Chapter 62

2095 Words
Kepercayaan sedang dikhianati. *** Pagi penuh semangat. Langkah Sambara terasa ringan, melangkah cepat menuju lift. Beberapa karyawan segera memberi jalan, memberi salam, dan mengangguk sopan. Semua dibalas Sambara dengan senyum atau anggukan kecil. Beberapa karyawan wanita langsung sumringah setiap mendapat tanggapan manis dari Sambara. Mereka langsung berkasak-kusuk, membanding-bandingkan Sambara dengan sosok Deon. Keduanya sama-sama tampan dengan keunikan paras yang khas. Sambara memiliki wajah dengan rahang yang tegas, membuatnya terlihat sangat maskulin khas laki-laki. Sambara bukan pria yang setiap harinya mencukur wajah agar selalu terlihat mulus. Ia bahkan sering kali lupa, membuat bagian atas bibir dan dagunya sering terlihat biru gelap. Membuat tampilan Sambara sangar yang benar-benar laki-laki. Karenanya, sekalinya Sambara tersenyum, semua langsung merasa takjub. Deon memiliki wajah sedikit oval dan lembut. Ia menjadi sosok yang sangat manis dengan wajah kalemnya. Deon termasuk seorang yang menjaga penampilan dirinya, terutama wajah. Ia selalu mencukur bersih bulu-bulu halus di atas bibis dan dagu. Wajahnya benar-benar licin bak model. Sosok Deon adalah tampilan sempurna untuk lelaki tampan penuh kharisma simpatik. Sayangnya, Deon jarang sekali tersenyum pada bawahan. Kalau pun ada yang menyapa dan orang itu memiliki jabatan tinggi, Deon hanya mengangguk kecil saja. Ini yang membuat orang segan dekat dengan Deon. Berbanding terbalik dengan Sambara yang meski sosoknya sangar, tetapi Sambara jarang mengabaikan orang kecuali ia sedang sangat fokus. Sambara akan menyempatkan membalas perhatian orang terhadap dirinya. Keluar dari lift, Desi; sekretarisnya dan Paul; asisten pribadinya, bergegas menghampiri Sambara. "Ada Pak Azka di dalam, Pak," ujar Desi. Sambara langsung melihat jam tangannya. "Sepagi ini? Tumben." "Wajahnya terlihat gelisah, Pak. Saya sudah tanya sekiranya ada sesuatu. Beliau bilang tunggu Pak Sambara datang," ucap Paul. Usia Paul lebih tua dari Sambara. Lelaki itu memasuki usia empat puluh akhir. Sambara bergegas menuju ruangannya. Begitu ia masuk, Azka yang sedang menatap keluar melalui jendela kaca, segera berbalik. Tak ada senyum seperti biasanya. Sambara langsung memahami bahwa ini ada sesuatu yang terjadi. "Des, apa saya ada pertemuan penting pagi ini?" "Tidak ada, Pak. Selain Bapak ada rencana kunjungan ke cabang. Tapi, itu masih rencana belum dikonfirmasikan. Sehari ini Bapak bisa pakai waktunya, jika diperlukan," jawab Desi profesional dan taktis. "Jangan biarkan siapa pun masuk dulu. Kalian silahkan keluar." "Sepertinya kita perlu Pak Paul untuk tetap di sini." Azka bicara dengan tatapan serius. Ia kemudian melangkah mendekati sofa tamu. Sambara dan Paul saling pandang, bingung akan situasinya. Mereka sempat berpikir kalau ini akan menjadi pembicaraan antar teman, sesuatu yang sifatnya pribadi. Tapi, sepertinya mereka salah. Jika sampai Paul harus terlibat dalam pembicaraan antar dua sahabat, maka kemungkinan terbesarnya adalah ini pembicaraan terkait perusahaan. Desi segera keluar. Selain karena ia tidak diminta tinggal, ia juga mulai memahami jika ada sesuatu yang sangat serius untuk dibicarakan. Lagi pula untuk sementara tugasnya selesai, tugas selanjutnya adalah menjaga pintu dan lobi agar tak ada orang lain yang tiba-tiba masuk ruangan Sambara. "Ada apa ini?" tanya Sambara yang kemudian ikut duduk di sofa tamu sedangkan Paul tetap berdiri di sisi Sambara sampai Sambara mempersilakan Paul untuk duduk di dekat Azka. Azka menyalakan laptopnya. Setelah beberapa saat, ia kemudian memutar laptopnya agar menghadap Sambara. Di layar terpampang lebar sebuah laptop berwarna abu metalik. Terkesan sangat ramping dan elegan. Ada logo yang familiar dengan tulisan "Buzz". Itu adalah merek dagang untuk setiap teknologi yang dikeluarkan oleh anak perusahaan Edwin Bimantara yaitu Perusahaan Ed Tech. "Geser gambarnya," pinta Azka yang dituruti Sambara. Gambar laptop itu berubah menjadi semacam tablet dengan layar yang penuh. Sambara menduga laptop ini dwi fungsi, kecanggihannya adalah engsel pada laptop yang bisa dibalik menjadi tiga ratus enam puluh derajat. "Ed Tech akan menciptakan ini? Kok saya gak tau?" Sambara menatap Paul. "Kamu tahu sesuatu Pak Paul?" "Ed Tech akan mengeluarkan apa, Mas? Boleh saya lihat?" Sambara memutar laptopnya, dengan bantuan Azka, laptop Azka sekarang berada di hadapan Paul. Pria itu langsung menggerakan jemarinya. Ia mulai serius menatap layar laptop Azka. "Bagaimana, Pak?" tanya Sambara tidak sabar. "Saya tidak mendengar apa-apa, Mas. Tapi, jika Ed Tech sudah yakin dengan simulasinya, tentunya pusat akan tahu. Bukankah selalu ada pertemuan berkala untuk mendiskusikan perkembangan atau inovasi teknologi yang sedang dilakukan dari perusahaan Ed Tech?"  "Tapi laptop itu sudah ada logo "Buzz". Bagaimana kita sampai tidak tahu ap-apa?" Sambara mulai tidak suka dengan situasinya. Ia merasa kecolongan. Perusahaan yang bergerak di bidang teknologi itu, berada di bawah kepemimpinan Roy. Bahkan meski sekarang mereka serumah, Roy tidak ada memberikan kisi-kisi perihal produk terbaru Ed Tech. Begitu juga Deon dan Diana. "Ehem." Azka menyela dengan berdeham. "Ini adalah masalah serius jika kamu sampai tidak tahu apa-apa. Dan ada lagi yang lebih serius." "Apa?" kening Sambara berkerut dalam. "Ide tentang laptop ini adalah milik kami." Sambara dan Paul melotot. Keduanya sama-sama tercengang dengan pernyataan Azka. "Bahkan kami sudah dalam proses akhir. Hanya menunggu beberapa bulan lagi untuk hasil final." "Persis seperti ini?" tanya Sambara. "Sembilan puluh persen, iya. Bahkan spesifikasi untuk dimensi layar dan kamera pun sama." "Kamu dapat ini dari siapa?" "Sebuah kebetulan. Sesama ahli di bidang teknologi, sedang makan-makan, mabuk-mabukan, dan keluarlah ini. Seorang ahli dari Ed Tech menertawakan ahli kami karena terlalu lambat dalam berproses. Ia bilang kalau laptop ini hanya menunggu beberapa bulan saja untuk peresmian dagang. Ia yakin proses cepat karena teknologi dwi fungsinya yang mutakhir akan di ACC olehmu. Saat ditanya dari mana mendapatkan ide ini, ia menyebutkan bahwa ada yang berkhianat dan Ed Tech menawarkan berkali-kali lipat. Untuk yang ini, kami sedang mengusutnya." Sambara menjilat bibirnya yang terasa kering. Ia bersandar dengan perasaan bingung. Ia sudah ditusuk dari belakang. Ini akan menjadi skandal yang menggemparkan. Saling tuding dan saling serang yang berlanjut pada jalur hukum, akan menjadi proses panjang. Pihaknya tak hanya dituntut perihal pencurian ide, plagiasi, tetapi juga pencurian rahasia dagang. Akan banyak pasal berlapis. Azka tidak tega melihat ekspresi sahabatnya. Ia sangat yakin akan kredibilitas sahabatnya dalam menjalankan perusahaan sebesar Edwin Bimantara grup. Sambara sejak dulu adalah orang yang teguh pendirian dia sangat menjunjung kehormatan dan harga dirinya sendiri. Sangat mustahil bagi Sambara sampai melakukan hal nista untuk kemajuan perusahaan apalagi untuk menguatkan kedudukannya sebagai CEO. Azka sudah menyelidiki jika perusahaan itu dalam pegangan suami tante tiri Sambara. Dan Azka sudah memahami polemik keluarga Sambara karena mereka sudah bersahabat sejak jaman sekolah. "Kamu sedang ditusuk Sambara." Pemikiran Azka sama dengan Sambara. "Ini bukan sekedar peluncuran produk baru yang serupa. Ini tentang menjatuhkan. Kedudukanmu sebagai CEO sedang diancam." Sambara mengangguk lemah sembari berpikir. Dengan sengaja Ed Tech mencuri ide, mengembangkan dan meluncurkan tanpa sepengatahuannya. Tujuannya sudah jelas, saat ada tuntutan dari pihak Blenda Grup, maka yang menjadi penanggung jawab adalah dirinya. Sedikitnya Sambara bersyukur ini segera ia ketahui. "CEO Blenda Grup, bukankah Adelard Blenda?" tanya Paul tiba-tiba. "Ya. Itu kakak saya," jawab Azka. "Hmmm.... Tak hanya menjatuhkan, tapi juga berniat merusak sebuah pertemanan." Sambara diam. Paul benar, andai Azka tak mengenali dirinya dengan baik, tentunya Azka akan marah besar padanya. "Saya sangat percaya pada Sambara, Pak. Karenanya, setelah tadi pagi saya tahu tentang ini, saya langsung kemari." "Terima kasih," ucap Sambara tulus. Ia benar-benar berterima kasih memiliki sahabat yang percaya pada dirinya penuh. "Santai aja. Masalahnya, kamu akan mengambil langkah apa?" tanya Azka. "Saya mohon bantuannya Azka." "Apa?" "Kamu menyelidiki perihal siapa sebenarnya yang membocorkan ide dan memberikannya pada Ed Tech. Kumpulkan buktinya dan tolong berikan pada saya secara berkala. Saya sendiri akan menyelidiki ini semua dan akan menginformasikannya padamu." "Kita barter?" "Begitu?" Azka terkekeh. "Kamu yang tenang begini yang saya suka." "Kamu yang percaya pada saya adalah yang paling saya hargai. Terima kasih lagi." Kedua sahabat itu saling tersenyum penuh makna. Persahabatan yang akan sulit dihancurkan ketika masing-masing saling percaya dan saling membantu. Paul benar, pihak Roy sudah salah memilih tameng. *** Rutinitas Kahayang dan Elis di pagi hari adalah menata bunga-bunga hidup. Mensortir bunga-bunga yang sudah mulai layu dengan bunga-bunga yang masih segar. Mencatat data bunga hidup yang sudah tidak bisa diselamatkan dan saling mengingatkan untuk melakukan pemesanan stok bunga. Saat Kahayang dan Elis berbicara, pintu toko dibuka dengan kasar hingga bunyi bel kecilnya berdenting aneh seperti kesakitan. Ida masuk dengan wajah marah. Ia langsung berdiri di hadapan Kahayang yang berada di balik meja kasir. Ida menggebrak meja dengan sangat keras membuat Kahayang dan Elis menjingkat kaget. "Kamu, jadi perempuan jangan ngelunjak!" Ida menunjuk-nunjuk wajah Kahayang dengan jari tekunjuknya. "Sudah dikasih hati malah nuntut jantung!" "Tante, kenapa, ya?" tanya Kahayang dengan suara bergetar. Ia masih syok dan bingung. "Kenapa, kenapa. Gak usah sok lugu kamu. Kamu mungkin bisa mengelabui Gery karena dia memang anak yang baik dan polos. Tapi, kamu gak bisa mengelabui saya!" Kahayang menggigit dalam bibir bawahnya sembari menatap Elis. Ia panik karena toko sudah buka. Khawatir ada pelanggan masuk dan melihat keributan yang dibuat Ida. "Tante Ida. Kita bicara di dalam saja, ya," ajak Elis yang kebetulan berdiri di dekat Ida. Ida menoleh sengit pada Elis. "Kenapa? Kamu tidak suka sepupumu ini saya beginiin? Dia ini memang pantas dipermalukan seperti ini!" "Sebenarnya ada apa Tante?" Kahayang berdiri dari kursinya. Niatnya akan keluar dari meja kasir. "Diam di situ!" bentak keras Ida. "Saya jijik didekati kamu yang seperti ular." Kahayang terpaku ditempatnya. Ia akhirnya memilih diam saja. Toh, setiap pertanyaan justru dijawab makian yang semakin tidak jelas maksudnya. Kahayang mencoba menerka, tetapi tetap saja tidak bisa. "Ayang, dengar ya, Gery itu anaknya polos. Dia itu sangat penurut. Hanya ular yang bisa menjeratnya dan itu kamu. Ingat kata-kata saya ini, ya. Dengarkan dan ingat! Kalau sampai kamu hamil sebelum menikah, jangan sekali-sekali kamu meminta pertanggung jawaban Gery!" Kahayang dan Elis melongo. Tak bisa berkata-kata apalagi berpikir. Kemarahan yang tidak jelas, berlanjut apda ultimatum yang semakin tidak jelas. "Tapi, saya tidak hamil, Tante." "Belum! Makanya saya peringatkan kamu!" "Kenapa Tante berpikir Kahayang akan hamil sebelum nikah, Te?" tanya Elis yang penasaran. "Bodoh kamu! Laki-laki dan perempuan kalau sudah tidur bersama, kamu pikir Cuma tidur?" "Maksud Tante, Kahayang dan Gery tidur bersama?" "Memang begitu, 'kan? Jangan-jangan yang semalam itu bukan yang pertama. Pantas Gery bisa betah sama kamu sampai lima tahun lebih. Pasti karena kamu sudah membuat Gery meniduri kamu." "Astagas! Ya, Tuhan!" Kahayang memekin sembari menutup mulutnya. Tuduhan yang menyakitkan sekaligus tak berdasar. "Memangnya semalam kenapa, Tante?" Elis berusaha bertanya kalem karena sepertinya Ida bisa ditanyai dengan lembut. "Kamu gak tau? Sepupumu ini semalam sudah menjerat Gery untuk tidak pulang ke rumah. Dan gery baru pulang paginya." Kembali Kahayang memekik kecil. "Gery tidak pulang? Semalam, Gery tidak pulang?" Ida mengerjapkan mata dengan pertanyaan Kahayang. Melihat ekspresi gadis itu, seketika Ida merasa ia sedang salah menuduh. "Gery ke mana, Tante?" tanya Kahayang. Ida menelan liurnya. Ia gelisah. Ia semakin yakin dirinya salah. Gery pulang ke rumah jam enam pagi. Semalaman ia gelisah dan mencoba menelepon Gery tetapi ponsel Gery dalam keadaan mati. Ia juga mencoba menelepon Kahayang juga ibu Kahayang, tetapi tidak ada yang angkat. Saat pulang, Gery bilang kalau ia tidur di rumah teman dengan alasan lembur dan kelelahan pulang. Namun, Ida terus mencerca Gery semalam menginap bersama Kahayang di hotel. Karena Gery tak menanggapi, Ida mengancam akan mencari tahu sendiri ke tempat Kahayang. Gery langsung marah dan itu membuat Ida sakit hati. Apalagi sebelum masuk mobil, Gery mengancam Ida, kalau sampai ibunya itu melabrak Kahayang, maka Gery akan benar-benar sangat marah. Kini ia sudah melanggar pinta anaknya. Ia melabrak Kahayang. Konyolnya, gadis itu malah tidak tahu apa-apa. Ini artinya, Gery memang benar menginap di tempat lain. Mungkin memang benar putranya itu kelelahan dan menginap di rumah temannya. Ida tidak mau menjelaskan apa-apa. Ia juga enggan minta maaf. Tanpa banyak bicara, seperti kedatangannya yang bak angin taufan, Ida pun keluar toko secepat kilat. Meninggalkan tanya bagi Kahayang dan Elis. "Gery menginap? Di rumah siapa?" tanya Kahayang lirih. Wajah syok nya belum pudar. Elis buru-buru mendekati Kahayang, menuntun gadis itu untuk duduk. Pasti Kahayang lemas. Ia sudah dikata-katai, difitnah, dan kemudian ditinggal begitu saja dengan kebingungan akan kenyataan baru bahwa Gery semalam tidak pulang dan dia menginap entah di mana. "Tenang, Ayang. Coba kamu telepon Gery dan tanya." Tring! Denting pintu toko berbunyi. Ida muncul lagi dengan napas terengah. "Awas kalau kamu bilang Gery, saya datang ke sini! Gak usah cari-cari perhatian apalagi mengadu domba saya dengan anak saya. Paham!" Bagai dihipnotis, Kahayang hanya mengangguk-angguk saja. "Semalam Gery kelelahan katanya. Dari pada menyetirnya gak konsentrasi, ia menginap di rumah temannya. Sudah,ya." Dan Ida kembali berbalik keluar meninggalkan toko bunga. Tak ada yang bicara. Kahayang dan Elis benar-benar terpaku. Ida seperti memiliki indera keenam. Belum juga Kahayang mengkonfirmasi dengan Gery, Ida sudah kembali masuk. "Saya kira, Tante Ida punya kembaran tak kasat mata yang ketinggalan di sini," ujar Elis sembari mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan dengan bergidik ngeri. "Saya telpon Gery atau tidak?" tanya Kahayang kebingungan. Hatinya bergejolak pada muara rasa yang sama, yaitu curiga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD