Chapter 57

1566 Words
Minion atau penyihir? *** Kahayang tak hentinya menggerutu kesal. Ia ingin sekali mencakar-cakar wajah kemenangan Sambara, tapi tahu kalau hal itu sia-sia saja. Selain perbedaan tinggi tubuh, dari segi kekuatan, tentunya ia kalah jauh. Belum juga tangannya sampai ke wajah Sambara, tangannya pasti sudah ditangkap Sambara duluan. Lagi pula ia sudah setuju—meski dengan terpaksa—menghadiri undangan makan malam tersebut. Makan malam yang kemudian dikamuflase dengan pesanan bunga mendadak. Kahayang harus mengakui kelicikan Sambara memang di atas rata-rata. Laki-laki itu tahu kelemahannya yang tak lain adalah uang dan ibunya. Apa-apa terkait rejeki usaha, pantang ditolak, begitulah titah sang ibu. Kahayang menatap pantulan dirinya dari cermin yang ada di toko. Memastikan tidak ada yang terlihat kurang. Pasalnya, Sambara tidak membiarkannya pulang untuk berganti pakaian dengan yang lebih pantas. Alasannya sederhana, semakin menunda keberangkatan sama saja menambah waktu untuk bermacet ria di jalan. Karena alasan tersebut pulalah kenapa Sambara menjemputnya dengan mengendarai motor. "Haaah...!" Ia membuang napas panjang. Kahayang tidak keberatan kalau harus naik motor. Yang dia kesalkan lebih karena harus diboncengi Sambara. Membayangkannya saja sudah bikin bergidik. Saat melewati meja kasir, Elis menyodorkan helm kesayangan Kahayang. Matanya mengerling jahil. "Hati-hati di jalan. Makan yang banyak, ya." "Kalau bukan pesanan, siapa juga yang mau." Kahayang menyambar helm kucing warna hitam dari tangan Elis. "Anggap saja rejeki ganda. Rejeki uang dari pesanan bunga dan rejeki makan malam. Ya, 'kan?" Elis memainkan alisnya dengan senyum yang semakin lebar. "Nih. Pegang erat. Bawa hati-hati," pesan Elis sembari menyorongkan buket bunga Lily yang dipadu dengan bunga Mawar. Buket sederhana karena juga buket bunga itu dipesan asal-asalan oleh Sambara sebagai tipu daya. Dengan wajah cemberut, Kahayang mengenakan helmnya dan menerima buket bunganya. "Padahal, buket bunga ini bisa digenggamnya. Kalau malas, kita bisa kasih tas plastik, dan dicantel ke motornya. Pake segala minta diantar sebagai bentuk pelayanan, cih," gerutu Kahayang. Bibirnya komat-kamit dengan sedikit monyong membuat Elis makin tergelak. "Udah sana berangkat. Kasihan orangnya di depan," ucap Elis yang masih menyisakan tawa kecil. "Biar aja di luar sana. Sapa tau ada yang culik." "Hahaha.... Yang culik dah lari duluan." Elis memegangi perutnya yang sedikit sakit karena terus-menerus tertawa. Sepupunya kalau sedang kesal dan marah, seringkali membuatnya tampak lucu. Elis keluar dari meja kasir dan menemani Kahayang keluar toko. Sambara yang sedang memainkan ponsel di atas motornya, sambil menunggu Kahayang, mengangkat kepala saat mendengar pintu toko bunga terbuka. Sedari tadi ia terpaksa menunggu di luar karena Kahayang mengusirnya dengan ancaman. Gadis itu rela dihukum ibunya dengan menolak menerima pesanan bunga Sambara ketimbang dirinya diperhatikan Sambara saat sedang berias. Meski, saat keluar toko, Sambara tidak terlalu melihat perbedaannya selain wajah Kahayang lebih cerah saja. Kecantikan yang natural.   Mata Sambara tertuju pada model helm hitam yang memiliki tonjolan seperti telinga kucing yang sedang dikenakan gadis itu. Hati Sambara berbunga karena helm itu masih dijaga Kahayang. Kiranya, karena begitu bencinya gadis itu dengan dirinya, helm itu akan disia-siakan. "Kenapa?" tanya Kahayang galak, tidak suka melihat tatapan terpaku Sambara. Elis yang melihat kegalakan sepupunya hanya geleng-geleng kepala saja. "Sini." "Ya, emang mau ke sana." Saat Kahayang benar-benar dekat di hadapan Sambara, lelaki itu langsung mengulurkan tangan, memegang kedua lengan Kahayang dan menarik tubuh mungil itu lebih dekat lagi. Perlakuan Sambara yang tiba-tiba, membuat Kahayang terkejut dan tidak bisa menahan tubuhnya sendiri. Langkahnya setengah terhuyung ke depan, membuatnya hampir mencium wajah Sambara saat kedudukannya sudah sangat dekat. Kahayang mendapati dekatnya mata elang Sambara. Membuat dirinya tak bisa berkutik; terpaku. Refleksnya menguap. Ia terkesima akan kilatan mata Sambara. Tapi, itu hanya sesaat. Kesadarannya pulih berbarengan dengan degup jantungnya. Ditepisnya kedua tangan Sambara dengan hentakan. "Apa, sih? Main tarik-tarik aja!" "Kamu lelet." Sambara kembali mengulurkan kedua tangannya. Kali ini Kahayang dengan gesit menepis tangan Sambara. "Mau apa lagi? Jangan cari-cari kesempatan, ya!" "Cari kesempatan sama siapa? Sama kamu? Minion begini," ejek Sambara. Terdengar tawa ditahan dari belakang Kahayang. Elis tak yakin apakah perlu melerai karena keributan keduanya selalu memberinya hiburan. Kahayang langsung menoleh ke belakang dan melotot pada Elis. Sedangkan Sambara, turun dari motornya. Berdiri menjulang di hdapan Kahayang. Memegang kedua pipi Kahayang yang dilindungi helm dan memutar kepala mungil itu agar kembali menatap pada dirinya. Tanpa banyak bicara, Sambara menunduk sedikit dan mulai mengaitkan tali pelindung helm Kahayang. "Ayo naik," ujar Sambara dan memasang helmnya sendiri. Menyadari kalau tak ada aksi, Sambara kembali menatap gadis penjual bunga yang tak kunjung menaiki motornya. Kahayang seperti bengong saat menatap dirinya. Sambara tidak tahu jika Kahayang sedang meredakan degup hatinya. Kembali sambara mengulurkan tangannya. "Mau apa?" Kahayang mundur selangkah. Ia meneriaki dirinya sendiri agar tidak terlalu lama terpesona akan tindakan manis Sambara. "Kaca helmmu tutup. Banyak debu sama asap. Inerkom nyalakan." Sambara mulai menyalakan mesin motornya. Sebelum menutup kaca helmnya sendiri, Sambara berpamitan pada Elis yang dibalas Elis dengan anggukan semangat dan senyuman lebar. "Bahagia banget dipamitin begitu," gerutu Kahayang yang melihat bagaimana Elis begitu bersemangat terhadap Sambara. "Bahagialah. Ada cowok ganteng dan sopan begitu." "Idih. Sopan apanya. Siluman begitu." Kahayang melirik ke arah Sambara. "Liat aja nanti. Berani-beraninya ngatain saya minion." "Hihihi.... Memang minion, 'kan?" Kahayang mencubit lengan Elis dengan gemas. Di atas motornya, Sambara menahan tawanya. Kahayang bicara setelah menyalakan interkomnya yang otomatis terdengar Sambara. "Cepat naik." Kahayang menjingkat karena suara Sambara memenuhi kepalanya. "Tunggu!" bentak Kahayang dengan nada ditinggikan. Kini ganti Sambara yang menjingkat. Telingany sedikit berdenging. "Ayang. Kasihan kan kamu teriakin. Udah sana berangkat," tegur Elis yang tak tega melihat Sambara melepas helmnya dan mengucek-ucek kedua telinganya. Tatapan sadis Sambara yang terarah pada Kahayang justru membuat geli Elis. "Ya, udah saya pergi dulu. Pamitkan orang rumah lho, ya. Kalau pesanan bunga tadi sudah diambil, langsung tutup aja tokonya. Minta tolong Lingga." "Pasti. Abis ini saya WA Lingga buat datang. Hati-hati, ya." Kahayang mengangguk dan menurunkan kaca helmnya. Sambara juga sudah kembali mengenakan helmnya. Dengan bantuan Sambara, Kahayang naik ke motor. "Pegangan." Suara Sambara kembali memerintah. "Sudah, kok." Jawaban Kahayang membuat lelaki itu mengernyit dan menoleh ke belakang melihat salah satu tangan Kahayang yang tidak memeluk buket bunga, mendarat di pundaknya. "Kamu pikir saya tukang ojek?" "Trus saya harus pegangan di mana lagi?" tantang Kahayang. Sudah pasti ia tidak akan sudi merangkul pinggang Sambara. "Saya mau ngebut." "Begini sudah aman." Kahayang tak mau kalah. "Nanti kalau kamu terbang saya nggak tanggung jawab," ejek Sambara menyindir tubuh mungil gadis itu. "Enak aja!" "Jangan salahkan saya kalau kamu sampai jatuh." Sambara menstarter motor miliknya dengan senyum mengembang. Ia akan balas dendam pada Kahayang sekarang. Baru dua meter melaju, Sambara tiba-tiba menggas tenaga motor dengan kencang. Tubuh mungil Kahayang sempat terhuyung ke belakang. Karena kaget, tangannya refleks merangkul pinggang Sambara. "Kamu mau bunuh saya?" ucap Kahayang syok dengan jantung berdebar-debar. Sambara tersenyum penuh kemenangan. "Kan saya sudah kasih tahu. Kalau dari awal nurut pasti aman." Kahayang hanya bisa menggerutu. Ia menangkap jelas rasa senang Sambara dari suara lelaki tersebut. "Ternyata helmnya pas di kamu," ujar Sambara di tengah-tengah perjalanan. Kini, tangan kanan Kahayang sudah memeluk pinggang Sambara, sedang tangan kirinya memeluk buket bunga. "Cocok buat kamu." "Sudah jelas cocok." Kahayang merasa bangga, tetapi buru-buru ia tepis. Bingung dengan pujian Sambara. "Cocok?" "Iya. Cocok sama pemiliknya yang kayak kucing garong." Kahayang memukul bahu Sambara yang tertawa puas. Saat lampu berubah hijau, lelaki itu kembali mengerjai Kahayang. Ia menggas dengan kencang dan lagi-lagi tubuh mungil Kahayang terhuyung ke belakang. "Hati-hati bawa motornya!" geram Kahayang. "Siapa suruh lepas pegangan." Kalimat Sambara membuat gadis itu semakin jengkel. Namun, entah kenapa ia menikmati lengan Kahayang yang melingkar di pinggangnya. Tak ada lagi yang bicara. Masing-masing menikmati berkendara dan perasaan yang berbeda. Tak ingin capek-capek menerjemahkan, keduanya memilih diam menikmati saja. Sesampainya di kediaman keluarga Bimantara, keduanya sudah disambut sang kepala asisten rumah tangga, Supeno, di teras. Senyum samarnya, membuat lelaki paruh baya itu terlihat lembut. Kahayang menyukai lelaki itu sejak awal. "Selamat datang Mbak Kahayang. Bunga yang cantik," puji Supeno. "Selalu ada yang cantik dan segar yang dibawa Mbak Kahayang." "Terima kasih Pak Supeno. Ini bunga pesanan dari asisten Bapak Edwin Bimantara dari asistennya." Kahayang melirik pada Sambara yang sudah berdiri di sebelahnya. "Oh." Tatapan jahil Supeno pada Sambara membuat pria itu salah tingkah. "Mas asisten membeli bunga khusus untuk Tuan Besar. Boleh saya terima, Mbak, bunganya." Kahayang menyodorkan buket bunganya. Namun, tangan Sambara sigap menyambar buket bunga dari tangan Kahayang. "Ini saya yang beli. Ini bunga saya." Kahayang mendelik pada Sambara karena pria itu tidak sopan. Apa pun kedudukan Supeno, tetapi menyambar sesuatu di depan orang tua, bagi Kahayang tidak sopan. "Gak sopan main sambar begitu," tegur Kahayang. "Lagi pula bunga itu kan kamu pesan memang untuk Bapak Edwin Bimantara." "Tadi kan cuma buat akal-akalan aja." Sambara menatap pada Supeno yang jelas tidak tersinggung. Malah justru terlihat menahan geli. "Bapak sudah di meja?" "Beliau menunggu di ruang tengah," jelas Supeno. "Ya, udah. Bawa Nona Penyihir ini masuk. Saya mau ke kamar saya." Sebelum mendengar omelan Kahayang, Sambara bergegas memutar tubuh dan melangkah menuju anak tangga untuk turun. Namun sebelum ia benar-benar turun, Sambara berbalik menatap Supeno. "Pak Supeno, maafin yang tadi. Saya asal sambar." Supeno hanya tersenyum dikulum kemudian menatap Kahayang yang sedang menatap kepergian Sambara dengan mimik wajah kesal. Dalam hati, ia kagum akan Kahayang. Gadis itu sudah bisa mengatur tuan mudanya ke sesuatu yang positif. "Mari masuk, Mbak." "Orang itu tinggal di sini juga?" tanya Kahayang yang mengikuti langkah Supeno masuk. "Iya, Mbak." "Semoga saja dia gak tengil mengaku-ngaku pada banyak gadis kalau rumah ini adalah rumahnya." Supeno diam, menutup mulutnya dengan tangan, menahan agar tidak tertawa atau setidaknya ekspresi tawanya tak terlihat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD