Chapter 43

2045 Words
Yang tak terduga justru yang indah. Ciuman sekilas adalah awal antara kamu dan aku. Bagaimana aku bisa melepaskan diri dari hangat bibirmu meski itu Cuma sebentar? *** Angin bertiup pas meski berada di ketinggian. Tidak terlalu kencang hingga membuat orang masuk angin atau rambut yang berantakan. Juga tidak terlalu pelan sampai tidak berasa apakah angin itu ada atau tidak. Embusannya juga sejuk meski hari masih siang. Intinya, benar-benar pas dan nyaman menikmati makan siang di balkon restoran hotel lantai teratas. Dan ini adalah makan siang kedua Kahayang. Berbeda dengan di rumah Edwin Bimantara, di sini Kahayang terlihat lepas dan bebas. Kahayang belum pernah makan di restoran di dalam hotel. Pernah sekali saat Gery mengundangnya makan malam, yang berakhir keributan. Dan saat itu bahkan Kahayang tidak melihat menu juga tidak memakan makanan yang kemudian tersaji. Itu bagi Kahayang tidak dihitung 'pernah makan di restoran'. Bersama Sambara berbeda. Lelaki itu menjelaskan Kahayang bagaimana makan di hotel tanpa harus mempermalukan gadis itu. Saat Kahayang terpana melihat hidangan berbagai bahan mentah di meja panjang, Sambara menjelaskan kalau ia bisa mengambil apa saja termasuk daging dan sayuran. Mereka akan memanggangnya juga merebus. Sambara yang banyak melakukan ini itu. Sesekali ia menjelaskan apa nama makanannya, baiknya diolah dengan bagaimana, juga sebaiknya dimakan dengan saus apa. Kahayang banyak bertanya. Ia juga selalu mendapat kesempatan pertama memakan apa yang dipanggang atau direbus Sambara. Sambara mengajarkan Kahayang menggunakan sumpit. Beberapa kali gagal akhirnya Sambara berinisiatif meminta sendok dan garpu. Sikap Sambara yang santai dan tidak malu akan ketidaktahuan Kahayang, membuat gadis itu merasa sangat nyaman. Ia menjadi dirinya sendiri dan tanpa malu memakan semua hidangan dengan lahap.  Sambara tak keberatan dengan cara makan Kahayang. Ia justru terlihat santai dan menikmati. Sesekali senyumnya tersungging karena melihat gaya makan Kahayang yang begitu menikmati ditambah Kahayang terus memuji olahan Sambara. Bibir mungilnya yang menggembung selalu berkata, "Enak. Enak, Bara. Lagi, Bara. Masak lagi, Bara. Panggang lagi, Bara. Bara, ini direbus ya." Baik Sambara maupun Kahayang, sama-sama menikmati makan siang mereka. Bagi Sambara, baru pertama kalinya ini ia makan dengan wanita terasa begitu nikmat. Ia bahkan sampai menambah. Kini makanan penutup dihidangkan. Sambara hanya meminta potongan buah segar sedangkan untuk Kahayang ada es krim dan sepotong kue. Sambara mulai keheranan dengan gaya makan Kahayang yang begitu lahap dan menikmati. "Tadi gak makan sama sekali di rumah Bapak Edwin?" Kahayang menghentikan suapan es krimnya. "Kenapa nanya? Kamu mau bilang saya rakus?" Kahayang meletakkan sendok kecilnya dengan kasar dan bersandar sembari melipat tangan. Kahayang mengalihkan tatapannya ke puncak-puncak gedung tinggi. "Aishhh.... Saya kan gak bilang kamu rakus. Ayo, makan lagi es krimnya. Cair nanti." "Memang gak bilang, tapi termaksudkan, iya 'kan?" "Bahasamu apa, sih. Udah, maka itu es krimnya." Kahayang menatap es krimnya yang mulai meleleh dan ia merasa sayang. Kembali ia menikmati es krimnya. Mungkin karena manis dan dinginnya es krim, Kahayang mulai berpikir tenang. Adalah wajar jika Sambara bertanya. Kalau diingat-ingat, yang makannya paling banyak adalah Kahayang padahal yang Sambara tahu, Kahayang sudah makan siang. "Tadi..., gak enak makannya," ujar Kahayang lemah. "Gak enak? Masakannya gak enak?" Tumben. Apa orang dapur diganti? batin Sambara. "Bukan. Masakannya enak. Pake banget malah. Cuma.... Gimana, ya...." "Ada kejadian tidak mengenakkan?" Jika bukan masakan maka itu pasti hal lain. Kahayang diam. Rasanya tidak enak menceritakannya. "Tan..., Ibu Diana?" Sambara cepat meralat sapaan Tante menjadi Ibu Diana. Setiap kejadian tidak menyenangkan di rumah Edwin Sambara, selalu bermula dari tantenya itu. Dan Sambara benar karena Kahayang mengangguk. "Masalahnya apa?" tanya Sambara. Kahayang menatap Sambara bingung. Ia sendiri tidak mengerti masalah sebenarnya apa. Tapi sepertinya terkait dengan Sambara. "Ayang." "Saya sebanarnya gak ngerti, sih." "Coba cerita," desak Sambara. Kahayang mulai bercerita. Di awali ketidaknyamanannya akan sosok Diana yang muncul dengan wajah dingin dan tatapan tajam menelesuri. Sampai kemudian keributan tidak dimengerti Kahayang antara Diana dan Edwin terkait Sambara. "Itu, Tante Diana gak suka sama kamu, ya?" tanya Kahayang setelah menceritakan semua. "Mungkin." "Kamu tuh, di rumah itu tinggal di situ atau karena tadi aja Opa Edwin memintamu membantu beliau di rumah kaca?" "Hmmm...." "Kamu, nih. Orang nanya jawabnya gitu." "Awww...." Sambara melotot dan mengaduh bersamaan. Kahayang menendang tulang kakinya. Tidak keras tapi lumayan sakit. "Makanya. Punya sopan santun. Orang bertanya itu dijawab. Bukan ham, hem, ham, hem." "Kamu juga nanya buat apa?" "Kamu aja tadi nanya, saya jawab. Meski saya gak tau buat apa." "Karena kamu memang gak perlu tau." "Dih." Kahayang mencibirkan mulutnya kesal. Sambara kemudian memeriksa ponselnya. Wajahnya mulai terlihat serius. Sesekali ia mengetikkan sesuatu. Diam-diam Kahayang memerhatikan wajah Sambara. Rambut Sambara tebal dengan belahan alami. Kahayang merasa rambut Sambara memiliki dua warna. Saat di ruangan terlihat gelap, tapi saat di bawah cahaya matahari, terlihat cokelat pekat. Diwarnai? Buat apa juga diwarnai. Genit amat jadi cowok. Padahal cowok dengan rambut warna natural lebih gagah. Eh.... Tapi kan Sambara homo.  "Bara." "Mmm...." "Kenapa jadi homo?" Sambara tersedak dengan air liurnya sendiri. Ia menoleh kanan dan kiri. Meski yakin tidak ada yang dengar karena mereka makan di balkon dan jarak duduk antara mejanya dengan meja lainnya lumayan jauh, tetap saja pertanyaan Kahayang membuatnya was-was didengar orang lain. Sambara memajukan tubuhnya. "Bisa gak, kamu itu jangan nanya aneh-aneh?" desis Sambara kesal. "Aneh apanya? Kan emang tanya sesuai kenyataan." "Nyata dari mananya?" "Helm kucing tadi." "Memangnya kalau punya helm kucing harus homo?" tanya Sambara tak mengerti jalan pikiran Kahayang. "Memangnya kamu gak homo?" Sambara semakin gemas. Ia memajukan tubuhnya semakin dekat hingga dadanya mengenai tepi meja. Ia merubah tatapan matanya menjadi sesuatu yang tajam tetapi menggoda. Sengaja ia menarik bibirnya sedikit miring agar mengesankan sesuatu yang licik. Sambara bisa melihat bulatnya mata Kahayang yang bergerak-gerak. "Kamu tau kita di mana?" Kahayang diam tak menjawab karena mata elang Sambara memiliki binar yang membuat dadanya berdebar. "Dengan sekali telpon, kita sudah bisa membuka kamar. Kamu mungkin mau istirahat? Saya temani. Oke?" Tangan Sambara merayap mendekati jemari Kahayang. Ia tak melepaskan mata Kahayang yang semakin membulat, tanda kepanikan. Sambara menikmatinya. Sedangkan Kahayang bagai anak tikus yang sudah ditangkap seekor elang. Ia bergeming. Pikirannya yang lain mencoba menenangkan jantungnya yang terus berdegup sedangkan pilirannya yang lain berkutat dengan maksud Sambara membuka kamar hotel dan tidur. Dan bagai orang kena setrum, saat jemari Sambara meraba ujung jemari Kahayang, tubuh gadis itu jengkit dan spontan menendang tulang kaki Sambara. Untuk kedua kalinya Sambara mengaduh dan kali ini ia benar-benar kesakitan. "Makanya jangan punya otak m***m!" bentak Kahayang kesal. Masih dengan menahan sakitnya, Sambara melotot. Ia sudah kehabisan kata-kata menghadapi Kahayang. Ia memilih diam dan memijat kakinya perlahan. Kahayang akhirnya kasihan juga melihat wajah Sambara yang kesakitan. Gadis itu berdiri dan berpindah duduk di sebelah Sambara di kursi berbeda. Tanpa permisi, Kahayang membungkuk dan memijit kaki Sambara. Sambara terpaku. Wajah Kahayang begitu dekat dengan wajahnya. Ia bisa melihat sangat jelas bulu-bulu halus di wajah putih Kahayang. Ia juga bisa melihat dengan sangat jelas warna bibir Kahayang yang pewarna bibirnya sudah memudar. Ia bisa melihat telinga Kahayang yang tertutup sebagian rambut pendeknya. "Sakit, 'kan. Makanya, jadi cowok itu kalau bicara jangan sembarangan. Lagi pula, mengakui kalau homo, juga gak apa-apa. Saya gak phobia sama kaum pecinta sejenis. Asal tidak menganggu saya." Kahayang terus memijat lembut kaki Sambara sembari mengoceh. Sedangkan Sambara, tak bisa mengalihkan tatapannya dari wajah Kahayang. Kepalanya bergerak bagai magnet, perlahan-lahan semakin dekat dengan Kahayang. Jarak yang terasa dekat–tidak dekat, membuat frustasi Sambara. Wajah Kahayang terasa begitu dekat karena ia bisa merasakan pantulan hangat napasnya dari pipi Kahayang. Namun, di saat bersamaan terasa jauh karena bibir Kahayang terus bicara, seolah menjadi pembatas. "Masih sakit?" Kepala Kahayang menoleh. Tepat saat itu, Sambara mendapati dekatnya bibir Kahayang. Bagai kendaraan yang ia pacu cepat, saat ada penghalang di depan, maka fungsi rem menjadi kurang pakem. Sambara tak sempat berpaling apalagi memundurkan wajahnya. Dan Kahayang yang tidak menyadari betapa dekatnya wajah Sambara, juga tak bisa melakukan apa-apa atas musibah yang terjadi. Bibir Kahayang dan bibir Sambara saling berkenalan. Kedua bibir itu menempel. Masing-masing merasakan hangatnya. Rasa terkejut kemudian membuat keduany terlonjak dan saling melepaskan diri. Akibatnya, kepala Kahayang yang dekat dengan meja, mengenai tepian meja. Kahayang mengaduh kesakitan. Refleks Sambara mengambil kepala Kahayang, membawa kepala Kahayang ke dadanya dan dengan lembut, ia membelai kepala Kahayang. Tak henti Sambara meniup bagian yang sakit. "Sakit...sakit...." Kahayang meringis kesakitan, setiap usapan Sambara mengenai bagian kepalanya yang kena benturan ringan tadi. "Iya. Ini dah pelan." Sambara kembali meniup dan mengusap kepala Kahayang. Beberapa orang melihat keduanya dengan senyum simpul. Mungkin jika situasinya berbeda pasti Kahayang mengomel karena dilihat beberapa pasang mata. Rasa sakit di kepala Kahayang mulai memudar. Tapi, keinginan tubuh Kahayang, menahannya bergerak. Ia bisa mendengarkan detak jantung Sambara. Begitu kuat dan berirama. Entah kenapa, Kahayang menikmati bunyi jantung Sambara. "Masih sakit?" tanya Sambara dengan nada biasa. Kahayang bersyukur dengan itu. Suara Sambara yang merambat di d**a Sambara, menyadarkan kenikmatan Kahayang. Dengan tidak ikhlas, Kahayang merelakan d**a Sambara. Saat ia mendongak, mata Kahayang justru menangkap bibir Sambara. Dengan cepat Kahayang memalingkan wajah dan melipat bibirnya ke dalam. Sambara yang melihat arah tatapan kahayang, juga melakukan yang sama. Harus diluruskan, batin Kahayang. Setelah menarik napas dalam, Kahayang memeperbaiki duduknya dan menoleh ke Sambara yang masih memalingkan wajah. "Harus diluruskan." Sambara terkejut dan berbalik. "Diluruskan?" "Iya." Sambara berdeham. Ia memperbaiki posisi duduknya dan mencoba menatap serius pada Kahayang, yang sialnya sia-sia. Mata Sambara tak bisa lupa akan bibir Kahayang. "Aduh!" Sambara memekik pelan. Lengannya dicubit Kahayang dengan gemas. "Matamu bisa dijaga gak?!" bentak Kahayang yang mati-matian menahan debar jantungnya karena mata Sambara menatap ke bibirnya. "Mata saya kenapa?" "Mata kamu itu melihat...melihat...." Kahayang menjilat bibirnya dengan gemas. "Mata kamu lihatin bibir saya." "Percaya diri sekali." Sambara jadi malu karena ketahuan, tetapi ia harus bertahan. "Mata saya itu lihat ke kamu." "Mana ada. Matamu lihat ke bawah." "Haruskah diingatkan perbedaan tinggi tubuh kita?" sindir Sambara. "Orang tinggi terpaksa mengarahkan matanya agak ke bawah untuk bisa melihat orang pendek. Sampai sini paham?" Sambara melakukan pembelaan diri. Meski ia ketahuan memandangi bibir Kahayang, tetapi langsung ditohok seperti itu, ia juga sangat malu. Sebagai pria, Kahayang pasti mengiranya peia m***m. "Kamu kok omong fisik!" "Yang omong fisik siapa? Kan saya menjelaskan." "Itu bukan menjelaskan. Itu kamu menghina fisik saya yang pendek dari kamu. Tahu tidak, perbuatan kamu itu bisa membuat wanita insecure." Sambara menarik napas panjang, mengelus dadanya sendiri dan melepaskan napasnya perlahan. Rasanya apapun itu ia akan tetap salah. Kahayang selalu punya cara menyudutkan dirinya. "Sebaiknya kita kembali ke topik. Apa yang harus diluruskan?" tanya Sambara lemah. Kini ganti Kahayang yang menarik napas dan melepasnya perlahan. "Oke. Tentang tadi." "Tadi? Tadi yang mana?" Kahayang mengerang kesal. "Yang tadi itu!" "Ya, tadi itu yang mana? Apa? Kita ini mau bahas apa?" tanya Sambara ikutan kesal. "Ciuman tadi!" bentak Kahayang yang kemudian celingukan melihat sekitar. "Oh. Itu. Kenapa?" tanya Sambara sesantai mungkin. "Denger. Tadi itu bukan ciuman, ya. Jadi gak usah berlebihan." "Tadi kamu bilang ciuman." "Ya..., maksudnya itu...." Kahayang gelagapan karena Sambara selalu membalik-balik ucapannya. Dengan gemas ia mengacak-acak rambutnya sendiri. "Itu tadi tempelan bibir!" pekik Kahayang gemas. Ia sudah tidak peduli lagi sekitar. "Dan gak usah debat! Pokoknya, kejadian tadi gak usah diungkit dan gak usah dibicarakan lebih lanjut. Sampai sini paham?" "Ayo, pulang." Sambara berdiri. Ini jalan keluar baginya untuk tidak menjawab iya ataupun tidak. Mempermainkan Kahayang kini adalah salah satu hobinya. Sambara melihat semua makanan habis tanpa sisa. Ada kesenangan tersendiri. Ini pertama kalinya ia membawa wanita makan dan semua makanan yang dihidangkan habis. Ia suka wanita atau siapa pun yang makannya habis. Tanda bahwa orang itu bersyukur. "Gak mau. Jawab dulu, kamu mengerti atau tidak?" Kahayang mencoba merajuk. "Ya, udah. Kalau kamu gak pulang, berarti kamu yang bayar." Sambara melenggang dengan senyum manis. Sontak Kahayang terkejut dengan peraturan yang tiba-tiba ada. Ia melotot menatap meja makannya dan mengingat betapa banyaknya makanan yang diambil atau dipesan. Menyadari ia tak akan mampu membayar, Kahayang cepat berdiri dan bergegas mendekati Sambara. Ia langsung menangkap lengan Sambara dan merangkul lengan itu kuat-kuat, membuat langkah Sambara berhenti. Sambara tidak yakin akan ekspresinya sendiri saat melihat Kahayang yang menempel di lengannya. Wajahnya yang bulat terlihat seperti mainan gantungan kunci. Dengan gemas, Sambara menjitak lembut kening Kahayang. Kahayang hanya cemberut, tetapi tidak mengomel. Baginya akan berbahaya kalau ia nanti rewel. Bisa-bisa Sambara benar-benar meninggalkannya dan tidak melakukan pembayaran. Dalam hati, Kahayang mengucapkan terima kasih pada Sambara. Ini makan siang yang berkesan baginya. Karena ia benar-benar diperlakukan sangat baik. Itu tak pernah ia dapatkan dari Gery. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD