Chapter 44

650 Words
Berbohong atau jujur?  Apapun itu, jika sakit ya akan tetap sakit. *** Dalam perjalanan, Kahayang baru menyadari jika matahari sudah bergulir menuju barat. Belum akan tenggelem. Kahayang memeriksa jam tangan, baru jam empat sore. Ternyata waktu bergulir cepat tanpa dirasa. Setelah dirasa-rasa, saat bersama Sambaralah Kahayang tak ingat akan waktu. Terbayang saat tadi di rumah Edwin Bantara, semuanya begitu lambat. "Sayang sekali...." Kahayang menikmati biasan matahari sore dengan tersenyum. Sangat jarang sekarang ia bisa menikmatinya. Matahari itu berkedi-kedip setiap melewati pepohonan rimbun atau gedung-gedung pencakar langit. Benar-benar indah. "Kenapa?" tanya Sambara melalui interkom yang terpasang di helmnya dan helm Kahayang. "Ternyata sudah sore...." "Kamu masih mau jalan?" "Jalan ke mana?" "Gak tau." "Sama kamu?" Sambara menaikkan satu alisnya dari balik helm. "Terus sama siapa?" "Sama dialah. Gak sudi saya menghabiskan sore sama kamu," ketus Kahayang. "Sekarang bilang gak sudi. Entar juga nagih." "Dih. Mimpi kamu." "Semua berawal dari mimpi. Hati-hati kamu." Kahayang mencibir tanpa menyahuti Sambara. Ia kembali menikmati matahari sore dan motor melaju dengan keheningan dari kedua sejoli. Mendekati toko bunganya, Kahayang melihat mobil Gery. Cepat-cepat Kahayang menepuk pundak Sambara dengan kuat, berkali-kali. "Berhenti, berhenti, berhenti, cepat!" pekik Kahayang dari dalam helmnya. "Awww! Jangan teriak dong!" Sambara buru-buru berhenti dan Kahayang langsung melompat turun. Sambara langsung melepas helmnya dan memijat ringan telinganya yang berdenging karena tadi Kahayang menjerit-jerit. Sontak Kahayang mendelik. Dengan gesit, Kahayang memakaikan kembali helm Sambara. "Apa, sih? Bentar! Sakit ini telinga karena kamu tadi teriak-teriak!" tepis Sambara. Tapi Kahayang tidak peduli. Sambara harus pakai helmnya agar tidak terlihat Gery. Keduanya berhenti tidak di depan toko bunga "Kahayang", melainkan di depan toko kain. Berjarak empat toko dengan toko bunganya. "Tunggu dulu! Nanti juga saya pakai." Sambara kembali menepis helmnya yang akan dikenakan Kahayang kepadanya. "Halah, manja. Ayo, pakai." Kahayang masih terus berusaha agar Sambara mengenakan helmnya. Kahayang ngotot, dia terus mendorong helm Sambara. "Memangnya ada apa, sih?" Sambara malah celingukan yang membuat Kahayang makin kesulitan mengenakan helmnya. "Saya gak mau jadi bahan gosip. Paham? Ayo, pakai." Kahayang membentak dan bentakannya ampuh. Sambara melongo mendengar alasan Kahayang. Itu dipakai Kahayang sebagai kesempatan emas. Segera ia mengenakan helm hitam itu ke kepala Sambara. Kahayang tersenyum puas. "Nah. Sana, sekarang pulang," ujar Kahayang santai. Sambara melotot. Kahayang memperlakukannya bagai cecunguk, yang setelah melakukan pengabdiannya dengan mengantar sang tuan puteri, lalu diusir begitu saja. Dengan gemas Sambara akan melepaskan kembali helmnya. Buru-buru Kahayang menekan helm itu agar tak lepas dari wajah Sambara. "Pakai! Gak boleh lepas!" "Apa-apaan, sih kamu ini!" bentak Sambara dengan amat kesal. Beruntung komunikasi tak dibarengi teriak-teriak karena keduanya masih terhubung dengan interkom di helm. "Sudah sana pulang. Makasih ya makan siangnya. Eh sorenya. Daaa!" Kahayang tersenyum lebar melangkah ringan menuju tokonya. "Eh...! Itu...!" Kahayang yang baru berjalan beberapa langkah, berbalik dan kembali melambaikan tangan. "Pulang sana, daaa!" Sambara diam saja sembari menghela napas. Tapi kemudian ia tersenyum tipis. Jarak bluetooth headset-nya dengan milik Kahayang bisa sampai satu setengah meter. Setelah melihat Kahayang masuk ke tokonya, cepat-cepat Sambara merapatkan motornya di depan toko bunga "Kahayang". Hati kahayang berbunga-bunga karena melihat mobil Gery. Kedatangan yang tak terduga dari seorang yang dirindu meskipun menyebalkan, selalu bisa emmbuat kesuraman menjadi percikan kebahagiaan. Kahayang sangat yakin, Gery sedang menyesal. Sikap Gery memang keterlaluan. Sudah dibela-belain Kahayang datang ke kantornya, bisa-bisanya Gery mengabaikannya dan terang-terangan tidak suka dengan kemunculan Kahayang. Tapi, setelah dipikir-pikir, mungkin Gery saat itu memang harus buru-buru bertemu orang. Kan Gery adalah manajer di bagian pemasaran, pasti lelaki itu harus menemui kliennya. Begitu Kahayang masuk, segera ia berhambur ke arah gery dan berniat memeluk kekasihnya. Tapi, kedua tangan Gery terulur, menahan tubuh Kahayang memeluknya. Kahayang terdiam dan mengernyit. Dilihatnya tatapan mata Gery yang menelusuri dirinya dengan ekspresi aneh. "Dari mana kamu? Kencan? Telepon gak diangkat. Lagi asyik masyuk? Enak?" Kahayang terdiam karena lebih pada terkejut dengan cecaran pertanyaan yang menuduh sekaligus dengan kata-kata menyakitkan. Dalam bingungnya dengan sikap Gery, Kahayang harus berputar cepat memberikan jawaban. Berbohong atau jujur. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD