Chapter 59

1060 Words
Aku diam tapi aku memerhatikan. *** Deon memperlakukan Kahayang dengan sangat manis dan istimewa. Ia selalu membantu Kahayang mengambil makanan yang Kahayang mau atau yang Kahayang sukai. Sesekali Deon mendekatkan tubuhnya ke Kahayang untuk bisa bicara dengan lebih lembut. Pemandangan yang romantais. Benar-benar seperti sepasang kekasih. Membuat perasaan menjadi panas juga gerah bagi lainnya. Sesekali Edwin bertanya hal-hal ringan seputar kehidupan Kahayang. Dan yang sesekali itu, yang menjawab justru Deon. Seolah Deon tahu semua-semua terkait tentang Kahayang. Padahal Deon sendiri baru beberapa kali saja bertemu Kahayang. Kahayang sendiri terlihat tak keberatan. Baginya, lebih baik ia tak banyak membuka mulut. Tatapan tajam dan sinisnya Diana juga Lucy, membuat kursi yang diduduki Kahayang terasa panas. Ingin rasanya Kahayang menyudahi makan malamnya. Berbeda dengan Kahayang yang begitu naif, Sambara justru bertanya-tanya sendiri, sudah seberapa banyak Deon menyelidiki latar belakang kehidupan Kahayang. Kali ini Sambara merasa Deon dengan sengaja mempercepat langkahnya dengan mencari tahu perihal Kahayang. "Lama-lama kamu jadi juru bicara Kahayang yang handal, ya," ujar Edwin dengan kekehan kecil. Tidak jelas apakah itu berupa sindiran halus atau memang sekedar bercanda saja. "Hehehe..., spontanitas, Opa. Karena saya mengenal Ayang." Deon menatap Kahayang dengan senyum penuh makna. Kahayang hanya bisa tersenyum kecil dengan pernyataan Deon. "Bara, apa belum kenal Kahayang? Kemarin kan ngantar Ayang pulang. Sampai sore, itu," pancing Edwin. Ia gemas melihat cucu kesayangannya itu terlihat tenang. Rasanya hambar jika tidak ada persaiangan yang nyata. Terdengar sebagai sebuah permintaan yang licik. "Sudah kenal, Pak," jawab singkat Sambara dengan sopan. "Sampai sore hanya kenal saja?" Suara Edwin seperti terpekik. Ia bersikap terkejut dan tak percaya jika kebersamaan antara cucunya dan Kahayang sebegitu lamanya, hanya dijawab begitu. Walaupun sebenarnya, Edwin sudah mendapat penjelasannya dari Sambara saat selesai mengantar Kahayang pulang. Kahayang menjilat bibirnya. Melirik pada Sambara yang malah terlihat adem ayem tanpa beban. Padahal pertanyaan Edwin cukup menyudutkan dan menuntut jawaban. "Kemarin saya lapar, jadi saya minta Mbak Ayang menemani saya makan dulu." Baik Edwin maupun Kahayang, cukup kagum akan kejujuran Sambara. Meski tidak menjelaskan secara lengkap, tetapi Sambara sudah gamblang menjawab. "Selama makan apa tidak ngobrol?" sindir Edwin. "Ya, bicara. Tapi, sedikit. Tidak banyak." "Sayang sekali. Harusnya karena Cuma berdua, kalian bisa berkomunikasi dengan baik." "Tidak bisa berkomuniasi dengan baik bukan berarti tidak bisa menyelundup dengan baik," sindir Diana. Tatapan tidak sukanya terarah pada Sambara dan Edwin. "Serigala selalu punya taktik untuk mengelabui lainnya. Kahayang, kamu harus hati-hati pada laki-laki yang terlihat kalem. Karena dibalik lebatnya bulu domba, siapa yang tahu kalau itu serigala." "Laki-laki menarik perhatian wanita cantik, bebas saja mau pakai cara apa. Kayak kamu tidak pernah dikejar-kejar cowok aja, Di, Di," kekeh Edwin geli. "Ah..., kamu kan hanya dikejar Roy saja." Diana memegang sendok dan garpunya dengan sangat kuat sampai kuku tangannya memutih pucat. Edwin selalu punya kata untuk menjatuhkan dirinya. Ayahnya tak pernah sekali pun memihak pada dirinya. Edwin memang terkekeh kecil. Tapi bagi semuanya, bisa memahami jika Edwin sedang kesal pada Diana. Lelaki itu tak mengerti bagaimana Diana tak bisa memiliki tata krama. Biar bagaimana, Kahayang adalah tamunya. Harusnya ujaran ketidaksukaannya tak perlu diumbar. "Kenapa jadi bawa-bawa Roy?" tanya Diana tidak suka. Roy; suaminya, menyikut lembut lengan istrinya, tapi Diana justru malah menyentak. "Ya, kenapa ada domba dan serigala segala di meja makan. Bikin tidak selera makan saja," gerutu Edwin. "Itu kan perumpamaan. Saya kan sedang memberi nasehat baik untuk Kahayang. Ada yang salah dengan itu?" Edwin mendengkus kesal. Jika diteruskan ini akan jadi perselisihan yang memalukan di depan Kahayang. Dan bisa-bisa Diana akan keceplosan perihal sayembara itu. Jika Kahayang tahu, dipastikan gadis itu akan pergi. "Maaf. Saya sudah selesai makan. Saya permisi dulu." Sambara menutup sendok dan garpunya di atas piring. "Makanan penutup belum datang," ujar Edwin. Pengingat bagi Sambara untuk tidak pergi meninggalkan ruang makan. "Maaf, Pak. Saya benar-benar sudah kenyang. Nanti Mbak Ayang kalau sudah mau pulang, tinggal bilang saja sama saya." "Ayang akan pulang bersama saya," tegas Deon. Deon menatap Sambara dengan senyum manisnya. Senyum yang Sambara yakini adalah senyum pemaksaan. "Oh, iya. Baik, Mas. Kalau begitu saya permisi dulu." Sambara berdiri dibarengi bunyi decit kursi yang bergeser mundur. Tak hanya satu kursi, kursi Kahayang juga berdecit. Semua terkejut menatap Kahayang yang juga ikut berdiri. Terutama Deon yang langsung terpaku. "Mmm..., karena sudah sangat malam, saya permisi pulang dulu, Opa," pamit Kahayang. Suaranya terdengar bergetar. "Tapi, makanan penutup belum datang," protes lembut Edwin. "Saya juga sudah kenyang, Opa. Maaf." Kahayang sedikit membungkuk sebagai perwakilan dirinya yang menyesal harus meninggalkan makan malam dengan keadaan tergesa. Melihat bagaimana sikap Kahayang, Edwin tidak punya pilihan selain menumpuk kekesalan pada Diana yang sudah merusak makan malam yang cukup menyenangkan di awal. "Sayang sekali. Padahal saya ingin ngobrol-ngobrol sama kamu." Kahayang jadi merasa bersalah. Edwin adalah lelaki yang sangat baik dan Kahayang langsung merasa dekat dengannya. Kelembutan dan kebaikan Edwin adalah yang dirindukan Kahayang pada sosok seorang kakek. "Saya janji. Saya akan datang lagi kemari untuk menemani Opa ngobrol, sembari menanam sesuatu di rumah kaca." Kahayang melebarkan senyumnya dan memberikan perngharapan. Kahayang merasa Edwin adalah sosok tua yang kesepian. Mengurus perusahaan, tentunya menyita waktunya. Belum lagi Deon, cucunya dan anak mantunya, pasti sibuk mengembangkan perusahaan. Tak ada siapa-siapa yang bisa diajak bicara dan pastinya taka da waktu berkumpul bersama. "Kamu janji?" "Saya janji, Opa." Edwin tertawa lebar sembari mengangguk-angguk. "Saya tunggu kamu datang lagi dalam waktu dekat." "Kalau begitu, saya pamit dulu Opa. Antar Kahayang," ujar Deon yang bersiap untuk berdiri. "Eh, jangan. Anu, tidak. Anu, gimana, ya. Biar saya sama Sambara saja. Kamu kan belum selesai makannya. Dilanjut saja," tolak Kahayang tidak enak hati. Yang dipikiran Kahayang adalah Diana. Harusnya ini adalah makan malam keluarga. Ajang kumpul dan ngobrol setelah seharian tidak bertemu. Rasanya tidak pantas jika Kahayang yang sudah memutuskan meninggalkan makan malam kemudian membawa salah satunya untuk bersamanya. Diana pasti akan semakin sewot terhadap dirinya karena sang putra harus mengantarnya pulang. Kahayang sedang tak ingin menambah musuh apalagi jika itu seorang ibu. "Saya gak pa-pa, kok. Saya sudah selesai." Deon memaksa dan sudah berdiri. "Aduh, jangan. Jarang-jarang, 'kan kamu dan keluarga bisa berkumpul bersama. Dilanjut saja dulu. Lagi pula tadi saya datangnya sama Sambara jadi pulangnya sama dia lagi aja." Deon memang tersenyum, tetapi di dalam dirinya bergemuruh kekesalan akan kekeraskepalaan Kahayang. Sikap Kahayang menghambat dirinya untuk lebih dekat dengan Kahayang. Apalagi tadi siang ia belum mendapatkan kepastian perasaan Kahayang. "Sambara. Antar Kahayang pulang sampai rumahnya. Pastikan dia masuk ke dalam rumah dengan selamat." Edwin pun bertitah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD