Chapter 61

2330 Words
Sudah lama aku tak melihat ayah ibu. Sudah tak bisa lagi. *** Dengan lahap, Sambara menikmati makan malamnya. Hanya lauk sederhana, yaitu sayur sop yang isinya hanya wortel dan daun kubis, tempe yang digoreng dengan tepung tipis-tipis, dan sambal. Benar-benar sangat sederhana. Berbanding terbalik dengan makan malam yang baru saja lewat di rumah Edwin Bimantara yang di mejanya terhidang berbagai macam makanan istimewa. Namun, bagi Sambara, makanan di meja makan Kahayang adalah yang paling istimewa. Lahapnya Sambara menikmati makan malam keduanya ini, membuat Lia tak berhenti tersenyum lebar. Ia dan suaminya ikutan lahap menikmati makan malam ala kadarnya itu. Lia semakin bahagia karena berulang kali Sambara memuji makanannya, termasuk sambalnya. Lingga terlihat tak peduli, meski sedikit aneh. Karena yang ia tahu, kakaknya pergi untuk makan malam di rumah Edwin Bimantara. Harusnya Sambara sudah makan. Kahayang yang tidak ikut makan karena merasa masih kenyang, hanya bisa menatap Sambara dengan tatapan tak percaya. Sambara memiliki tubuh yang liat dengan perut yang ketat. Ia tentunya paham tubuh Sambara karena ia sudah memeluk tubuh itu. Memeluk bukan dalam makna yang romantis. Meskipun pernah ada kejadian memalukan yang bisa dikata itu adalah pelukan romantis. "Kamu pelihara Jin, ya?" celetuk Kahayang. "Ayang!" tegur halus Lia. Ia tak suka jika Kahayang terlalu judes pada tamu yang Lia sukai. "Lah, dia tadi padahal sudah makan. Di sini makannya justru kayak orang kelaparan." "Ayang, kamu ini!" Lia menyikut lengan putrinya dengan gemas. "Tadi saya makan sedikit karena harus antar kamu pulang," jawab Sambara yang terlihat tak peduli. Ia tetap menikmati makannya. Kahayang mencebik. Padahal tidak ada keharusan Sambara mengantarnya pulang. "Kalau begitu, di sini makan yang banyak. Habis pun tidak apa. Untuk menebus yang tadi. Ya, 'kan?" Andin berucap sembari terkekeh geli. "Terima kasih, Om." "Lho, kok, Om." Lia berucap dengan nada merajuk. "Karena kamu manggil saya Mama, maka kamu manggil papanya Ayang ini ya Papa." "Betul itu," sahut Andin sembari mengangguk-angguk setuju. "Kok, Sambara diijinkan manggil Mama Papa, kemarin Deon gak ditawari apa-apa," protes Kahayang. "Karena Mama Papa tau mana emas mana kuningan," celetuk Lingga. Lingga sudah tahu siapa Deon dan siapa Sambara dari obrolan dengan satpam di rumah Edwin Bimantara. Sambara sendiri juga sudah mengakui kalau dirinya CEO. Plak! "Aduh! Apa-apaan, sih?" gerutu Lingga sembari mengelus lengannya yang tadi dipukul Kahayang. "Ngomong kok sok tau banget. Lagian, gak boleh menilai orang dengan menyetarakannya dengan hal-hal yang sifatnya materi. Ya, 'kan, Pa?" Untuk yang ini, Kahayang memilih meinta dukungan ayahnya. "Gak boleh begitu, Lingga," tegur Andin yang sepakat dengan putrinya. "Iya. Jangan banding-bandingin orang begitu." Lia pun ikutan menegur. "Ya, ya, ya." Lingga mengangguk-angguk dengan sikap malasnya dan melanjutkan makannya. "Trus, pertanyaan Kak Ayang, jawabannya apa?" tuntut Lingga. Lingga sebenarnya tidak benar-benar ingin tahu. Ia hanya ingin menggoda ibunya. Ia sangat kenal ibunya itu, yang jika sangat menyukai seseorang, maka orang itu akan diminta menyapanya dengan sapaan yang lebih dekat. Masalahnya, ibunya sebagai wanita juga kadang memiliki sisi materialistis. Saat Lia menilai mahalnya jas Sambara, Lia langsung memiliki asumsi tinggi. Karenanya ia memaksa Sambara untuk memanggilnya dengan sapaan Mama. Namun, kemudian cukup mengherankan. Ketika Deon datang dengan sebutan jabatannya dan Sambara mengakui dirinya hanya sebagai asisten pribadi saja, Lia tak bereaksi apa-apa terhadap Deon. "Mama gak mau punya anak banyak-banyak." Jawaban yang singkat yang tidak jelas hubungannya. Tapi jawaban itu mampu membungkam Kahayang yang bingung dengan maksud ucapan ibunya. Sedangkan Lingga hanya tersenyum geli. Ia langsung paham jika ibunya menyukai Sambara apa adanya pria itu. "Banyak dari mana. Gery juga tidak Mama minta panggil Mama dan papa dengan sapaan yang sama," protes Kahayang kemudian yang teringat akan Gery. "Ya, kalau itu masak iya Mama yang minta. Terserah Gery aja kapan dia mau manggil Mama dengan Mama. Kan kalian dah tahunan. Masak iya begitu aja harus Mama tuntun. Lagian, kamu juga manggil mamanya Gery apa Mama juga?" Pertanyaan telak dari Lia, membuat Kahayang terdiam untuk kedua kalinya. Ia pun masih memanggil mamanya Gery dengan sapaan Tante. Seketika Kahayang merasa dirinya jauh dari Gery dan ibunya. Tak ada kedekatan meski hubungan mereka sudah tahunan lamannya. Melihat Sambara begitu menikmati supnya, Andin menawarkan Sambara untuk menghabiskan sisa sup sayur. Sambara dengan malu-malu dan terlihat terpaksa, menolak tawaran Andin. Apalagi semua sudah selesai makan. Ia tidak ingin dibilang rakus. Lia tertawa sembari berdiri dan melangkah menuju rak perkakas makan. Ia mengambil mangkok, kemudian menuangkan sisa sup sayur ke dalam mangkok dan menyodorkannya ke Sambara. "Ayo, habiskan. Mama sedih kalau masih ada makanan sisa." Lia menoleh pada Lingga yang sudah menarik piring tempan tempe goreng. "Tuh, Lingga saja menghabiskan tempenya." Sambara tersenyum senang sekaligus malu. Dia memang menginginkan sup sayur yang gurihnya bikin nagih. Dan beruntungnya ada teman, Lingga. Setidaknya kalau dicap rakus, dirinya tak sendiri. "Rakus," celetuk Kahayang. "Ayang...!" tegur Andin dan Lia bersamaan. "Gak pa-pa Pa, Ma. Makanannya memang terlalu enak. Kalau boleh, apakah saya bisa setiap malam makan di sini. Saya akan bayar biayanya. Berapa pun." Sontak semuanya melongo. Lia dan Andin saling pandang. Kesombongan sebagai sang juru masak, terpancar dari wajah Lia yang tersenyum lebar dan disambung tawa senang dibarengi tawa kekeh Andin. "Memangnya makanan Mama seenak itu, ya?" tanya Lia antusias. "Sama makanan dirumah mewah itu, masih enak punya Mama?" Sambara mengangguk mantap sembari mengacungkan ibu jari. "Terbaik." "Mana mungkin," cibir Lingga. "Di rumah gedongan itu kan yang masak pasti chef-chef handal." "Iya bener. Lebay sih kamu," sambung Kahayang. Mata bulatnya masih saja mengirim sinyal kesinisan untuk Sambara. "Iya. Memang benar kalau di rumah Bapak Edwin Bimantara, yang masak adalah juru masak hebat. Masalahnya, mereka memasak sebagai sebuah kewajiban. Sedangkan Mama Lia, memasak untuk kehidupan. Ada rasa seorang ibu di dalam masakan ini. Sudah lama saya tak merasakan masakan seorang ibu." Semua terdiam. Kata-kata Sambara yang terucap terasa menyedihkan. "Pasti berat jauh dari orang tua, bukan?" tanya Andin. Ia menduga kerinduan Sambara adalah karena jauh dari orang tua. Sambara menunduk dan tersenyum tipis. "Iya. Begitulah." "Kalau sudah terlalu lama tidak melihat orang tua, mintalah ijin untuk pulang. Masak iya gak diberi ijin barang sehari dua hari," ujar Lia. "Kedua orang tua saya sudah meninggal." Perasaan tak enak menyergap. Masing-masing mulai salah tingkah. Rasanya benar-benar tak baik ketika menanyakan sesuatu dan dijawab dengan jawaban yang suram. "Maaf. Kami tidak tahu, Bara." Andin yang duduk di dekat Sambara, menepuk-nepuk ringan pundak lelaki itu. "Tidak apa-apa, Papa Andin. Orang tua saya tiada juga sudah lama. Papa saya meninggal karena kecelakaan di usia saya baru lima tahun. Sedangkan ibu saya meninggal saat saya berusia tujuh belas tahun." "Dan setelah orang tuamu tiada, kamu masih bisa bangkit dan menjadi seperti ini. Saya kagum denganmu. Saya suka laki-laki yang tidak cengeng. Laki-laki sepertimu, dalam keadaan yang bagaimana pun, pasti akan bisa bertahan." Andin melontarkan pujiannya dengan berkaca pada dirinya sendiri. Ia pun sudah yatim piatu saat masih muda. Ayahnya meninggal karena menanggung beban rasa bersalah yang begitu besar dan ibunya meninggal karena tidak sanggup menghadapi hidup di kemudian hari yang semakin berat. "Aduh, kenapa jadi begini melo. Ayo, Sambara habiskan supnya. Lingga cepat makan tempenya. Ayang, angkat piring-piring kotor," perintah Lia, membuyarkan aura sedih yang sempat melingkupi semua orang. "Kok, saya. Kan saya gak makan," protes Kahayang. "Kamu gak makan. Tapi kamu duduk di situ. Ayo, cepat." Lia bergegas ke belakang sebelum Kahayang melontarkan segala macam protesnya. Lia bisa saja menanggapi, tetapi kan ada Sambara. *** Sisa waktu makan malam selepas kepulangan Kahayang dan kepergian Sambara mengantar Kahayang, menjadi makan malam yang dingin. Selalu begitu. Makan pagi, siang, atau malam, jika ada Diana, maka ruang makan menjadi sangat bisu. Sesekali memang akan ada dialog, tetapi bukan dialog yang menyenangkan. Diana dan Edwin akan saling melontar kata-kata sindiran yang berujung pada kemarahan salah satunya. Edwin Bimantara terlihat sudah tak selera lagi. Tanpa banyak bicara, ia keluar dari kursinya. Diikuti Supeno, Edwin meninggalkan ruang makan. Tersisa keluarga utuh Diana Bimantara; suami dan keduan putra putrinya. Setelah beberapa saat keluarnya Edwin, Deon meletakkan sendok garpunya dengan kasar. Mengejutkan semua. Dengan sengaja ia menatap ibunya. "Apa? kenapa kamu melotot begitu?" tanya Diana tidak suka. "Mama ingin saya bagaimana?" Deon bicara dengan suara dalam dan tegas. Raut wajahnya menyiratkan kekesalan yang tak ditutupi. "Maksudnya?" "Sayembara ini. Mama maunya saya bagaimana?" "Kamu seharusnya sudah tahu harus bagaimana. Masak iya Mama perlu mengarahkanmu harus bagaimananya." "Jadi, Mama serahkan ini ke saya, 'kan?" yanta Deon untuk menegaskan maksud pernyataan ibunya. "Iyalah," jawab Diana mulai kesal jika Deon bertindak sok kuasa padahal statusnya adalah anak. "Dan mama ingin saya berhasil, bukan?" "Pastinya." "Kalau begitu, kenapa Mama bersikap seperti tadi?" "Seperti tadi bagaimana, sih? Memangnya Mama tadi ngapain?" bentak Diana. "Seperti ini!" balas Deon lebih keras yang membuat Diana langsung menciut. "Mama berbicara dengan suara tinggi, dengan kalimat-kalimat sarkas dan menyindir keras. Mama ingin memberikan pencitraan apa, sih pada Kahayang? Kalau Kahayang berpikir Mama adalah seorang ibu yang nyinyir, apa menurut Mama, Kahayang mau sama saya?" Diana benar-benar tersudut. Pertanyaan Deon adalah sindiran yang nyata. Tidak bisa menjadi argumen. "Ini kompetisi, Ma. Saya sendiri nothing to lose. Ini kan kemauan Mama. Kalau Mama ingin ini semua menjadi kemenangan Mama, maka mama harus bisa menjaga diri. Mama harus berubah. Tahanlah sikap Mama yang seperti tadi." "Halah, sudah! Malah kamu guruin Mama." Diana meletakkan sendok garpunya dengan kasar. Tanpa minum, ia langsung berdiri dari kursinya. Ia tak sudi diceramahi anak sendiri meskipun itu sifatnya positif. "Mama!" Suara Deon yang meninggi, menghentikan langkah Diana. Deon langsung keluar dari kursinya dan menghampiri ibunya. "Malam ini Mama renungkan apa mau Mama. Jika saya adalah jalan Mama untuk mencapai tujuan, maka Mama harus ikuti aturan main saya." Mata Deon sangat bengis menatap ibunya. Diana mengenali putranya yang keras itu. Dibalik tampilannya yang terkesan manis dan lembut, sebenarnya dalam diri Deon menyimpan smecam bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak. Diana ingat bagaimana saat sekolah Deon meminta mobil yang dimiliki Lucy. Karena tidak diberikan, Deon memenggal kucing peliharaan Lucy. Sejak itu di rumah tak ada peliharaan hewan. Beruntungnya saat kejadian, mereka tinggal di rumah terpisah, jadi Edwin tak punya penilaian buruk akan Deon. Tanpa menunggu reaksi ibunya, Deon berbalik meninggalkan ruang makan. "b******k! Anak kurang ajar! Anak setan! Berani-beraninya ngatur saya. Saya ini ibumu, Setan!" Lucy dan Roy pura-pura tak melihat tak mendengar. Keduanya tetap saja melanjutkan makan dengan menu hidangan penutup. Di kamarnya, Deon mondar-mandir gelisah. Deon adalah seorang penuntut sekaligus pejuang yang militan juga ekstrem. Tapi itu jika ia memang sudah membuat keputusan. Untuk sayembara yang diadakan opanya, awalnya Deon adalah seorang yang biasa saja. Ia tak punya ambisi yang sangat besar. Karena memiliki harta berlimpah dan menjadi penguasa bukan keinginannya. Ia hanya ingin menikmati hidupnya bersama hasrat tersembunyinya. Ia menyukai hal-hal yang harus membuatnya mengeluarkan keringat dan berdebar-debar. Ia menyukai hal-hal yang bisa memicu adrenalinnya. Bukan hal-hal yang baginya lembek. Hanya duduk di balik meja, putar otak sedikit, dan kemudian banyak leha-leha. Ia punya hobi sendiri yang setiap saatnya menuntut transformasi. Menuntut perbaruan. Hal-hal yang gila yang dunia tidak tahu. Ah, masih ada yang tahu perihal hobi dan kesenangannya itu. Namun baginya tak masalah. Itu ibarat kecoa yang dengan mudah bisa ia injak. Tapi, saat ini Deon sudah membuat keputusan. Dan ia harus mencapai keputusannya itu dengan cara apapun itu. Deon memeriksa jam tangannya. Rasanya sudah terlalu lama Sambara mengantar Kahayang. Deon mengikat dirinya untuk tidak mengirim pesan dulu atau menelepon dulu. Tapi, semakin lama waktu bergulir, Deon menjadi tidak tenang. Ia pun menyerah dan memilih menelepon Kahayang. Untuk pertama kalinya Deon gugup. Jantungnya berdetak sangat kuat. Dari yang wajahnya kusut, perlahan berubah menjadi senyum senang. Perasaan gugup disertai detak jantung yang kuat adalah edorfin bagi dirinya. Perangsang gairah. Kesenangan yang paling hakiki. Ternyata, bermain dengan sayembara ini, adalah hal lain sebagai pemuas hobinya selain tidur dengan wanita. Deon memutuskan kalau ini tak lagi menjadi sekedar tujuan, melainkan permainan barunya yang paling istimewa. "Halo. Deon." Suara Kahayang menghentikan degup jantung yang paling disukai Deon. "Ayang. Baru sampai?" "Sudah dari tadi. Tapi, Sambara tadi makan di sini." Ekspresi Deon langsung kaku. Salah satu kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan gelisah. "Oh, ya? Wah, makan banyak rupanya." Suara Deon masih dibuat sama. Ia harus terdengar biasa dan manis. "Rakus sih itu namanya. Mana Mama malah menawarkan dia untuk menghabiskan sup sayurnya." Terdengar sudah sangat akrab. Posisi poin yang berbahaya. Sambara bahkan sudah masuk di rumah keluarga Kahayang. "Wah. Enak, ya jadi Sambara. Coba tadi saya, kamu ijinkan mengantar pulang." Deon merubah suaranya menjadi lebih lirih agar Kahayang merasa bersalah. "Maaf. Tapi, tadi saya gak enak sama Tante Diana. Lagi pula, kamu kan seharian kerja. Pasti Tante Diana ingin makan malam sama kamu." "Saya akan punya banyak waktu dengan Mama. Tapi saya punya sedikit waktu untukmu dan mengenal keluargamu." Tak ada sahutan. Deon hanya bisa menduga kalau Kahayang akan sama seperti wanita lain yang akan termenung karena merasa telah berbuat salah. "Maaf. Lain hari kan kamu bisa main ke sini." Deon tersenyum. Sudah seperti dugaan, Kahayang akan merasa bersalah berulang-ulang. "Memang boleh?" "Bolehlah." "Kalau begitu, besok malam, saya ingin main ke rumahmu. Oke?" "Hah? Besok?" "Iya." Deon semakin kegirangan. Jelas baginya Kahayang salah tingkah. Gadis itu memang perlu diterjang. Mumpung hatinya sedang dilema. Penembakan rasa pada Kahayang, sudah menunjukan bagaimana gadis itu terombang-ambing antara menerima dirinya dan menngkhianati kekasihnya atau melepaskan dirinya. "Gak boleh, ya?" Deon merubah nada suaranya. "Oh. Boleh, boleh." "Jam berapa kamu tutup toko?" "Jam delapan malam." "Saya jemput kamu besok, ya." "Iya." Setelah basa-basi, telepon pun dimatikan dengan membawa kesenangan bagi Deon. Di kamarnya, Kahayang justru terlihat gelisah. Sambara mengajukan untuk setiap malamnya makan malam di rumahnya dan orang tuanya setuju untuk itu. Bukan perihal uang, kata ibunya, karena toh orang tuanya sudah menolak ajuan pembayaran dari Sambara, yang kemudian diterima karena Sambara memaksa. Ini adalah tentang kemanusiaan, kata ibunya lagi dengan gaya bijaksana. Sambara yatim piatu, makanan rumah pastilah yang paling dirindukan. Menjadi pikiran Kahayang adalah bagaimana besok malam jika Deon bertemu dengan Sambara. Ada perasaan khawatir Kahayang untuk Deon. Ia khawatir Deon akan  cemburu. "Ah, sudahlah. Bodo amat. Kalau ketemu ya ketemu saja. Lagian kalau Deon cemburu, kenapa? Kan saya bukan siapa-siapanya." Kahayang merebahkan tubuhnya dengan kasar dan menarik selimutnya. Matanya dipejamkannya rapat. "Tapi..., Deon baik. Jauh lebih baik dari Gery...," gumam lirih Kahayang sebelum ia tertidur. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD