Chapter 42

1572 Words
Ada belitan aneh di setiap hubungan. Kemarahan kadang bukan tentang benar-benar marah. *** Sepeda motor hitam terparkir tepat di pelataran bawah dan tepat di depan tangga. Seolah sengaja diparkir di situ agar saat Kahayang turun, di saat anak tangga terakhir, gadis itu tinggal duduk saja dan motor akan melaju. Memikirkan itu Kahayang mendengkus kesal. Karena yang membawa motor, seharusnya juga sudah siap. Sudah duduk di atas sepeda motor. Ini malah tidak ada. Sambara tidak kelihatan batang hidungnya. Padahal tadi Supeno sudah memberitahukan kalau Sambara menunggu di depan. Apa dia sengaja menghilang dulu, hah? Mau lihat apakah saya kaget kalau saya akan diantar pulang dengan motor? Dasar siluman gila. Kalau begini kan jadi mengulur waktu. Kahayang melepaskan napas kekesalannya dengan sedikit mendongak, memainkan anak poninya. "Mau saya aja yang antar pulang?" Kahayang terkejut karena Deon sudah ada di sisinya. Tadi saat berpamitan di pintu, ia mengira Deon tak mengikutinya. Deon sendiri tadinya hanya mengamati kepergian Kahayang dari ambang pintu. Sampai kemudian ia memerhatikan Kahayang diam mematung dengan pandangan terarah ke bawah tangga. Ia pun penasaran dan menghampiri Kahayang. "Eh, enggak. Gak usah," tolak Kahayang malu akan perhatian Deon yang berlebihan. Setelah di dalam sekarang di luar. "Tapi ini panas. Sambara juga aneh. Siang-siang begini kok ngantar kamu pakai motor." Deon geleng-geleng kepala dan menatap kahayang dengan tatapan memelas. "Saya yang antar kamu aja, ya. Siang begini. Panas. Kasihan kamunya." Kahayang dilema. Sebenarnya ia tak mempermasalahkan ini siang atau ini akan panas. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari rumah megah ini. Kekesalannya hanya karena Sambara tidak ada padahal ia mengira bisa langsung pergi. Tapi, mengikuti ajakan Deon, membuat perasaannya tidak enak pada Sambara. Meski ia tidak menyukai lelaki itu, namun lelaki itu sudah menawarkan itikad baik yang sudah Kahayang setujui. Pergi begitu saja dan berpaling pada yang lain, bukan kepribadian Kahayang. "Terima kasih, Deon. Saya sih mau aja. Tapi, Sambara harus bertanggung jawab atas tawaran yang ia sodorkan. Karena dia bilang mau antar saya pulang, maka saya akan tunggu dia." Deon terperangah dengan pernyataan Kahayang. Di masa sekarang, masih ada wanita yang teguh dan punya sikap. Sepertinya menaklukan Kahayang tak akan semudah menaklukan wanita-wanita lain. Dan Deon mulai tertarik akan Kahayang. Baginya, Kahayang menjadi tantangan baru. "Oeee...! Mau pulang atau tidak?" Kahayang dan Deon terkejut. Keduanya bersamaan menoleh ke bawah. Di sana sudah ada Sambara yang duduk di atas sadel sepeda motor, lengkap dengan helm, kaca mata hitam, dan jaket kulit warna hitam juga. "Deon. Saya pulang dulu, ya. Terima kasih untuk semua." Kahayang berbalik dan bersiap menuruni anak tangga pertama ketika Deon menahan lengannya. Kahayang mengurungkan langkahnya. "Ada apa?" Deon mendekat. Ia berdiri di hadapan Kahayang, menutupi sosok Kahayang dengan tubuhnya dari pandangan Sambara di bawah. Deon kemudian memajukan tubuhnya perlahan, sedikit membungkuk dan berbisik di dekat telinga Kahayang. "Hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa telepon saya." Kahayang menggigit bibir bawahnya. Wajah Deon hampir menempel ke pipinya. Hangatnya napas Deon berbaur dengan suara jantan yang dilembutkan, membuat tubuhnya kaku sejenak. Kahayang sedikit mundur dan menunduk. "Iya. Terima kasih." Wajah Kahayang bersemu. Ia memberikan senyum singkat dan buru-buru melewati Deon. Menuruni anak tangga dengan lompatan-lompatan kecil. Jika Deon menatap kepergian Kahayang dengan senyum lebar karena puas melihat reaksi Kahayang. Sambara justru menatap sangat tajam Kahayang. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat Deon merapat ke arah Kahayang. Ia tidak yakin akan apa yang dilakukan Deon, tapi yang terlintas di pikirannya, Deon mencium Kahayang. Dan Kahayang mungkin menyukainya hingga Kahayang harus menuruni tangga dengan wajah ceria dan melompat-lompat seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah besar. Kahayang sudah berdiri di hadapan Sambara. Keningnya berkerut. Bingung dengan ekspresi lelaki itu yang hanya diam saja dan menatapnya dengan tatapan tajam. Wajahnya juga begitu kaku, seolah sedang menyimpan kesal atau mungkin marah. "Kamu kenapa?" tanya Kahayang yang tidak suka dengan cara Sambara menatapnya. "Kenapa turun tangga kayak tadi?" tanya balik Sambara dengan nada ketus. "Kayak tadi gimana? Memangnya saya menuruni tangga bagaimana?" "Kamu gak sadar?" "Sadar. Kamu yang gak sadar. Mungkin efek panas membuatmu melihat sesuatu yang biasa menjadi aneh." "Memang kamu aneh." "Apanya yang aneh?" tantang Kahayang kesal. Ia langsung menantang Sambara dengan memajukan tubuh dan mendelik. Sontak Sambara terkejut mendapati bagaimana dekatnya Kahayang. Tubuhnya yang duduk di atas motor, membuat ketinggiannya sejajar dengan Kahayang. Gadis itu tak perlu susah payah menjijit untuk melotot, tepat di depan wajahnya. Mata boneka, batin Sambara. "Memangnya tadi saya turun tangga pake guling-guling? Atau saya turun tangga pake merayap? Hah?" Saking emosinya, Kahayang terus memajukan tubuhnya. Sambara memundurkan tubuhnya sedikit dan memalingkan wajah hanya agar ia bisa menarik napas dan melepaskannya perlahan. Jantungnya berdenyut saat wajah Kahayang begitu dekat, pikirannya liar saat menatap bulatnya mata Kahayang yang dilindungi bulu mata yang lentik. "Kenapa diam?" tantang Kahayang. "Arghhh! Pakai helmnya." Sambara menyodorkan helm hitam untuk Kahayang. Membuat gadis itu sedikit mundur dan itu melegakan Sambara. Kahayang terdiam menatap helm yang diberikan Sambara. Warnanya hitam gelap seperti milik Sambara dan jenis full face. Namun, ada yang berbeda. Ada telinga kucing di bagian puncaknya. Helmnya jadi terkesan feminim dan lucu. Mata Kahayang menatap Sambara dengan sedikit menyipit menggoda. "Helm kekasihmu?" "Kekasih dari mana? Cepat pakai," perintah Sambara gusar. Tatapan mata Kahayang menganggunya. "Helm model begini gak mungkin milikmu atau milik temen cowokmu kan. Ya.... kecuali kalau kamu...." Kahayang makin menyipitkan mata dengan senyum tertarik menggoda. "Saya kenapa? Memangnya kenapa kalau saya punya helm begini?" bentak Sambara. "Oh!" Kahayang pura-pura terkejut. Kedua matanya melebar, bibirnya membulat dan salah satu tangan mencoba menutup mulut. Tapi tak lama Kahayang tersenyum dan dengan santai membelai lengan atas Sambara. Sambara menjingkat menghindar dan itu membuat Kahayang tertawa cekikikan. Sambara merapatkan bibir dan berpaling sembari melepaskan napas. Ia menduga kalau Kahayang sudah berpikir terlalu jauh. "Gak pa-pa, kok, Bara. Saya orangnya terbuka atas perbedaan. Meski agak sedikit disayangkan, sih. Kamu tampan tapi...." Kahayang memajukan jari telunjuk di hadapan Sambara dan kemudian membengkokkannya. Sambara langsung mendengkus. Kahayang sudah benar-benar menilai Sambara homo karena pilihan helmnya. Kahayang tidak tahu jika saat Kahayang makan, Sambara cepat-cepat pergi ke toko helm dan mencari helm khusus untuk Kahayang. Tapi, Sambara tidak mungkin mengatakan begitu. Kesannya niat sekali. Meski sebenarnya, itu bisa menjadi jalan bagi Sambara menaikkan nilainya di mata Kahayang. Dengan mengatakan kalau ia bela-bela membeli helm khusus untuk Kahayang, tentu gadis itu akan melambung karena menjadi diutamakan. Tapi Sambara enggan menonjolkan dirinya. "Ayo!" ujar Kahayang semangat. Ia sudah mengenakan helmnya. Wajahnya yang sumringah menular pada Sambara yang ikut tersenyum. Kahayang terlihat lucu dengan helm kucingnya. "Sini." Sambara mengambil jemari tangan kiri Kahayang. Dituntunnya jemari itu ke bagian sisi helm. Jemari Sambara kemudian menuntun jari-jemari Kahayang untuka meraba dua tombol di helm Kahayang. "Yang ini untuk menyalakan sambungan kamonukasi dan yang ini untuk mematikan. Dengan begini, kamu dan saya bisa tetap berkomunikasi tanpa perlu teriak-teriak. Oke?" Tak ada reaksi. Perasaan Kahayang bercabang ke mana-mana menikmati lembutnya suara dan lembutnya sentuhan tangan. Ia bisa mencerna ucapan Sambara yang menjelaskan tentang fungsi lain helm. Sebagian lagi, indera dari kulitnya menikmati sentuhan jemari Sambara yang memegang jari-jemarinya. Ini sensasi baru atau mungkin sensasi lama yang muncul lagi dari orang berbeda. Yang jelas tubuh Kahayang bereaksi tidak normal. Setelah tadi deon sekarang Sambara. "Ayang. Ayang. Ayang!" Sambara menepuk-nepuk lengan Kahayang pelan-pelan. Sampai ia melihat kedua kelopak mata Kahayang mengerjap. "Apa?" bentak Kahayang menutupi malunya yang tiba-tiba bengong setelah disentuh Sambara. "Kok, apa? Kamunya ngerti, gak?" "Iya. Iya, paham. Udah ayo jalan." Sambara geleng-geleng kepala dengan galaknya Kahayang. Ia menegakkan motor dan menaikkan standar motornya. Tiba-tiba jaket Sambara ditarik. Sambara cepat menoleh dan melotot. "Jangan tiba-tiba narik! Kalau jatuh bagaimana?" Kahayang cemberut. "Ya, kan mau naik." "Tunggu dulu." Sambara mengulurkan tangannya. "Ayo, naik." Dengan bantuan dari Sambara, Kahayang naik. Sambara menoleh ke belakang. "Tutup kacanya. Debu. Jangan lupa nyalakan interkomnya." Kahayang mengangguk dan menurunkan kaca helmnya. Seluruh wajah Kahayang sudah terlindungi. Ia meraba sisi kiri helm dan menekan tombol kecil yang tadi dimaksudkan Sambara untuk menyalakan sambungan komunkasi. "Ayang." Terdengar suara Sambara di dalam helm Kahayang. Kahayang tersenyum geli. Ini pertama kalinya ia punya helm dengan alat komunikasi. Rasanya lucu dan juga menyenangkan. Ia memang tak perlu berteriak-teriak nantinya jika ingin bicara. "Iya. Saya dengar," sahut Kahayang. "Pegangan." "Dih, ngarep," tolak Kahayang. "Kamu itu pendek dan gak ada bobot. Kalau saya tiba-tiba rem mendadak dan kamu jatuh, saya gak akan rasa. Jadi gak usah berpikiran aneh ke mana-mana!" Tak! Kahayang menggetok helm Sambara dengan gemas. "Saya gak seringan itu," protes Kahayang. "Oke. Kamu gendut." Tak! "Oeee! Sakit! Ini kepala!" bentak Sambara. "Ya makanya jangan bicara sembarangan." "Peluk." "Enggak." Sambara yang sudah sangat gemas dengan keras kepala Kahayang, kemudian memainkan gas dan rem motor. Membuat motornya menyentak cukup keras dan Kahayang refleks memeluk Sambara. "Paham kamu sekarang kenapa kamu perlu memeluk. Sentakan motor begini itu kuat dan kamu bisa terlempar." "Ya, makanya jangan ngerem mendadak," sungut Kahayang. "Itu tadi hanya contoh. Siapa yang menduga nanti di jalan ada apa-apanya. Kamu bisa menjamin perjalanan ini mulus?" Kahayang langsung diam. Sambara benar, sewaktu-waktu Sambara bisa saja melakukan rem mendadak. Dia aja begitu kalau bawa motor. Ada saja kejadian di jalan yang membuatnya harus melakukan rem tiba-tiba. Kahayang menurut. Ia memeluk pinggang Sambara. Tubuhnya merapat ke punggung Sambara dan Kahayang terkejut akan reaksi tubuhnya yang merasakan kenyamanan. Bahkan kepalanya ikut bersandar di punggung lebar Sambara. Perlahan motor melaju menuju gerbang diikuti oleh tatapan tajam Deon. Pria itu belum beranjak sejak Kahayang menuruni tangga. Ia terus memerhatikan Sambara dan Kahayang dengan perasaan tak menentu. Ada perasaan tidak nyaman melihat keributan keduanya. Tapi Deon tidak mengerti apa. Karena harusnya ia senang keduanya tidak akur. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD