yang bisa ia tanam apa saja. Supeno bilang kalau Edwin Bimantara tidak pernah bergurau saat memberikan hadiah. Sebenarnya Kahayang penasaran akan sosok Sambara. Sayangnya Supeno tak banyak bicara perihal Sambara, ini karena Sambara mengaku sebagai pegawai alias asisten untuk Edwin Bimantara. Supeno tidak tahu apa rencana Sambara sampai mengaku sebagai asisten. Karena tidak ada yang dilakukan, Kahayang memutuskan menunggu Edwin dan Sambara di ruang makan saja. Tak habis-habis Kahayang berdecak kagum akan luas dan desain rumah Edwin Bimantara. Apalagi saat di ruang makan. Ia berasa masuk ke dalam ruang makan yang ada di film-film. Tak hanya itu, Kahayang makin jatuh hati karena ruang makan dominan dengan warna hitam dan putih. Warna kesukaan Kahayang. Mejanya panjang, berbentuk oval dari bahan granit berwarna gelap. Paduannya adalah kursi sofa berwarna putih yang kakinya begitu elegan. Di tengah-tengah meja ada rangkaian bunga hiasnya. Beruntung Kahayang tadi memilih warna putih dan merah muda yang lembut, jadi meski ruang makan bernuansa hitam putih, akan terlihat tidak terlalu suram. Belum selesai Kahayang menikmati menjelajahi ruang makan dengan matanya, ia mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Kahayang langsung gelisah. Menduga-duga siapa yang akan masuk ke ruang makan. Pintu ganda terbuka. Diana dan Kahayang saling bertatapan. Diana memekik terkejut. Roy, suaminya muncul dari arah belakang dan mengernyit. Sedangkan Lucy berisik bertanya apa yang terjadi. "Kamu siapa?" Diana bisa menguasai diri. Ia berjalan perlahan mendekat. Kahayang segera berdiri dan mengangguk. "Kenapa ada di sini? Siapa yang mengundangmu?" Pertanyaan Diana yang keluar dengan nada sengit, membuat Kahayang ciut. Apalagi melihat penampilan orang-orangnya yang begitu berbeda dengan dirinya. Mereka terlihat mewah dengan balutan busana yang mungkin bagi mereka sederhana. Dalam hati Kahayang mengeluh. Harusnya ia tidak meng-iya-kan undangan makan siang. Seharusnya juga ia tidak buru-buru masuk. "Nggg.... Saya tadi mengantar bunga." Diana langsung melirik pada rangkaian bunga yang ada di tengah meja. Tatapan Diana kembali pada Kahayang dan bergantian pada rangkaian bunga. Akhirnya ia menyadari siapa wanita muda asing yang sudah ada di ruang makan keluarga. Ayahnya tidak main dengan kata-katanya. Wanita muda yang menjadi sayembara, benar-benar diundang masuk ke rumah ini. Diana tidak bisa berbuat apa-apa selain memaki ayahnya dalam hati. "Belum dibayar? Berapa?" Roy mengeluarkan dompetnya, tapi Diana segera menahan tangan Roy. Menatap tajam suaminya itu. "Bodoh!" desis Diana yang kemudian melengos dan duduk di kursinya. Ia duduk tegak, melipat kedua tangan dan menatap tajam Kahayang. Sedangkan Roy dan Lucy saling menatap tidak mengerti. Keduanya kemudian mengikuti jejak Diana untuk duduk. Kahayang masih berdiri. Bingung harus bagaimana bersikap dalam tekanan mata tajam Diana. Kahayang dapat merasakan ketidaksukaan Diana terhadap dirinya. Ia hanya bisa menduga jika mungkin Diana tidak suka ada orang asing ikut masuk makan bersama. Atau mungkin Diana jijik melihat penampilannya yang amat sangat sederhana dibandingkan mereka bertiga. "Pah, siapa?" tanya Lucy berbisik. Roy hanya mengedikkan bahu. Ia menduga istrinya sudah tahu siapa wanita muda yang berdiri kikuk di hadapan mereka. Roy menatap rangkaian bunga di meja dan kemudian ia teringat kalau wanita yang dijadikan sayembara memiliki toko bunga. Sekarang Roy mengerti kenapa istrinya tadi memakinya bodoh. "Kenapa berdiri, Ayang." Edwin muncul dibarengi Supeno di belakang. Wajahnya lebih bersih dari pertama Kahayang melihat. Keramahannya membuat Kahayang sedikit tenang karena sedarian tadi ia terintimidasi dengan tatapan tajam Diana. "Ayo, duduk." Edwin mengedipkan mata untuk sekedar menenangkan gadis itu. Ia yakin Kahayang tersiksa karena dipandangi sedemikian rupa oleh Diana. Posisi duduk Kahayang berada di sisi kiri Edwin dan berhadapan langsung dengan Diana yang duduk di sisi kanan Edwin. "Ayang, kenalkan. Ini Diana, putri pertama saya." Kahayang mengangguk sopan dan beruasaha untuk terus tersenyum meski Diana tak mersepon yang sama. "Itu suaminya Roy dan putri sulungnya, Lucy," jelas Edwin mengenalkan anggota keluarganya. Roy lebih ramah dari Diana. Lelaki dengan kaca mata itu, tersenyum lebar. Sedangkan Lucy, serupa dengan ibunya. Dingin. "Nah, Ayang sudah kenal anggota keluarga di sini. Jadi Ayang gak boleh sungkan datang dan main ke sini, ya. Anggap keluarga sendiri." Kahayang mengangguk canggung dan tersenyum kecut. Ia tidak bisa menanggapi dengan normal karena menjaga etika dan kesopanan. "Ayang?!" Deon menyapa dengan terkejut. Tak menduga melihat gadis itu sudah masuk ke dalam rumah dan duduk di sisi opanya. Kahayang pun tak kalah terkejut. Setelah Sambara sekarang Deon. Kepalanya makin bingung mencerna. Saat Deon dan Sambara bertemu di restoran, keduanya terlihat canggung dan bersikap belum saling kenal hingga perlu adanya pengenalan. Tetapi kenyataannya, keduanya justru berada di rumah yang sama. Masak iya saking begini luasnya ini rumah, Deon dan Sambara gak pernah ketemu? Atau mereka lagi mempermainkan saya? Tapi buat apa? Kepala dan batin Kahayang tidak bisa mengurai kebingungannya. Deon langsung duduk di sebalah Kahayang. "Kamu ke sini kenapa gak bilang saya? Sudah dari tadi, ya?" "Eh, iya. Saya kan gak tau kamu tinggal di sini." Kahayang mengeluh dalam hati. Andai ia tahu Deon tinggal di rumah ini, dia kan gak perlu merasa canggung dan sendirian. Ia bisa menghubungi Deon untuk menemuinya. "Oh, iya. Tapi, sekarang kan sudah tau. Jadi, kalau ke sini, bilang, ya." Kahayang mengangguk. "Opa, undang Kahayang ke sini?" tanya Deon Edwin mengangguk. Situasinya awal jelas. Sambara menutupi jati dirinya sedangkan Deon terang-terangan menginformasikan siapa dirinya. Edwin jadi penasaran, apakah kesengitan Kahayang pada Sambara karena statusnya yang asisten ataukah sebenarnya Kahayang kebih ramah pada Deon karena lelaki itu memang ramah dan manis? "Tadi saya beli rangkaian bunganya untuk di meja makan. Sekalian aja saya undang makan siang," lanjut Edwin. "Peno...." Supeno segera menghampiri Edwin. "Kamu panggil Sambara," perintah Edwin. Deon menatap wajah Kahayang. Ia heran melihat bagaimana biasanya wajah Kahayang. Gadis itu tidak terkejut ketika nama Sambara disebut. Ini artinya keduanya sudah bertemu di rumah ini. Opa mengatur mereka untuk bertemu duluan? tanya Deon dalam hati. "Mas Sambara makan siang nanti, Tuan. Mmm...." Supeno melirik pada Kahayang. "Katanya sekalian antar Mbak Ayang pulang." Edwin awalnya terdiam, kemudian terkekeh sendiri. Cucu satunya itu memang selalu mengejutkannya. Sikap tenangnya ternyata menyembunyikan niat. Sambara lebih memilih bermain halus. Cucunya itu pasti tidak ingin ada konfrontasi tidak menyenangkan di meja makan yang nantinya bisa memengaruhi perasaan Kahayang. Pantas kalau cucunya itu dipilih menjadi CEO, ketenangannya dalam memimpin dan mengambil keputusan memang patokan dasar dan utama. "Ayang. Nanti pulang diantar asisten saya, Sambara. Oke," ujar Edwin. "Iya," jawab Kahayang lirih. Diana dan lainnya mengernyit dengan julukan asisten untuk Sambara. Diana sudah mulai berpraduga aneh. Untuk apa ayahnya mengenalkan Sambara sebagai asisten. Permainan apa yang sedang dijalankan ayahnya. "Sambara asisten?" Diana yang tadinya berniat untuk tidak bicara apa-apa di depan orang asing yang ia sendiri tidak terlalu suka, tak bisa menahan dirinya. "Iya," jawab dingin Edwin. "Semua yang bekerja dengan saya dalah asisten saya." "Tapi kan...." "Perlu diperdebatkan di meja makan? Di depan tamu?" tanya tajam Edwin. Jika Diana tidak dipatahkan, maka pembicaraan ini akan mengarah pada hal-hal yang tak perlu Kahayang ketahui. Bukan hanya tentang jabatan sebenarnya Sambara, tetapi juga sayembara itu. Diana langsung menutup mulutnya rapat. Ia marah. Ia juga malu dibentak ayahnya didepan orang asing yang usianya lebih muda, ditambah wanita muda itu adalah calon istri Deon. Ini melukai harga diri Diana. Tak peduli sebesar apa salahnya, bagi Diana harusnya ayahnya tak bicara keras di depan orang lain. "Saya sudah kenyang." Diana tak hanya meninggalkan tatapan sengit pada ayahnya, tapi juga Kahayang. Tak peduli apakah gadis itu punya salah atau tidak. Suasana meja makan yang tadinya cangung dan sempat melunak ketika Deon datang, kini kembali canggung. Kahayang kembali merasa tidak nyaman terlibat dalam makan siang keluarga yang baru dikenalnya. Menyalahkan diri sendiri yang tidak menolak dengan keras. "Sudah, ayo, kita makan sekarang. Ayang...." "Ya, Opa," jawab Kahayang. "Makan yang banyak. Oke?" Edwin menepuk-nepuk punggung tangan Kahayang, berharap gadis itu tidak terpengaruh suasana yang jelek gara-gara Diana. Kahayang mengangguk. Dalam hatinya ada sedikit ketenangan diperlakukan baik oleh Edwin. Ditambah ada Deon. Ia berusaha tidak memikirkan Diana dan tatapan ketidaksukaan wanita itu. "Siapa yang mengajarimu merangkai bunga, Ayang?" Dan Kahayang mulai bercerita. *** Kahayang lega akhirnya makan siang selesai. Lebih lega lagi karena Edwin, Roy, dan Deon banyak berdialog dengannya. Mencairkan suasana yang kaku juga melupakan ketegangan yang sempat ada. Waktu berpamitan, Edwin mengingatkan Kahayang untuk lebih sering datang. Apalagi, Kahayang punya sedikit tanah yang Edwin berikan di rumah kaca untuk ditanami tanaman yang paling ingin Kahayang tanam. Deon menemani Kahayang ke depan. Kata Supeno, Sambara sudah menunggu di depan. "Ayang, kalau main ke sini, telpon saya, ya," pinta Deon halus. Deon harus memastikan opanya tidak sedang memprovokasi Kahayang untuk lebih dekat dengan Sambara. Selain itu, Deon juga harus tahu pergerakan opanya. Niat dan tujuan opanya yang sesungguhnya dengan perjodohan yang diawali sayembara. "Iya." "Biar saya punya alasan pulang dan menemanimu." Hati Kahayang langsung berkibar. Ada lelaki lain yang begitu perhatian terhadap dirinya ketika kekasih hati mulai terlihat tidak peduli. Bahkan lelaki ini rela meluangkan waktunya untuk dirinya yang bukan siapa-siapa. "Janji, ya." Deon mengulurkan jari kelingkingnya. Janji ala anak kecil yang membuat Kahayang nyengir geli. "Gak berani janji, ah. Nanti tangan saya kiting karena ingkar, hehehe...." "Kenapa? Kamu gak suka?" tanya Deon dengan ekspresi kecewa yang dibuat. "Bukan begitu. Tapi, saya jadi merepotkan kamu kalau kamu harus segera datang ke sini setiap kali saya datang." "Saya gak repot. Tidak pernah repot jika itu untuk kamu." Entah bagaimana melambungnya perasaan Kahayang. Ia tergoda dengan kata manis Deon. Jika begini terus, hati Kahayang bisa benar-benar goyah. "Terima kasih," ucap Kahayang malu-malu. Deon mendekatkan tubuhnya. Matanya yang cenderung masuk, yang dilindungi oleh alis tebal saat menunduk membuatnya terlihat menggoda. Mungkin karena ada kerutan dari senyum yang juga menciptakan lipatan kecil di sudut mata. Jantung Kahayang berdebar. Semakin dekatnya Deon, semakin tidak enak Kahayang akan debar jantungnya. Tangan Deon terulur ke arah pipi. Refleks Kahayang mundur dengan mata mendelik. "Maaf. Maaf. Apa saya menakutimu?" Wajah Deon terlihat menyesal. Membuat Kahayang menyalahkan dirinya sendiri yang terlalu gugup. "Eh, bukan. Tidak. Maaf. Hanya.... Kaget saja," ujar Kahayang lirih dan menunduk. Deon tersenyum mengurungkan niatnya untuk membelai pipi Kahayang. "Saya ingin kamu percaya bahwa saya akan selalu ada untukmu." Kahayang benar-benar melayang. Gery saja tidak pernah berkata begitu meski dulu di awal-awal pendekatan. Ini benar-benar bisa membuat Kahayang hilang akal, lupa kalau ia masih adalah milik Gery. "Terima kasih. Saya pulang dulu, Deon." Kahayang harus mengakhiri cepat-cepat. Bersama deon, ia bisa khilap. Ia berjalan bergegas keluar rumah. Sedangkan Deon tersenyum puas. Satu langkah kesuksesan bagi dirinya. Kahayang sangat jelas terlihat jatuh hati padanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD