Chapter 60

1682 Words
Kamu anggota keluarga siapa? *** Wajah Kahayang tertekuk lesu. Ia menjadi pendiam dan penurut. Saat Sambara meminta Kahayang memeluk pinggangnya, Kahayang menurut saja tanpa protes. Begitu juga saat Sambara melakukan rem mendadak karena tak melihat ada lubang cukup besar. Kahayang diam saja, hanya mengaduh sedikit. Yang lebih mengherankan Sambara adalah Kahayang menyandarkan kepalanya di punggungnya, seperti seseorang yang lesu kurang darah. Padahal tadi baru selesai makan. Kahayang memang menjadi lesu saat keluar dari ruang makan. Bukan karena ia kehabisan tenaga. Melainkan karena tatapan Deon yang sendu. Kahayang merasa Deon sedang menyalahkan dirinya. Keputusannya memilih pulang dengan Sambara ketimbang Deon, pastinya melukai perasaan lelaki tampan itu. Namun, Kahayang punya alasan. Ia tidak ingin terkesan manja di mata Diana dengan mengambil Deon keluar dari meja makan. Tentunya sang ibu masih ingin menikmati makan malam dengan putra kesayangan yang sudah sedari pagi pergi bekerja. Sesederhana itu pemikiran Kahayang. Ia hanya sedang menjaga perasaan seorang ibu. "Ayang. Yang." Sambara kemudian menepuk-nepuk lembut tangan Kahayang yang melingkar di perutnya. "Ayang." "Ya?" jawab Kahayang dengan suara malas. "Tidur?" "Enggak." "Kok, diam." Tak ada sahutan dari Kahayang selain helaan napas. "Mikir apa?" tanya Sambara penasaran. Helaan napas Kahayang menandakan memang ada yang sedang dipikirkan gadis itu. "Gak enak sama Deon. Padahal dia tadi sudah berdiri." Kini ganti Sambara yang menghela napas. "Terus kenapa tadi bilang mau diantar ama saya?" "Gak enak sama Tante Diana yang mendelik tidak suka. Kalau saya tetep mau diantar Deon, pasti Tante Diana akan semakin sewot ama saya." "Baguslah kalau paham itu." "Deon pasti anak kesayangan Tante Diana." "Begitulah. Katanya anak laki-laki memang kesayangan ibunya dan anak perempuan adalah kesayangan ayahnya." "Sama seperti Gery," gumam lirih Kahayang. Selain anak tunggal, Gery adalah cowok. Sebagai Ibu, Ida begitu protektif terhadap Gery. Setiap Kahayang dan Gery berpamitan keluar, Ida selalu memberikan tatapan sengit. Sama dengan Diana. "Apa?" Sambara tak terlalu mendengar apa yang diucapkan Kahayang. Ia hanya seperti mendengar suara geremang saja. "Apa, Ayang. Kamu omong apa?" "Enggak." Masing-masing kembali diam. Diamnya Kahayang menelusur ke belakang. Ke waktu di mana makan malam di rumah Edwin. Ada dialog-dialog yang beberapa kali membuatnya mengernyit dalam. "Sambara." "Hmmm?" "Tante Diana kenapa begitu tidak sukanya sama kamu?" "Gak tau. Tanya aja sendiri sama orangnya." "Karena adanya kamu ya tanya sama kamulah. Memangnya kamu gak merasa kalau Tante Diana gak suka sama kamu?" "Merasa." "Lalu?" "Lalu apa? Saya sudah biasa." Kahayang mengangkat kepalanya dan menatap punggung Sambara. Ada perasaan iba menyelusup akan jawaban pria yang memiliki punggung tegap itu. Pastinya berat hidup bersama-sama dengan orang yang tidak menyukai diri kita. Kahayang yakin, kalau bukan karena uang, kalau bukan karena pekerjaan, Sambara pasti tidak akan berlama-lama bekerja sebagai asisten Ewin dan tinggal di rumah besar itu. "Menunggu sebentar kan tidak apa, Ma. Sambara kan juga anggota keluarga. Jarang-jarang kita bisa makan sama-sama." "Eh?" Kahayang teringat akan ucapan Deon yang lebih membuat Kahayang bertanya-tanya. "Apa?" Karena tidak langsung mendapat sahutan dari Kahayang, kembali Sambara menepuk-nepuk punggung tangan Kahayang. "Apa, Yang? Ada yang kelupaan?" "Di meja makan tadi...." "Kenapa?" tanya Sambara bingung. "Ada yang ketinggalan di meja makan tadi?" Sambara melambatkan laju motornya. Jika memang ada yang tertinggal, ia bisa putra arah melalui putaran jalan yang tidak jauh lagi. "Deon bilang kamu anggota keluarga. Maksudnya apa?" Dan Sambara beruntung ia memilih mengantar Kahayang pulang dengan sepeda motor. Dengan begini, Kahayang tak perlu tahu bagaimana ekspresinya, apalagi wajahnya tertutup helm rapat yang juga pastinya kepalanya menghadap ke depan. Sambara tentu langsung terkejut. Tadi saat Deon mengatakan itu, Sambara sempat melirik untuk memastikan sikap Kahayang melalui gestur tubuh atau ekspresi wajah. Namun, saat itu Sambara tak melihat sesuatu yang salah. Kahayang terlihat sangat biasa saja, seolah tak peduli. Saat itu, Sambara bersyukur akan keluguan Kahayang. Ternyata ia salah. Kahayang adalah penyimak yang baik. "Mungkin karena saya sudah lama bekerja dengan Bapak Edwin Bimantara. Terkadang, karena sudah terlalu lama tinggal bersama, orang asing pun kan bisa terasa seperti bagian keluarga." "Begitu, ya...." Kahayang mengangguk-angguk dan kembali menyandarkan kepalanya di punggung Sambara. Kahayang sudah tidak memiliki sungkan. Ia sudah menganggap punggung Sambara sebagai hal yang biasa untuk disandar oleh kepalanya. "Ya. Begitu." Sambara mengembuskan napas perlahan. Melepaskan kelegaannya akan penerimaan kahayang. "Berarti..., Deon orang baik." "Ya." Sambara tak yakin dengan pernyataan setujunya. Sebenarnya, seumur hidupnya bersama Deon, ia tak pernah benar-benar memiliki pertengkaran yang berlanjut pada hal yang bisa meretakkan hubungan persaudaraan. Hanya saja, ketika kanak-kanak, di setiap pertengkaran anatara dirinya dan Deon, akan selalua da Diana yang berteriak-teriak marah, dan akan ada ibunya yang langsung menarik dirinya menjauhi Deon. Itu yang membuat ia dan Deon tak pernah memiliki kedekatan yang benar-benar dekat. Hanya agar tak ada teriakan Diana, Sambara selalu dijauhkan dari Deon. Padahal di masa kanak-kanak dan remajanya, sosok Deon adalah seorang laki-laki yang sangat Sambara inginkan menjadi kakak yang sebenarnya. Rasanya bangga saja saat mengatakan pada setiap teman bahwa ia punya kakak laki-laki. Sampai akhirnya sebuah kecelakaan terjadi yang menimpa ayah dan ibunya. Ibunya selamat dan sejak itu ibunya yang biasanya lembut, diam-diam mendidik Sambara untuk lebih kuat dan tegar. Untuk lebih pandai dari Deon. Sambara dididik ibunya untuk berlari lebih cepat dua tahun dalam hal pendidikan agar menyamai Deon. Ibunya kemudian terserang kanker ganas. Di detik-detik akhirnya, sebuah kenyataan mengerikan membuat Sambara hati-hati dalam bersikap. Terhadap Deon pun, dirinya berusaha bersikap biasa saja, tetapi tidak dekat. Karena seperti kata ibunya, Deon pun tahu. "Aduh!" Sambara mengaduh dan meringis. Ia langsung menunduk menatap pada tangan Kahayang yang baru saja mencubit perutnya. "Apa? Sakit cubitanmu ini!" "Ini kamu mau bawa saya ke mana?" "Pulanglah. Mau ke mana lagi?" "Toko bunga sudah lewat!" "Hah!" Sambara langsung menepi dan mengerem motornya mendadak. Kali ini Kahayang yang mengaduh karena kepalanya menyentak dan membentur punggung Sambara. "Awww!" Sambara langsung menoleh ke belakang. Dibukanya kaca helm agar ia memperlihatkan bola matanya yang membulat kesal. "Sakit! Asal main cubit aja," gerutu Sambara yang merasa tidak adil. Ia saja menyadarkan Kahayang dengan tepukan halus, tetapi gadis itu entah sudah berapa kali mencubitnya dengan cubitan kecil dan pedas. Kahayang juga membuka kaca helmnya dan ikutan melotot. "Sakit kepala saya kalau kamu selalu rem mendadak." Sambara diam. Dengan helm begitu, meski benturannya ringan dan mengenai punggungnya, tetap saja ada rasa sakit. "Ya, udah. Kita putar balik." Beruntung jalan besar itu adalah arus dua arah. Tak hanya itu, jarak ke belokan menuju rumah Kahayang juga tak jauh, hanya beberapa meter. "Kamu mikir apa?" tanya Kahayang. "Enggak." "Bohong. Dari tadi saya bicara, kamu gak tanggapin." "Dengar, kok." Sambara berdusta. Ia bahkan tak percaya jika memang Kahayang banyak bicara selagi ia melamun. Jarang-jarang konsentrasinya bisa pecah hingga mengabaikan yang lain. "Memangnya saya bicara apa?" pancing Kahayang. "Ini kan bukan sekolahan yang saya harus diuji." "Harus ada buktinya kamu gak melamun." "Saya gak melamun. Saya fokus. Biar kamu gak ngedumel dengan cara saya emmbawa motor." "Tapi tetap saja fokusmu itu kebablasan." "Memangnya kamu tadi bicara apa?" Kahayang tertawa gurih dan Sambara malu sendiri. Rasa penasarannya yang begitu besar, menjebolkan pertahanannya. "Ada deh, hahaha...." Dasar penyihir minion, batin Sambara yang posisinya jadi kalah. Kahayang buru-buru turun dari motor, setelah motor Sambara berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Sambara pun mematikan mesin dan akan melepaskan helmnya. Tapi Kahayang dengan sigap menghentikan kedua tangan Sambara yang sudah akan melepaskan helmnya. Kedua jemari Kahayang menumpu pada kedua jemari Sambara. Dinginya telapak tangan Kahayang justru menyejukkan Sambara. "Mau apa lepas helm?" tanya Kahayang. Sambara tidak bisa melihat ekspresi Kahayang yang helm berikut kacanya masih melindungi seluruh wajah Kahayang. Ia hanya bisa meraba perasaan Kahayang dari suaranya. Jelas jika Kahayang tak berkenan ia membuka helmnya yang artinya, Kahayang tahu kalau ia akan turun dari motor dan masuk ke dalam. "Gerah," jawab Sambara asal-asalan. "Buka aja kaca helmnya dan kamu melajukan motornya dengan cepat. Angin bisa masuk buat kibas-kibas wajahmu. Kan jadi dingin lagi." Sambara tak bisa menyembunyikan senyum gelinya. Ia menahan agar suara tawanya tak keluar. "Tapi ini helm ini berat. Saya mau lepasin dulu biar bisa regangkan kepala." Sambara kembali akan melepaskan helmnya meski kedua tangannya masih ditahan dengan jemari Kahayang. "Gak boleh. Kamu banyak alasan. Kamu mau masuk ke dalam, 'kan?" Kahayang menahan kuat tangan Sambara. Posisinya sebenarnya mulai terasa sangat tidak nyaman. Selain ia harus menjijit, lama-lama ia merasa tubuhnya semakin maju ke arah Sambara. "Pergi sana! Pulang!" bentak Kahayang yang mulai kepayahan. Sambara melihat bagaimana Kahayang mulai gelisah. Tubuh semungil itu, harus mengulurkan tangan ke arah kepalanya, tentu butuh tenaga banyak yang bertumpu pada kaki yang menjinjit. Tidak tega, perlahan Sambara agak membungkuk dan perlahan juga Kahayang tak lagi menjinjit. "Gak boleh dibuka. Pulang!" bentak Kahayang lagi. Ia semakin kuat menahan jemari Sambara karena posisi berdirinya sudah jauh lebih nyaman. "Gak mau. Saya juga ada janji sama Bapak Edwin Bimantara." "Janji apa?" "Sambara. Antar Kahayang pulang sampai rumahnya. Pastikan dia masuk ke dalam rumah dengan selamat." Sambara mengulang titah opanya dengan sumringah. "Anggap saja kamu sudah melihat saya masuk ke dalam rumah." "Gak mau." "Ya udah. Kamu gak usah lepas helm. Gak usah turun dari motor. Saya sekarang masuk, kamu lihatin aja dari sini." "Gak mau." "Kok, kamu keras kepala, sih?" Kahayang mulai kewalahan menghadapi Sambara yang tidak mau bekerja sama. "Kamu yang keras kepala. Memangnya kenapa kalau saya antar kamu masuk?" Karena nanti Mama heboh, batin Kahayang. "Karena...." "Taunya kalian." Kahayang langsung menoleh ke belakang dan Sambara menatap sosok di belakang Kahayang yang berdiri acuh tak acuh di dekat pagar. Wajahnya terlihat tak peduli. Aling melipat kedua tangannya di d**a. "Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja," ujar Aling yang langsung berbalik masuk menuju rumah. "Mesra?! Kita gak lagi mesra-mesraan!" Sambara langsung melepaskan helmnya. Menyentakkan jemari Kahayang yang sedari tadi menahannya. Telinganya berdengung karena Kahayang berteriak. Gadis itu lupa kalau interkomnya sensitif dan ia berteriak. Kahayang mendelik. Menatap Sambara yang meringis sembari mengusap-usap telinganya. "Kenapa helmnya dibuka?" protes Kahayang. Sambara tak mau bicara. Ia langsung turun dari motornya, menunduk menatap Kahayang dengan tatapan dalam. Membuat Kahayang terpaku dengan kedua tangan yang masih mengambang di udara karena tadi jemarinya terlepas dari helm Sambara. Tanpa tedeng aling-aling, Sambara menyambar salah satu jemari Kahayang. Ia melangkah duluan, santai masuk menuju rumah. Tak peduli meski Kahayang mencoba melepaskan tangannya dan terus ngedumel. Toh, ia tak bisa mendengar jelas ucapan Kahayang karena sudah melepas helmnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD