Chapter 32

1839 Words
Aku tidak ingin kamu datang ke rumahku. Aku juga tidak ingin membawamu masuk ke dalam rumah. Karena kamu bukan pilihan saya. *** Sambara mengernyit mendapati Supeno berdiri di puncak tangga pelataran rumah. Berdiri tegap seperti biasa dan juga senyum tipis mengandung misteri. Adalah suatu pertanda jika Supeno berdiri di ujung tangga, menunggu dengan tenang kedatangan penghuni rumah. Bisa pertanda baik, bisa juga buruk. Langkah kaki Sambara dipercepat. Dua anak tangga beberapa kali dilampaui. Prasangkanya buruk. Ada keributan atau ada sesuatu yang terjadi dengan opanya. Saat seperti ini ada sedikit perasaan kesal untuk Supeno yang selalu tersenyum di setiap menyambutnya. "Ada apa?" Sambara langsung bertanya meski jaraknya dengan Supeno masih tiga anak tangga lagi. Supeno tersenyum makin lebar. Menunggu Sambara sudah sampai di anak tangga terakhir dan berdiri di hadapannya. "Ada perempuan cantik." Tautan kedua alis Sambara semakin dalam dan dekat. "Perempuan cantik?" Kepala Sambara celingukan ke arah dalam rumah. Hal yang sedikitnya sia-sia. Dari pelataran sampai ke rumah masih ada jarak lagi. "Cari Mas Sambara." "Cari saya?" Supeno mengangguk. Ada seringai aneh dari ujung bibirnya yang membuat Sambara prasangka. "Apa?" bentak Sambara. "Hehehe.... Kemajuan tak terduga." "Kemajuan apa?" Supeno memajukan sedikit tubuhnya. Salah satu tangannya ditempelkaan di sudut lain bibirnya. Sikapnya seperti akan membisikkan sesuatu, membuat Sambara ikut memajukan tubuhnya sedikit. "Laki-laki sejati biasanya akan melalui jalan kesalahan dulu." Sambara memundurkan tubuhnya dengan melotot. "Lama-lama bisa gila sendiri saya." Sambara mengabaikan Supeno yang masih tertawa meski ditahan sekuatnya dengan merapatkan mulut. Ia penasaran siapa wanita yang datang ke rumahnya dan mencari dirinya. Selain sekretarisnya, tak ada lagi wanita yang ia ajak datang ke rumah. Mengijinkan mereka ke rumah juga tidak. "Beby...!" Tamu yang benar-benar tak ia duga. Sedikit pun ia tak menduga itu Beby. Wanita itu sudah tahu peraturannya sejak lama kalau ia sangat tidak ingin ada perempuan datang ke rumahnya termasuk Beby meskipun hubungan pertemanan keduanya terjalin sudah sangat lama. Sepuluh tahun lebih. Ada senyum teramat manis tersungging di wajah Beby. Bukan senyum yang dibuat-buat. Ini seperti senyum kepuasan. Bagaimana Beby tidak puas, kalau dari saat kedatangannya, selain ia diterima dengan baik, ia juga mendapati informasi yang membuatnya berbunga-bunga. Dirinya adalah wanita pertama yang tidak punya ikatan profesional pekerjaan, yang datang ke rumah. Ternyata Sambara benar-benar pemilih dan penutup. Tak ada wanita lain selain dirinya. Tak ada wanita lain dari masa lalu juga masa sekarang. Hanya dirinya satu-satunya wanita yang masuk ke dalam rumah megah Sambara. Kemarahan dan kekecewaan Beby atas Sambara seketika pupus. "Punya wanita secantik ini, kenapa disembunyikan, Bara?" tegur halus Edwin. Ada pancaran kesenangan dari wajah renta Edwin. Tapi Bara tahu kalau kesenangan opanya lebih pada sebuah kesempatan untuk menggodanya. Kakenya butuh bahan untuk  mengungkit kesendiriannya dan kemunculan Beby menjadi topik baru. "Kenapa ke sini?" Bara mengabaikan opanya dan tak menyembunyikan ketidaksukaannya akan kemunculan Beby. Wajah ceria Beby seketika berubah suram. Senyumnya lenyap. Sopan santun menahannya untuk tidak menyemburkan kekesalan yang sudah ia pupus. "Ada yang harus kita bicarakan." Beby bersikap dingin. Tatapannya sengit menantang tajamnya tatapan Sambara. "Bisa lewat telpon, 'kan?" Ketidaksukaan yang teramat snagat jelas sudah Sambara lontarkan. Edwin yang berada di antara keduanya langsung menyadari situasinya. Beby bukanlah wanita yang menjadi pilihan Sambara. Wanita sudah melanggar apa yang menjadi peraturan Sambara. "Kenapa kalau bertatap muka seperti ini? Kamu tidak suka?" "Tidak," jawab tegas Sambara. "Dan kamu tahu itu. Dengar Beby, jika ini masih terkait kekecewaanmu dua malam yang lalu, sekali lagi saya minta maaf. Jadi, apa yang membuatmu mendesak datang ke rumah ini. Karena saya sangat tidak suka." Beby mengepalkan tangannya sekuat-kuatnya. Darahnya menggelegak. Hanya Sambara yang bisa menekan dirinya tanpa sungkan. Kekuatan Sambara menguasai dirinya inilah yang membuatnya jatuh hati dan sekaligus melukai dirinya. "Saya butuh penjelasan. Bukan sekedar maaf," tuntut Beby. "Saya tidak punya kewajiban menjelaskan apa-apa padamu." "Kamu membawa saya makan malam dan kemudian meninggalkan saya begitu saja, dan kamu bilang kamu gak ada kewajiban apa-apa? Yang benar saja. Kamu anggap apa saya?" Edwin terkejut. Tak menduga cucunya sebajingan itu. Ia merapatkan diri pada Sambara dan berbisik, "Kamu begitu?" Sambara menoleh dan mendelik pada kakeknya lalu kembali menatap Beby. "Satu. Saya tidak mengajakmu makan malam. Kamu yang ingin ikut. Dua. Ada Azka dan Elle, jadi kamu tidak ditinggalkan begitu saja. Tiga. Saya sudah bilang saya ada keperluan. Apa kamu menuntut saya untuk menjelaskan apa bentuk keperluannya itu?" "Iya. Kalau perlu," tantang Beby. "Kalau perlu, 'kan? Dan saya merasa tidak perlu." Lagi dan lagi kedudukan Beby dijelaskan sangat jelas, bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Yang memalukan ada orang lain di sana yang mendengarkan. Edwin Bimantara. Baby sudah tidak bisa menguasai dirinya lagi. Ia mengambil tasnya, mengangguk sekilas pada Edwin, dan kemudian melangkah cepat keluar. Edwin memukul lengan Sambara yang langsung mengaduh. Bukan mengaduh kesakitan melainkan terkejut. "Apa Opa?" "Kejar dia. Minta maaf. Setidak sukanya kamu sama seseorang, kalau lawanmu wanita, tetap tempatkan dirimu sebagai orang yang salah dan pergi minta maaf sana." "Saya gak salah. Dia aja terlalu banyak nuntut. Dan untuk apa juga datang ke rumah ini. Saya tidak sudak ada wanita datang ke rumah ini tanpa ijin saya." "Halah. Namanya juga dimabuk asamara. Seseorang bisa melanggar kesepakatan. Sudahlah. Kalau kamu gentlemen, kejar dia dan minta maaf. Kamu sudah bicara kasar dan mempermalukan dia. Gak pantas itu. Cepat!" Edwin mendorong tubuh cucunya. Dengan terpaksa, Sambara melangkah keluar. "Jalanmu jangan seperti sinden!" Sambara mendengkus dan melebarkan langkahnya setengah berlari. Sempat ia meminta Supeno untuk memberitahukan ke satpam depan untuk tidak membuka pagar dulu melalui alat komunikasi HT. Mobil Beby berhenti di depan pagar. Beby keluar dari mobil. Sedikit kesal dan bingung kenapa satpam tidak sigap membuka pagar padahal mobilnya bersiap keluar. Tepat saat itu ia mendengar Sambara memanggil namanya. Beby berbalik. Dilihatnya Sambara berjalan cepat menuju dirinya. Degup jantung Beby berlompatan tak beraturan. Gaya jalan Sambara, membuatnya berimajinasi. Sambara bagai sosok kekasih yang sedang mengejar dirinya dan bayangan Beby berkembang pada Sambara yang memeluk dirinya erat. "Beby. Maafkan saya." Seketika bayangan romantis Beby menguap. Tak ada pelukan hangat. Sambara berdiri saja di depannya tanpa sentuhan fisik. "Kamu gak perlu minta maaf. Saya yang salah," ketus Beby. "Saya salah telah berkata kasar sama kamu. Harusnya, saya bisa lebih baik lagi menerima kamu yang jauh-jauh datang ke sini." Hati Beby berbunga. Ada makian di sisi hati Beby yang lain, yang menganggap Beby mudah marah, mudah juga luruh hanya karena Sambara mengucapkan maaf dengan lembut. "Tidak apa-apa. Saya kok yang salah. Sudah datang tiba-tiba tanpa bertanya dulu sama kamu." Sambara tersenyum geli. "Kita akan terus menyalahkan diri sendiri seperti ini sampai subuh. Mari kita lupakan hari ini dan kemarin. Maafkan saya karena membuatmu kecewa. Oke?" Beby mengangguk dengan senyum manis. Sambara selalu bisa meluluhkan hatinya dengan maaf yang disampaikan dengan manis. "Ya, udah. Kamu pulang, ya. Sudah malam. Kamu pasti capek seharian mempersiapkan butik baru. Pembukaannya jadi Jumat, 'kan?" Harusnya itu pengusiran halus, tetapi Beby merasakannya sebagai perhatian. Ia tidak tersinggung. "Iya, Jumat," jawab Beby. "Kamu sudah mengosongkan jadwalmu untuk saya, 'kan?" tanya Beby was-was. "Sudah. Saya tidak akan mengecewakan kamu." Pernyataan yang makin membuat Beby melayang ke mana-mana. "Baiklah. Saya pulang dulu, ya." Sambara mengangguk. Ia maju dan membukakan pintu untuk Beby. Setelah Beby duduk manis di kursi kemudi, Sambara berpesan, "Hati-hati di jalan. Jangan ngebut." Beby tersenyum bahagia dan mengangguk. "Oh, ya. Jangan datang lagi ke sini, ya. Kecuali saya mengundangmu atau saya sendiri yang membawamu ke sini." Seketika senyum itu hilang. Tadinya Beby berpikir, dirinya sudah diterima di rumah ini oleh Sambara, ternyata tidak. "Kenapa?" tanya Beby sedikit kesal. "Kamu kan tahu hubungan saya dengan keluarga tiri saya. Dengan Tante tiri saya. Saya sedang tidak ingin dijadikan bahan pembicaraan apa pun itu. Tidak untuk sekarang. Apakah kamu mengerti sekarang?" tanya lembut Sambara. Beby menghela napas. Rasa kesalnya berkurang sedikit. Sambara memang beberapa kali bercerita bagaimana Tante tirinya selalu bicara sengit dan juga suka berprasangka pada Sambara. Kali ini Beby berusaha memaklumi. Ia mengangguk. "Baik. Saya tidak akan datang ke sini lagi kecuali bersamamu." Sambara mengangguk, menutup pintu. Tak lama gerbang dibuka, mobil Beby pergi keluar. Beby keluar dengan senyum bahagia sedangkan Sambara tersenyum karena lega. Berurusan dengan Beby akan menjadi rumit. Sedari dulu ia sudah mencoba menghindari Beby. Tetapi Beby justru semakin menempel. Satu-satunya yang bisa Sambara lakukan adalah berkata jujur pada Beby akan perasaannya yang sedang tidak ingin terlibat asmara dengan siapa pun dan hanya menawarkan pertemanan tidak lebih. Jika wanita lain akan mundur, Beby justru bertahan. "Dia cantik." Sambara menjingkat kaget. Ternyata opanya masih menunggunya di ruang tamu. Sambara menyengir dan duduk di sofa yang sama dengan opanya. "Ya. Dia cantik. Lalu?" "Kenapa gak kamu pacari?" "Karena sekarang saya sedang ikut sayembara. Opa lupa?" goda Sambara. "Halah. Kalau dulunya kamu sudah sama dia, Opa juga gak akan adakan sayembara itu." "Masak?" Edwin diam. Dia tidak benar-benar dengan ucapannya yang terakhir. Sudah sejak lama. Sejak melihat potensi Sambara kecil dan tahu jika Andin memiliki putri kecil yang cantik, Edwin berniat menjadikan keduanya jodoh. Hanya itu satu-satunya cara menebus dosa masa lalunya. Hanya melalui Sambara menikahi Kahayang. "Sebenarnya.... Dari mana Opa tahu Kahayang?" Pertanyaan yang sudah seharian ini menjadi tanda tanya bagi Sambara. "Seorang teman baik." "Trus?" Edwin merasa belum waktunya menceritakan detail. Ia berdiri. "Ayo, makan. Opa lapar." Sambara langsung tahu jika opanya tidak ingin membahas itu. Meski didesak, jika opanya sudah mengalihkan, maka tak akan ada jawaban apa pun. Sambara baru berdiri ketika Edwin yang sudah jalan duluan, berhenti dan berbalik. "Kapan itu, kamu bilang kalau kamu suka nenek sihir. Apa si nenek sihir itu, jangan-jangan.... Dia?" Sambara melongo sesaat. Meski renta, opanya masih ingat saja akan pembicaraan di meja makan beberapa waktu lalu. Ia tertawa mengekek. "Hehehe.... Ayo, makan, Opa." Balasan telak. Jika tadi opanya tidak menjawab pertanyaannnya dengan mengajaknya makan, kini Sambara pun mebalas yang sama. "Halah, dasar buaya kecil." Edwin tertawa lebar dan melanjutkan langkahnya ke meja makan dengan tetap tertawa. Dari ruang lain, muncul Diana bersama Rio dan Lucy. Diana langsung berhenti dan menatap sengit ayahnya yang tertawa lebar dan kemudian diam dengan meninggalkan jejak bahagia di wajah rentanya. Diana muak melihat ayahnya masih bahagia. Apalagi di saat sayembara seperti ini. Kebahagiaan ayahnya menjadi kekhawatiran bagi dirinya. Sudah sangat jelas ayahnya memihak pada Sambara. "Sepertinya ada berita baik. Apakah hari ini ada cerita cinta antara Sambara dan Kahayang?" tanya ketus Diana. Wajah Edwin langsung berubah kesal. "Kamu gak perlu tau." "Saya harus tau! Karen dengan begitu dugaan saya akan jelas." Edwin mengibaskan tangannya dan melanjutkan langkahnya yang otomatis membuatnya semakin dekat dengan Diana. "Ini sayembara yang tidak pernah adil," tukas Diana. Edwin menghentikan langkahnya tepat di hadapan Diana. Meski ia sangat hati dengan putrinya itu, tetapi kesadarannya sebagai ayah, membuatnya masih bisa sabar menghadapi Diana. "Apanya yang tidak adil?" tanya Edwin dalam. "Keberpihakan Papa sudah sangat jelas. Papa hanya akan mendukung Sambara daripada Deon." "Buktinya apa?" Diana menelan ludahnya. Terdiam karena hanya bicara menyudutkan tanpa bukti. "Sekolah tinggi-tinggi sampai keluar negeri, masih juga bodoh. Kalau bicara sama saya, pakai bukti agar kedudukanmu kuat." Edwin melanjutkan langkahnya. Tak peduli dengan reaksi putrinya dan juga reaksi yang lain. Sedangkan Sambara, mengangguk sopan pada Diana dan suaminya, ia bergegas mengikuti Edwin. Sama seperti opanya, ia pun tak peduli apa yang ada di benak tantenya. Ia hanya ingin tenang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD