Chapter 58

1657 Words
Kompetisi dimulai. *** Memasuki rumah Edwin Bimantara yang begitu megah, Kahayang menjadi ciut. Ia mengangumi sekaligus juga rendah diri. Semuanya berkilau, mewah, dan tak biasa. Bibir mungil Kahayang hanya bisa menganga melihat bagaimana desain interior rumah Edwin Bimantara yang hampir tak masuk di akalnya. Langit-langit yang begitu tinggi jaraknya. Lampu-lampu kristal bergantungan dengan juntai-juntai yang semakin membuat ruangan terasa indah. Jendela-jendela kaca yang tinggi bak raksasa, ditutup kain gorden yang tebal, membuat Kahayang berpikir tentang bagaimana orang membersihkan kacanya dan memasang gordennya. "Ayang!" Langkah Kahayang terhenti, begitu juga Supeno. Keduanya sama-sama memalingkan wajah ke arah sumber suara yang suaranya maskulin dan sedikit bergema. Di pertengahan anak-anak tangga, terlihat Deon yang tersenyum lebar. Dengan langkah cepat, Deon menuruni anak-anak tangga. Wajahnya terlihat segar dengan rambut yang terlihat lebih gelap dan mengkilap bekas dibasahi. Lelaki itu terlihat sangat santai dengan kaos berkerah warna putihnya. Memancarkan ketampanan yang begitu bening. Secepat langkah Deon, secepat itu pulalah detak jantung Kahayang. Teringat akan makan siangnya dengan Deon tadi siang, Kahayang menjadi salah tingkah. Apalagi senyum Deon terasa menyiratkan makna. "Kok, kamu gak bilang mau ke sini." Dengan sikap yang sangat akrab, Deon langsung merangkul Kahayang. Ini membuatnya bersisian dengan Kahayang. Deon bisa merasakan kekikukan Kahayang, tapi ia tak peduli dan memang itu tujuannya. Semakin kikuk sikap wanita, semakin jelas bagaimana perasaan si wanita. Kahayang meyukai dirinya. "Hm, iya. Ini juga tiba-tiba." Kahayang benar-benar menjadi tak berdaya. Wangi segar Deon yang menguar lembut, membuat Kahayang ingin berlama-lama mepet dengan tubuh ateltis Deon. Ditambah suara lembut dan rangkulan hangat. Benar-benar membuat Kahayang terhanyut. "Sama siapa ke sini?" Pertanyaan menguji. Deon ingin tahu apa jawaban Kahayang. Apakah wanita itu akan menjawab jujur atau berusaha mengelak untuk menjaga perasaannya. Sebagian besar wanita akan melakukan yang kedua jika wanita itu punya perasaan khusus. "Sambara. Asistennya Bapak Edwin Bimantara." Dan Deon cukup terkejut dengan cepatnya Kahayang menjawab, juga jujurnya gadis itu menjawab, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan jawabannya. Ini membuat Deon yang tadinya percaya diri jika Kahayang menyukainya, jadi bertanya-tanya akan perasaan Kahayang yang ditunjukkan melalui sikap malu-malunya. "Ooo..., di mana dia?" Deon pura-pura celingukan mencari tahu sosok sepupu tirinya itu. "Ke kamarnya." "Tidak ikut makan malam?" Deon sengaja menatap Supeno. "Memangnya sebagai asisten, Sambara juga ikut makan di meja yang sama?" Sebelum Deon menyahut, Supeno sudah berdeham untuk menyela. "Hem. Maaf Mas Deon, Mbak Kahayang, Tuan Besar sudah menanti lama di ruang tengah." "Ah, iya. Ayo, Ayang kita temui Opa." "Mmm, Deon. Jangan gini, ya. Gak enak sama Bapak Edwin dan lainnya." Kahayang lebih panik membayangkan jika wanita galak yang bernama Diana memelototinya ketimbang yang lain. Deon tersenyum memahami dan melepaskan rangkulannya. Keduanya kemudian berjalan bersisian dengan Supeno menjadi pemimpin. Sampai di ruang tengah, Edwin langsung berdiri menyambut Kahayang. Dengan kehagangatan seorang kakek, Edwin memeluk Kahayang. "Ahhh..., datang juga." Edwin terkekeh sembari mengisap lengan Kahayang dengan sayang. "Tadinya saya kira kamu tidak akan mau datang." "Kenapa Ayang tidak mau datang, Opa?" tanya Deon. "Karena yang menjemput Sambara." Edwin menatap Kahayang. "Anak itu memang bukan anak menyenangkan. Baguslah kalau dia punya lawan yang tangguh sepertimu, hahaha...." "Maaf, Pak Edwin. Kalau saya sedikit kesal dengan asisten Bapak itu," ucap Kahayang malu. Edwin terdiam dari tawanya. Mengernyit menatap Kahayang. "Pak Edwin? Kamu panggil saya Pak Edwin?" Kahayang melipat bibirnya ke dalam. Edwin Bimantara memang meminta Kahayang untuk menyapanya dengan sapaan Opa bukan Bapak. Tapi, Kahayang merasa sungkan. "Bukankah kemarin kita sepakat kalau kamu akan anggap saya kakekmu dan kamu akan panggil saya dengan sebutan Opa. Sama seperti cucu-cucu saya lainnya." Kahayang jadi tidak enak hati. Nada bicara Edwin jelas tidak suka. "Maaf, Pak, eh, Opa. Gimana, ya. Saya sungkan Pak, eh, Opa." Tawa Edwin seketika menggelegar melihat sikap salah tingkah Kahayang ditambah kejujuran gaids mungil itu. Benar-benar sikap yang mengingatkannya pada seseorang. Seorang sahabat. "Panggil saya Opa. Oke?" Kahayang tersenyum dan mengangguk. "Nah, gitu. Ayo makan. Saya sudah lapar." Edwin merangkul lengan Kahayang. Sikap Edwin tak membuat Kahayang risih. Justru Kahayang merasa seolah sedang dirangkul seorang kakek. Ia tak pernah tahu atau tak ingat bagaimana rangkulan kakeknya. Ia sudah tak memiliki kakek atau nenek sejak ia kanak-kanak. Edwin menghentikan langkahnya sesaat akan memasuki ruang makan. Ia berbalik, bicara pada Supeno. "Sambara mana?" "Tadi bilang akan ke kamarnya, Tuan," jawab Supeno. "Suruh dia makan." "Baik, Tuan." Supeno berbalik dan menjauh. Kini arah tatapan Edwin beralih pada Deon. "Mamamu sama lainnya suruh turun, makan." "Biar aja, Opa. Nanti juga turun sendiri," ujar Deon yang enggan memanggil keluarganya. "Panggil sana." Deon menghela napas dan terpaksa memutar tubuhnya untuk memanggil orang tua dan kakak perempuannya. Edwin Bimantara menoleh pada Kahayang dengan tatapan jahil seperti anak kecil. "Ayang. Tinggal kita berdua. Ayo, kita kencan berdua dulu." Melihat ekspresi Edwin, tak ayal Kahayang tertawa geli. *** Kahayang duduk di meja sayap kanan, di dekat Edwin Bimantara. Edwin bilang, kalau tempat duduk itu biasanya diisi Sambara. Sempat Kahayang menolak tetapi kata Edwin, dirinya bosan makan di dekat Sambara, dan itu membuat Kahayang tertawa. Edwin kemudian memuji kecantikan Kahayang dan bercerita bahwa di masa sekolah ia pernah menyukai perempuan yang profilnya mirip Kahayang. Ia bercerita tentang bagaimana dirinya yang pemalu mencoba menarik perhatian si gadis. Kahayang tak hentinya tertawa. Perutnya menjadi sakit karena ia harus menahan tawanya tidak menjadi gelak yang berlebihan. "Dan Opa kemudian berhasil?" tanya Kahayang. Sikap Kahayang jauh lebih santai. Tubuhnya condong ke depan, agar lebih dekat dengan Edwin. Perhatiannya tak lepas dari cara Edwin bercerita. "Menurutmu?" Edwin mengedipkan mata. "Waaa.... Ternyata Opa bisa menaklukan hati wanita hanya dengan memberinya puisi." "Wanita kadang tidak melulu menuntut tindakan sebagai sebuah pernyataan. Tulisan yang dirangkai dengan manis jauh lebih mengena." "Hhh..., cowok saya tidak pernah memberikan kata-kata yang manis. Boro-boro kata-kata manis, sekedar tulisan pun tidak." Edwin terdiam. Ia sudah tahu jika Kahayang memiliki kekasih. Tapi, mendengarnya langsung, rasanya kurang nyaman. Sedikitnya Edwin merasa bersalah menjadikan Kahayang sebagai maskot sayembara. Karena ini akhirnya akan bisa membuat Kahayang berpisah dari kekasihnya. "Siapa nama kekasihmu?" "Gery, Opa. Kami kenal sejak jaman sekolah. Dia kakak kelas saya." "Dan kalian menjadi kekasih sejak...?" "Ya, sejak sekolah. Tepatnya beberapa saat sebelum Gery kelulusan." Lama juga, batin Edwin. Sebuah hubungan yang sudah terlalu lama untuk dirusak. Edwin semakin bersalah. Apalagi mengingat konflik keluarganya sendiri. Kahayang pasti akan berada di tengah-tengah yang diombang-ambing. Edwin memikirkan kebahagiaan Kahayang. "Kamu bahagia bersama dia?" "Akhirnya datang juga si Tuan Putri." Suara Diana menghentikan pembicaraan antara Kahayang dan Edwin. Pertanyaan Edwin pun tak terjawab karena Kahayang langsung mengalihkan tatapan pada kedatangan rombongan Diana. Edwin mendengkus dan menatap putrinya dengan kesal. Sikap Diana terlalu berlebihan saat bicara dengan Kahayang. Edwin melirik pada Kahayang yang terlihat mulai tak nyaman. "Saya sampai mengira tidak akan ada makan malam untuk malam ini." Diana langsung mengambil duduk di sayap kiri, di sisi Edwin. Membuatnya berhadapan dengan Diana. Di sisi Diana duduk Roy, berlanjut Lucy. Sedangkan Deon, duduk di tempat biasanya, di sayap kanan. Biasanya ia duduk di sisi Sambara yang kursinya sudah diisi Kahayang. "Kalau memang lapar, kenapa tidak makan duluan saja?" tukas Edwin kesal. Ia kemudian memandang Supeno yang juga baru masuk. "Mana Sambara?" tanya Edwin yang tak melihat sosok Sambara ikut bersama Supeno. "Mas Sambara katanya sudah kenyang, Tuan. Dia ijin tidak ikut makan malam." "Suruh dia datang untuk makan malam atau kita semua tidak makan, malam ini," titah Edwin dengan sangat kesal. Edwin paham keengganan Sambara untuk makan malam. Ada Diana. Ada Kahayang. Pasti akan ada nyinyiran Diana yang akan membuat suasana makan malam menjadi keruh. Dan Edwin yakin Sambara sedang menjaga perasaan Kahayang karena jika ada Sambara maka sindiran-dindiran Diana akan bersifat blunder atau tidak jelas. Itu pastinya akan membuat Kahayang bingung. Namun, Edwin ingin Sambara bersikap sebagai lelaki. Apalagi ini adalah kompetisi. Sikap Sambara malah justru terlihat seperti pengecut. "Tambah lagi yang menjadi 'Yang Dimuliakan'," gerutu Diana. "Kamu bisa mulai makan dulu Diana, jika cacing di perutmu itu sudah kekeringan," tegur Edwin. Kahayang sebenarnya ingin tertawa, tetapi tidak berani. Ia harus menundukkan kepala lebih dalam hanya agar ekspresinya tak terbaca. Sedangkan Deon justru menatap ibunya tajam. Ia sedang berjuang merebut hati Kahayang dan ini adalah kompetisi. Harusnya Diana bisa bersikap lebih sabar di depan Kahayang. "Menunggu sebentar kan tidak apa, Ma. Sambara kan juga anggota keluarga. Jarang-jarang kita bisa makan sama-sama." Diana menatap putranya sengit. Ia tak suka digurui di depan orang lain. Tapi, Diana menjadi tidak bisa berkutik jika putranya itu sudah memberikannya tatapan sangat tajam. Tanda jika Deon benar-benar sedang marah yang ditahan. Lain Diana, lain Kahayang. Ia terkejut dengan pernyataan deon bahwa Sambara adalah anggota keluarga. Seingatnya Sambara hanyalah seorang asisten pribadi. Kahayang kemudian menduga-duga kemungkinan bahwa Sambara adalah sepupu jauh Deon. Adalah mungkin jika yang menjadi asisten pribadi adalah orang terdekat. Keluarga adalah yang paling bisa dipercaya. Edwin menghela napas. Deon secara tidak sengaja sudah kelepasan bicara perihal kedudukan Sambara di keluarga ini. Kemarin setelah mengantar Kahayang, Sambara bicara pribadi pada Edwin kalau perihal prasangka Kahayang mengenai jabatannya, untuk jangan diperbaiki. Sambara ingin membebaskan Kahayang memiliki pemikiran apa pun untuk apa dan siapanya Sambara. Keputusan yang sangat bijaksana. Cucu kesayangan. Penerus yang paling bisa diandalkan. Tak lama Sambara muncul dengan langkah yang terburu-buru. Dari gerak dadanya yang naik turun cepat, semua bisa mengira jika Sambara sedikitnya berlari kecil. Sambara kemudian mengambil duduk di sebelah Deon. "Maaf," ucap Sambara tulus. Dirinya memang sudah berniat untuk tidak ikut makan malam. Selain malas dengan adanya Diana, ia juga khawatir kehadirannya akan membuat Diana makin mengkonfrontasi situasi. Makan siang kemarin saja sudah membekas perasaan tidak nyaman Kahayang dan Sambara tidak ingin menambah-nambah itu dengan kehadiarnnya. "Akhirnya Paduka datang juga. Apa kita bisa makan sama-sama, Pa?" tanya sinis Diana. "Lain kali, kalau sudah waktunya makan, ya makan. Jangan pikirkan diri sendiri. Pikirkan juga yang lain," tegur Edwin mengabaikan pertanyaan Diana. "Baik, Pak." Sambara menjawab dengan sikap hormat. Dirinya memang salah. "Kita makan, Opa? Kasihan Kahayang." Deon tanpa sungkan membelai punggung tangan Kahayang yang ada di meja. Kahayang menjadi malu. Ia menarik tangannya perlahan dengan senyum canggung. Sambara pura-pura tidak melihat, ia membuka piringnya yang tadi dalam posisi tertutup. Sedangkan Edwin tersenyum kecil. Ia suka melihat kompetisi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD