Chapter 56

1260 Words
Memangnya kamu bisa menolak? *** Motor hitam besar, menepi di depan toko bunga "Kahayang". Kaki kokohnya dengan sigap menurunkan standar motor dan memarkirnya di sana. Si lelaki membuka helm hitamnya, rambutnya yang legam sedikit berantakan. Hanya sekali sisiran jemari, rambutnya kembali rapi. Setelah memastikan wajah tampannya tampak sempurna dari spion motor, Sambara tersenyum puas. Baru Sambara akan turun dari motornya ketika ia mendengar ponselnya berdering. Setelah melihat siapa yang menelepon, Sambara langsung menerima. "Ya, Beb. Ada apa?" Tak ada sahutan cepat, membuat Sambara mengernyit. Sedangkan di tempat berbeda, Beby di ruang kerjanya, terdiam dengan wajah menekuk. Nada suara Sambara terdengar buru-buru dan itu membuat Beby terkejut sekaligus kesal. Ini seolah telepon darinya sudah menganggu Sambara. Padahal ia yakin Sambara sudah keluar dari kantornya, karena sebelumnya Beby menelepon sekretaris Sambara. "Kok, ada apa?" "Seharusnya bagaimana?" Beby menggigit kecil bibir bawahnya. Pertanyaan yang telak, yang tentunya akan menjadi serba nanggung jika dijawab. "Kamu lagi ada di mana?" Beby mengalihkan pembicaraan. Ia malas menjawab pertanyaan Sambara. "Di luar. Kenapa, Beb?" Jawaban yang tidak langsung. Mengesankan tak ingin diketahui. Ini semakin membuat perasaan Beby kesal. Biasanya Sambara akan bilang sedang apa atau lagi di mana dengan jelas jika ditanya. Kali ini tidak. "Kencan?" Pertanyaan yang disampaikan Beby dengan perasaan tak menentu. "Tidak. Kenapa?" "Sungguh?" "Iya. Saya tidak sedang kencan. Kenapa, Beb? Kalau tidak ada hal mendesak, saya mau lanjutkan urusan saya." "Ada meeting?" "Ada perintah." "Perintah?" tanya Beby bingung. "Opa suruh saya jemput seseorang." "Ooo...." Beby mengangguk-angguk. Perasaannya terasa lega. Setidaknya Sambara ternyata sedang tidak berbuat aneh. Teman seorang opa-opa pastilah sama tuanya. Jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Ya, udah. Saya kira kamu lagi apa aja. Tadinya saya mau ajak makan malam. Next day, ya." "Oke. Ya, udah, ya. Saya tutup teleponnya." Saat hubungan telepon terputus, kembali Beby merengut. Ia merasa kalau Saga memang buru-buru menutup. "Sepenting apa, sih, temennya Opa Edwin itu," gerutu Beby. Di depan toko bunga "Kahayang", Sambara langsung turun dari motor begitu sambungan telepon ia matikan. Dengan tubuh tegap, ia melangkah menuju toko bunga Kahayang. Bel di pintu toko berdenting bertepatan dengan Elis yang sedang membawa bunga potong yang akan dirangkai. Elis terkejut mendapati kehadiran Sambara yang tiba-tiba. "Rasanya tidak ada pesanan bunga yang masuk," ujar Elis keheranan. Sambara tersenyum mendengarnya. “Tidak, hari ini saya datang bukan untuk mengambil pesanan bunga atau membuat pesanan.” Bibir Elis membentuk bulatan seperti huruf "O" dan tiba-tiba ekspresi jahil menghiasi wajahnya. "Kalau begitu untuk apa?" Nadanya jelas penuh rasa ingin tahu dan usil. Sambara terkekeh, namun tidak menjawab pertanyaan Elis. "Pemilik tokonya mana?" Sambara bertanya sembari celingukan. Elis semakin girang mendapat pertanyaan itu. "Ada, masih di belakang." "O, di belakang. Pantas sepi." Masih mengulum senyum, Elis menoleh, lalu memanggil Kahayang. "Yang! Yang! Ada tamu nyariin kamu! Sini!" "Hah? Siapa?" tanya Kahayang dengan sedikit berteriak. "Sini, buru!" Elis dengan sengaja tak mau memberitahukan tamunya. Kahayang muncul  membawa sebuah vas bunga di tangan. Matanya melebar mendapati sosok Sambara di depan meja kasir. Sedangkan Sambara tersenyum melihat rasa kesal yang terpancar dari mata gadis di hadapannya. "Ngapain ke sini?" tanya Kahayang sewot, lalu tatapannya beralih pada Elis yang cengengesan. "Tamunya dia?" "Saya tidak lihat ada yang lain selain saya." Sambara dengan sengaja mengedarkan pandangannya ke seluruh toko. "Iya, dia, Ayang." Elis terlihat seolah berkubu pada Sambara membuat Kahayang semakin kesal. "Katanya cari pemilik toko." Kahayang menyipitkan mata. Menyelidik memperhatikan Sambara. "Ngapain cari-cari saya? Kalau mau buat pesanan bisa sama Elis." "Oh, bukan, kali ini bukan untuk itu." Sambara menahan senyum karena ekspresi Kahayang terbaca dari pancaran wajahnya. "Lalu untuk apa?" Elis yang tidak tahan lagi sengaja memotong percakapan keduanya. Kahayang mendelik kesal meski diabaikan oleh Elis. "Saya datang membawa undangan makan malam dari Bapak Edwin...." "Enggak mau!" Kahayang dengan cepat memotong kalimat Sambara sebelum lelaki itu selesai berujar. Elis langsung menepuk lengan Kahayang. "Eh, nggak sopan, Ayang." "Biarin!" rajuk Kahayang manyun. Sambara berdeham, mengambil alih perhatian kedua gadis di hadapannya. "Saya diutus secara khusus oleh Bapak Edwin Bimantara untuk menjemput Nona Kahayang. Undangan makan malam di rumah beliau." Dengan sengaja Sambara membubuhi panggilan nona di depan nama Kahayang. "Enggak mau," tegas Kahayang sekali lagi. "Ayang, ih. Gak sopan bener." Elis menyikut lengan Kahayang dengan gemas. "Aduh, Elis. Kamu gak tau sih rasanya makan di sana." "Emangnya kenapa? Perasaan kemarin kamu cerita, kamu senang aja karena dapat tanah buat menanam bunga apa saja di rumah kaca Bapak Edwin Bimantara itu." "Itunya senang. Tapi lainnya tidak. Beliau sih baik. Tapi, anaknya yang perempuan dan lainnya, nyeremin." "Termasuk Deon?" Pertanyaan Elis pada Kahayang, diam-diam membuat debar-debar penasaran di dalam d**a Sambara. Ia ingin tahu juga apa penilaian Kahayang terhadap Deon. "Deon lain. Dia mah baik. Super baik. Gak seperti...." Kahayang melirik ke arah Sambara yang dibalas Sambara dengan pelototan mata. "Gak usah banding-bandingin. Kecuali kamua da perasaan khusus juga sama saya," ujar Sambara. "Idih." Kahayang mencibir. "Kalau urusan ini tidak ada hubungannya dengan memesan bunga, maka saya tidak punya kewajiban untuk memenuhi undangan tersebut." Mata Elis serasa ingin loncat mendengar kalimat sepupunya itu. Kahayang memang benar-benar keras kepala. Bagai ditawari tantangan, Sambara tersenyum. Ia akan memastikan gadis ini ikut bersamanya ke rumah. Tidak akan kalah dari permainan ini. Lagi pula, kalau bukan titah dari sang opa, mana mau ia repot-repot mengurusi gadis di hadapannya secara khusus. "Kalau begitu saya pesan satu buket bunga yang cocok untuk acara makan malam. Dan harus diantar ke rumah Bapak Edwin Bimantara." Sambara menatap Kahayang dengan mata berkilat. "Pesanan untuk hari ini sudah tutup," jawab Kahayang mantap. Elis yang antusias ingin mengiyakan kalah cepat dari sepupunya. "Tutup gimana? Kita kan masih mengerjakan pesanan orang." Elis menatap bunga yang ada di hadapannya. Lalu menunjuk vas bunga di tangan Kahayang, yang akan dipakai sebagai media untuk menata. "Nambah satu lagi harusnya tidak masalah," sambung Elis. "Ini yang terakhir. Gak bisa nambah lagi." "Saya bayar tiga kali lipat," sergah Sambara yang mulai khawatir dengan keteguhan Kahayang menolak. Elis langsung nganga dan menatap serius Kahayang. "Saya kerjakan ini. Kamu kerjakan pesanan Sambara." Elis mengambil vas dari tangan Kahayang. "Kok, ngatus, sih," tukas Kahayang kesal. "Bilangin Tante sekarang juga, lho. Kamu sudah nolak rejeki," ancam Elis. Kahayang menyerah. Dengan menghentakkan kaki, Kahayang ke belakang untuk memilih bunga. Sedangkan Sambara dan Elis saling menatap dengan senyum kemenangan. *** Deon baru akan menaiki tangga teras ketika ia melihat ibunya melesat turun. Wajah Diana begitu menakutkan dengan ketegangan yang tak disembunyikan. Kedua mata Diana membelalak menatap lurus pada Deon. Seketika itu juga Deon merasa jika ada yang salah dan Deon menjadi khawatir. "Ponselmu kenapa mati?" tanya Diana begitu sudah berdiri di hadapan putranya. Napasnya terengah-engah. Deon mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Mencoba menyalakan. "Habis batrei, Ma." "Kok, bisa habis, sih? Memangnya asistenmu gak meriksa? Kamu kan punya power bank, kenapa gak dipakai? Kamu ini gimana, sih? Udah tau kalau itu alat komunikasi penting. Kalau begini kan kamu jadi kalah langkah," gerutu Diana yang berentet bagai mercon. "Maaf, Ma. Ada apa, sih, Ma?" "Opamu mengundang Kahayang makan malam." "Oh, ya." Deon memeriksa jam tangannya. Sudah akan jam tujuh malam. "Anaknya sudah datang?" "Justru itu," desis Diana yang tak menyembunyikan kekesalannya. "Opamu meminta Sambara menjemput." "Kok, Mama gak bilang?" tanya Deon yang mulai kesal. "Kamu linglung atau bodoh, sih! Ponselmu mati!" bentak Diana yang jauh lebih kesal. Deon menarik napas dalam. Mengakui kebodohannya sendiri. "Lihat. Jadi kalah langkah, 'kan? Coba tadi ponselmu menyala, kan kamu bisa duluan jemput gadis itu." "Menjemputnya bukan berarti Sambara sudah selangkah maju, Ma." Deon mulai melangkah menaiki anak tangga. Diana yang bingung dengan pernyataan putranya, bergegas mendahului langkah Deon dan menghadang langkah putranya itu. "Maksudmua apa?" Deon tersenyum tipis. "Saya sudah menembaknya tadi siang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD