Chapter 33

1243 Words
Menjadi kekasih bukan menjadi beban. Aku juga ingin menjadi tumpuan bagimu bukan kamu saja yang membahagiakan aku. Beri aku bagian. *** Desahan-desahan napas memburu napsu, beradu liar satu dengan lainnya. Sapaan nama untuk yang lain pada bibir-bibir masing-masing, diucapkan lirih dan terbata-bata. Yang satu membungkuk penuh kepatuhan, sedang satunya lagi berdiri penuh penguasaan. Meski begitu, baik yang patuh maupun yang berkuasa, sama-sama menikmati. Sampai lenguhan terkahir keluar dari bibir masing-masing, desahan-desahan itu pun berhenti. Berganti dengan suara-suara napas kelelahan dan senyum kepuasan. Keduanya melempar tubuh ke tempat tidur. Yang satu mengulurkan tangan sebagai bantal, yang satunya langsung menempelkan kepala pada d**a pasangannya. Sama-sama menatap langit-langit kamar yang mana lampu kelap-kelip serupa bintang, bermain indah. "Sayang...." "Ya?" jawab Rio sembari membelai kepala kekasihnya yang berada di atas dadanya. "Bela tadi datang ke kafe." Wajah Rio berubah. Perasaannya tidak nyaman jika nama itu disebut. "Lalu?" "Mmm.... Dia menawarkan pekerjaan," jawab kekasih Rio perlahan. Belaian tangan Rio langsung berhenti. Jantungnya berdenyut tidak enak. Ia bertemu dengan kekasihnya pada situasi yang mengerikan bagi Rio. Kekasihnya berlari dengan wajah babak belur mendekati mobilnya yang melaju perlahan karena sedang memilih-milih siapa yang akan ditidurinya malam itu. Kekasihnya pingsan. Rio cepat-cepat keluar membantu. Dua orang pria memaki karena belum mendapat pelayanan memuaskan padahal mereka sudah membayar mahal. Rio entah kenapa, saat itu langsung menjadi pahlawan dengan membayar ganti rugi biaya pelayanan sampai tiga kali lipat. Rio tidak ingin kekasihnya kembali ke jalan itu dan mendapat pelanggan yang akan melukai lagi kekasihnya. Ia sangat mencintai kekasihnya melebihi apa pun. Baru ini sepanjang hidupnya, Rio jatuh cinta. "Saya gak setuju. Buat apa juga kamu kerja begitu lagi, sih." Rio melepaskan diri dari kekasihnya dan duduk bersandar. "Mama butuh biaya lebih besar lagi." "Berapa? Kamu tinggal bilang aja." Kekasihnya diam. Kekasihnya itu malah tidur dengan memunggunginya. "Saya tidak mau terus menerus menjadi parasit, Rio." "Apanya yang parasit? Kamu tidak membebani saya apa-apa." "Kamu selalu menganggap saya tidak tahu apa-apa. Kamu selalu membuat segalanya baik-baik saja." Kekasihnya berbalik dengan wajah yang sudah basah karena air mata. "Saya gak selugu itu Rio untuk tahu bahwa hidupmu berat bersama saya." Melihat wajah kekasihnya yang basah, hati Rio menjadi semakin lemah. Ia merebahkan tubuhnya lagi dan memeluk kekasihnya erat. "Saya tahu kalau kamu menggadaikan mobilmu untuk membiayai operasi Mama. Bahkan kamu sudah menunggak membayar tagihan karena uangnya kamu berikan untuk biaya kemo Mama." "Dari mana kamu tahu?" "Surat tagihannya saya temukan di tempat sampah." Rio memejamkan mata, membodohi diri sendiri. Harusnya ia membuang surat itu jauh-jauh atau sekalian saja dibakar. "Biarkan itu menjadi tanggung jawab saya, Sayang. Saya adalah pemimpinmu. Urusanmu adalah bagian saya. Dan saya tidak terbebani sama sekali." Kakasihnya makin merapatkan pelukannya. Tangisan lirih terdengar. Rasa cinta Rio yang besar memang membahagiakan dirinya, tetapi itu juga membebani dirinya. Ia hanya merasa bersalah karena tidak ada timbal balik yang seimbang. Tidak ada yang bisa ia berikan untuk Rio dan ia menyesal untuk itu. "Beri saya kesempatan, Rio. Beri saya kesempatan untuk menyelesaikan masalah saya sendiri. Biarkan saya merasa berguna setidaknya bagi keluarga saya. Biarkan saya merasa berguna menjadi milikmu karena saya tidak membuatmu menderita," mohon kekasihnya. "Bagaimana saya menjelaskan padamu kalau kamu bukan benan," ujar Rio mulai frustasi akan keras kepala kekasihnya. "Saya mohon, Rio. Hanya satu pekerjaan. Ada uang dalam jumlah besar. Bisa saya pakai untuk kirim ke Mama dan juga membayar tagihan pinjamanmu." Rio mengernyit. Ia melepaskan pelukannya dan menatap wajah kekasihnya dengan heran. "Sebanyak itu?" tanya Rio tak percaya. Kekasihnya tersenyum, mengangguk. "Iya." "Orang kaya?" "Iya. Makanya saya mau. Orang kaya pasti tidak akan sekasar orang-orang di jalan." Rio kembali diam. Pikirannya kembali melayang pada masa lalu saat ia seusia kekasihnya. Ia pernah menjadi simpanan pejabat dan ia merasakan penderitaan yang panjang. "Justru orang kaya itu lebih mengerikan lagi," gumam Rio. Kekasihnya itu mengangkat kepalanya dan menatap Rio dalam. "Kamu punya cerita buruk?" Rio terdiam. "Kenapa kamu tidak pernah cerita?" "Bukan hal yang benar untuk diceritakan." "Tuh, kan. Kamu tidak pernah adil dengan saya. Semua kamu tanggung sendiri. Saya hanya pemuas di atas tempat tidur." Kekasihnya merajuk. Kembali tidur dengan memunggungi Rio. Rio membelai kepala kekasihnya. "Baiklah. Saya akan cerita." Kekasihnya berbalik dengan senyum lebar. Wajah yang sangat manis yang teramat disayangi Rio. Ia tak ingin kehilangan kekasihnya, selamanya akan Rio jaga kekasihnya, baik itu hatinya, pikirannya, bahkan tubuhnya. "Tapi berjanjilah, setelah mendengarkan cerita ini, kamu akan mempertimbangkan keputusanmu untuk menerima pekerjaan itu. Janji?" Kekasihnya diam. Menimbang kemungkinannya. "Apakah cerita ini menyakitkan?" "Begitulah. Setidaknya bagi saya. Menceritakan kembali, artinya menarik apa yang sudah saya kubur sebagai kesakitan yang ingin saya lupakan." "Apakah ini tentang orang kaya?" "Ya." Kekasihnya terdiam lagi. Menimbang lagi. Andai bukan karena ibunya, juga bukan karena kakak dan adiknya yang membutuhkan dirinya, maka bersama Rio sudah lebih dari cukup. Besarnya sayang Rio padanya, adalah juga besarnya cinta dia untuk Rio. Ia benar-benar tak ingin membebani Rio untuk kali ini. Ini menjadi keputusan dilematis bagi keasih Rio. Jika mendengarkan cerita Rio, maka ada kemungkinan ia terpengaruh. Jika ia terpengaruh, maka keputusannya untuk tak membebani Rio lagi, bisa saja mundur dan batal. Ia kemudian akan ketergantungan lagi pada Rio untuk kehidupan keluarganya. Tapi, jika tidak mendengarkan cerita Rio, ia akan menjadi kekasih paling egois. Rio tahu cerita semua kehidupannya bahkan yang paling kelam. Semuanya ia ceritakan. Seolah isi lemari sudah berpindah pada Rio. Kini, bukankah harusnya ia yang membuka diri untuk cerita Rio. Meski cerita itu menyakitkan dan akan menganggunya. "Saya ingin mendengarnya. Asalkan kamu juga janji." "Apa?" tanya Rio penasaran. "Apa pun keputusan saya, kamu haru ikuti dengan ikhlas. Ijinkan saya mengambil keputusan yang benar-benar saya inginkan dalam hidup saya. Maju atau mundur." Rio melepaskan napas perlahan. Dalam hati berdoa semoga ceritanya bisa mengubah keputusan kekasihnya menjadi mundur. "Baiklah. Dengarkan, ya." *** Markus mengisap rokoknya dalam-dalam. Pandangannya belum teralihkan dari layar ponsel. Ia menggeser ibu jarinya ke kanan atau ke kiri. Melihat foto seseorang dengan berbagai pose. Wajahnya imut dan manis, tubuhnya juga kecil. Sosok dalam foto itu benar-benar terlihat seperti remaja. "Bagaimana, Bos?" tanya Bela yang duduk di sebelahnya sembari mengunyah pisang goreng. Keduanya duduk di depan warung kopi. Markus menjaga para penghibur yang sedang menjajakan diri. Sedangkan yang sudah ia jajakan pada orang-orang potensial, sudah diantar dan diurus oleh anak buahnya. Khusus Bela, ia sedang mendapat jatah istimewa menemani Markus. "Gak keliatan kalau ia sudah mau dua puluh tahun, 'kan? Ia masih bisa dikira twink." "Ini foto kan bisa editan," ujar pesimis Markus. "Aduh, Bos. Gue gak akan berani kasih lu foto-foto editan. Itu asli begitu wajahnya, Bos. Perawakannya juga kecil begitu. Masih dikira bocah-bocah baru masuk SMA." Markus diam. "Bos. Kalau kita cari twink beneran, kalau ada apa-apa repot. Yang kemarin aja kita udah kelimpungan. Untung keluarganya gak menuntut aneh-aneh. Dilempar duit, langsung diem. Bisa kena pasal banyak, Bos kalau sampai ada twink yang celaka. Coba Bos pikirin lagilah." "Gue khawatir Bos Oppa bakal sadar kalau dia udah dewasa. Abis kita nanti." Markus mengacak-acak kepalanya, bingung. "Gak akan ketahuanlah, Bos. Percaya sama gue. Besok ikut gue. Lua liat sendiri gimana dia. Lu nilai sendiri. Lagi pula, Bos. Kalau dapat udah umur segitu, kan bisa jaga diri. Gak lembek kayak kemarin. Ape-apes kita diomelin. Tapi kan kita gak dibikin ribet urus t***k-bengek yang membahayakan. Ya, 'kan." Markus mengembuskan napas sembari membuang sisa asap rokok dari mulutnya. "Besok gue liat dulu aja, deh. Pusing gue." Markus menyerah dan Bela terseyum senang. Dibelainya Markus dan dibisikkannya kata-lata c***l. Sejak tadi nafsunya sudah tinggi. Markus yang butuh pelepasan, mengangguk. Dilemparnya rokok ke trotoar dan berdiri. Keduanya mencari tempat untuk saling memuaskan. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD