Chapter 63

2302 Words
Jadi dia menginap di mana? *** Deon bersama seorang stafnya terus bicara bergantian perihal review dan hasil akhir perangkat olahraga yang terbaru juga mutakhir. Kelebihan dan kekurangan produk disampaikan secara gamblang dengan simulasi dari laptop di hadapan Sambara. Poinnya Deon puas dan antusias dengan produk alat olahraga yang akan diluncurkan oleh salah satu anak perusahaan yang fokusnya pada produk kesehatan. Sambara tidak sepenuhnya konsentrasi, meski ia sudah memahami konsepnya. Harus ia akui, Deon adalah seorang yang teliti dan serius atas setiap proyek produksi di perusahaan. Tak ada keraguan jika sudah dalam pantauan Deon. "Bara...?" tegur Deon halus. Deon memerhatikan jika Sambara beberapa kali seperti hilang fokus. Ia mulai prasangka jika Sambara tidak tertarik. "Apa ada yang tidak berkenan?" Paul berdeham, isyarat agar Sambara fokus. Paul memahami gejolak yang sedang dirasakan Sambara, namun ini masih dalam suasana kerja dan Deon datang untuk membicarakan hal terkait pekerjaan; usaha. "Sepertinya alat ini lebih cocok untuk profesional seperti atlet." Sambara mengucapkannya dengan sangat santai. Menunjukkan kemampuannya menguasai keadaan. Jangan sampai lawan mengira apa yang ingin dikiranya. Jika Deon berpikir ia tidak fokus, Sambara harus bisa menunjukkan kalau ia fokus. "Progran pelatihan interval dan program CPR apa diperlukan bagi mereka yang menggunakan treadmill sebagai alat sekedar sehat saja?" tanya Sambara. "Target pasar kita memang pada dua tipe pengguna itu. Bagi profesional, program  pelatihan interval dan program CPR diperlukan. Dan bagi pengguna biasa, permukaa alat ini mampu beradaptasi dengan mengidentifikasi karakteristik gaya berlari atau berjalan. Sebagai contoh, permukaan dapat berubah lembut untuk menyerap daya kejut dan mengurangi risiko cedera bagi pelari pemula, dan berubah menjadi lebih mantap dan kuat untuk pelari ahli guna mengaktifkan daya tekan yang ringan." Sambara mengangguk-angguk. Target pasar yang luas. "Sesuaikan strategi dan budget-nya." Deon dan stafnya tersenyum lebar. Sambara sudah menyetujui alat kesehatan baru yang akan diluncurkan ini. "Kapan simulasi?" tanya Sambara. "Tiga atau empat minggu ke depan. Saya akan mengadakan meeting dulu dengan mereka," jawab Deon. "Oke. Informasikan berkala dengan saya. Terutama detailnya." Deon mengangguk. "Kalau begitu, saya kembali ke ruangan." "Terima kasih, Deon. Silahkan." Sambara menatap punggung Deon yang menjauh menuju pintu. Keinginannya kuat untuk bertanya. Ia merasa ini kesempatannya untuk melihat reaksi Deon. "Deon." Deon urung membuka pintu. Ia memutar tubuhnya. "Ya?" "Apakah Ed Tech akan meluncurkan teknologi laptop terbaru?" Deon terlihat berpikir. Ia menoleh pada stafnya yang dibalas gelengan keceil. "Saya belum ada informasi. Kenapa?" tanya Deon. "Tidak. Tidak kenapa-kenapa. Hanya saja sepertinya sudah lama tidak ada informasi baru." "Akan saya tanyakan." "Terima kasih," ucap Sambara. Deon mengangguk dan keluar ruangan, meninggalkan tanda tanya besar bagi Sambara. Ia berspekulasi akan ekspresi dan jawaban Deon yang benar-benar natural. Sambara tidak yakin jika Deon benar-benar tidak tahu, tetapi ekspresi sepupu tirinya itu jelas-jelas menggambarkan ketidaktahuan. "Bagaimana menurut Pak Paul?" tanya Sambara. Paul adalah seorang yang sangat cerdas sekaligus peka. Tak perlu penjelasan panjang apa yang ditanya Sambara, ia sudah tahu. Sambara pastilah menanyakan perihal Deon dan keterkaitan Deon dengan Ed Tech yang notabene di bawah pinmpinan Roy; ayah Deon. Apalagi tadi Sambara sudah melempar pertanyaan pancingan. "Saya merasa Mas Deon memang tidak tahu," jawab Paul. "Oh, ya?" "Mas Deon tahu pertemanan Mas Sambara dengan Mas Azka, yang pastinya Mas Deon sudah tahu latar belakang Mas Azka. Jika pihak Ed Tech akan melakukan itu melalui Blenda Grup, tentunya Mas Deon akan mencegah." "Jadi Deon tidak tahu. Mereka bergerak sendiri." Untuk menjatuhkan saya, lanjut Sambara dalam hati. "Apa yang akan Mas Bara lakukan?" "Kumpulkan saja dulu semua informasi. Kita tidak bisa grasa-grusu. Pak Paul pahamlah siapa dibelakang pemimpin Ed Tech." Paul mengangguk. Diana Bimantara tentunya akan mati-matian menjaga dan melindungi suaminya. Tak hanya itu, perang besar bisa saja terjadi jika Sambara maju dengan gegabah. Sambara menarik napas panjang dan dalam. Ia melihat jam tangannya. Sebentar lagi waktu jam makan siang. Rasanya ia butuh hiburan sekaligus kenyamanan. "Saya keluar makan siang. Pak Paul tolong bereskan sisanya, ya." Paul tersenyum dan mengangguk. *** Sepanjang hari, Kahayang tidak bisa benar-benar tenang. Pikiran dan hatinya terus bergulat perihal Gery. Perasaannya mengatakan bahwa ada yang salah dengan Gery. Namun, pikirannya menahannya berprasangkan karena Ida sudah menjelaskan sebagai bagian meluruskan salah paham. Rasa tidak percayanya terhadap Gery, menahannya berpikir positif. Lelaki itu sudah banyak berubah. Sikapnya justru seperti tarik ulur tidak jelas. Tiba-tiba perhatian dan tiba-tiba tidak jelas. Gery juga sangat sudah dihubungi.  Sekalinya bisa dihubungi, Gery terdengar seperti harus buru-buru pergi. Teringat kejadian saat ia mendatangi kantor Gery, setelah pulang mengantar bunga untuk Azka. Pria itu tadinya mengatakan sibuk dan Kahayang berinisiatif membawakan makan siang. Tapi, alih-alih Gery senang, alih-alih melihat kekasihnya itu serius bekerja, Gery justru melangkah cepat meninggalkan kantor. Gery bahkan teramat tidak suka ia muncul di kantornya. "Ayang!" pekik kecil Elis yang melihat Kahayang memotong tangkai bunga tulip dengan tatapan kosong ke jendela. Cepat-cepat Elis mendekati Kahayang dan mengambil gunting pemotong bunga. "Hampir saja ini memotong jarimu. Kamu kenapa melamun, sih?" Kahayang menunduk. Menatap hampa pada jemarinya yang sudah kosong karena kemudian tak hanya gunting pemotong bunga yang diambil Elis, melainkan juga bunga tulipnya. Kahayang melangkah gontai menuju kursi yang ada di depan meja kasir. Ia duduk dengan menopang dagu. "Kepikiran masalah Gery?" tanya Elis sembari melanjutkan pekerjaan Kahayang. "Dia gak pernah mau menginap di rumah orang, Lis. Jangankan itu, study tour sekolah saja, dia memilih tidak ikut." "Iya, gitu? Kenapa? Alergi di rumah orangkah?" Kahayang menggeleng lemah. "Karena tidak ada mamanya." "Waks?!" "Dia tidak mau dan tidak bisa meninggalkan mamanya sendirian. Dari pada sepanjang waktu kepikiran, tidak menikmati apa-apa, yang akhirnya merugi, buang-buang uang, Gery memilih tidak ikuta acara apa pun yang membuatnya berpisah dari Tante Ida." "Gila. Anak mama atau bagaimana itu? Cowok begitu kok masih berada di ketiak ibunya." "Makanya, ini agak aneh. Gery menginap di rumah temannya. Ini aneh. Tante Ida pasti juga berpikir begitu. Makanya beliau berprasangka semaunya sendiri dan kemudian malah salah sangka ke saya." "Iya, ya. Ini artinya, pertama kali juga Gery mengabaikan ibunya." "Ke mana ya dia menginap?" gumam Kahayang. "Telepon Gery ajalah. Abaikan permintaan Tante Ida tadi. Kamu kan bisa bilang sama Gery untuk tidak usah bilang sama Tante Ida kalau kamu konfirmasi ke dia." "Masalahnya, Gery juga akan langsung tahu kalau mamanya sudah konfirmasi ke sini. Gery itu kalau marah gak pake tunda-tunda. Dia pasti akan ribut sama Tante Ida dan Tante Ida semakin membenci saya. Tambah runyam, 'kan?" "Ya juga, sih." "Salah gak kalau saya berpikir orang yang rumahnya dijadikan tempat menginap adalah seorang yang istimewa?" Pertanyaan kahayang membuat Elis melongo. Ia merasa Kahayang sudah mulai mencurigai Gery. Sesuatu yang selama ini Elis pikir Kahayang adalah seorang yang sangat lugu. Kahayang selalu mengabaikan kemungkinan-kemungkinan Gery berselingkuh. Mungkin memang benar Gery mencintai Kahayang, suatu kemungkinan yang positif mengingat begitu lamanya mereka bersama tanpa ada kata berpisah satu kali pun. Namun, Gery tetap adalah laki-laki, sikapnya yang tarik ulur, terkesan ogah-ogahan, bagi orang lain sudah terbaca bahwa Gery punya 'mainan'. Pernah sebenarnya ada kejadian Gery kepergok bersama wanita lain, tetapi Gery mampu berargumen dan memberika alasan jitu yang bisa membuat Kahayang percaya padanya. Kahayang begitu memuja Gery. Hampir sebelas dua belas dengan ibunya Gery, Ida. Mendengar Kahayang bertanya seperti itu, bagi Elis yang sudah memendam ketidaksukaan akan hubungan sepupunya dengan Gery itu, menjadi senang. Setidaknya, sepupunya akhirnya memiliki kepekaan. "Gak salah," jawab Elis kemudian. "Kalau dia sampai mengabaikan kesenangan berkumpul bersama-sama dengan teman-temannya sepanjang hidupnya demi alasan menjaga ibunya, tapi kemudian hanya dengan alasan kelelahan dia menginap di rumah seseorang, wahhh..., pastinya orang itu istimewa sampai Gery tak mau pulang buat menjaga ibunya." "Sepertinya saya cemburu, Lis." Elis tersenyum geli. "Ya, bagus. Artinya kamu ada rasa yang dalam untuk Gery." "Tapi..., apakah wajar?" "Wajar saja." "Benar? Benar gak pa-pa kalau cemburu sama cowok lain?" Bibir Elis menganga. Tiba-tiba ia tidak paham maksud Kahayang. "Maksudnya gimana?" "Gery kan pasti menginap di rumah cowok." Kenapa kamu gak berpikir dia menginap di rumah cewek, sih, Yang. Orang modelan begitu apa punya temen cowok, sih? keluh Elis dalam hati dengan keluguan Kahayang yang begitu kental. "Yaaa..., kalau itu cowok, sih. Ya..., buat apa dicemburuin," ujar Elis dengan nada terputus-putus dan mengambang. "Tapi..., kalau..., itu cewek, bagaimana?" "Masak sih cewek. Mana berani sih dia menginap di rumah cewek." "Astaga, Ayang. Memangnya berapa sih umur Gery sampai gak berani segala. Ampun, dah kamu. Segitu butanya." "Gery gak pernah selingkuh." "Tapi pernah beberapa kali jalan sama cewek. Bukan cowok," ujar ketus Elis. "Ya, dia memang pendiam." "Diam sama cowok, gitu? Tapi liar sama cewek lain?" "Ah udah, ah. Kamu selalu sewot kalau omongin Gery," keluh Kahayang. "Saya Cuma mau sadarin kamu, Ayang. Waktu lima tahun tanpa ada pembicaraan masa depan, maksudnya apa?" "Kan Gery bilang lagi kumpulkan uang." "Alasan klise untuk menghindari keseriusan. Ayang, muali sekarang, belajarlah membuka mata, hati, dan pikiran. Laki-laki itu jika memang serius dengan kekasihnya, ada komitmen yang jelas, bahkan, kalau besok KUA buka, besok pun jadilah menikah. Tapi, kalau terlalu sering mengulur-ulur, artinya dia masih ingin main-main. Atau bahkan sebenarnya masih memilih-milih. Jangan terlalu percayalah sama Gery. Sudah berapa kali ia ketahuan jalan sama cewek yang gak kamu kenal. Jangan-jangan cewek yang masuk ke toko bunga ini, adalah cewek lain Gery." Tring! Pintu toko terbuka dan Anes masuk, mengejutkan kedua wanita muda yang masih saling adu argumen. *** Anes memilih-milih bunga dengan bantuan Elis. Perasaannya tidak suka, tetapi ia tak ada pilihan. Ia harus terlihat baik dan menerima siapa saja ada di dekatnya. Pencitraan untuk menarik simpati agar bisa terlibat dalam lingkar pertemanan Kahayang. Apalagi Elis adalah sepupu, jika Anes mengabaikannya makan akan memengaruhi penilaian Kahayang terhadap dirinya. "Dia kenapa?" tanya Anes setelah memilih bunga Peace Lily sebagai hiasan dalam rumahnya. "Cowoknya semalam gak pulang," jawab Anes dengan berbisik. "Oh, ya? Ke mana?" "Nginap di rumah temannya. Tapi teman yang mana, gak tau." Anes dan Elis mendekati meja kasir. Kahayang masih duduk-duduk malas sembari tatapannya menerawang keluar melalui jendela kaca. "Hei." Anes menjentikkan jemarinya di depan wajah Kahayang dan gadis itu mengerjapkan matanya berulang kali. "Kenapa kamu? Lesu begini." Anes sengaja mengulang pertanyaannya yang kali ini ditujukan langsung pada kahayang. Tujuannya agar terkesan perhatian. Kahayang yang tadinya merebahkan kepala di atas meja, bertumpu pada lipatan tangan, dengan malas menegakkan tubuhnya. Tapi, tetap saja membungkuk; lemas. "Gak pa-pa," jawab Kahayang pelan. "Gak apa-apa tapi begini." Anes menowel dagu Kahayang. "Cowoknya gak pulang, ya?" Kahayang terkesiap dan cepat menoleh pada Elis, tapi Elis pura-pura tak melihat dan membungkus bunga Peace Lily dalam pot dengan kertas kaca. "Gak usah malu. Kan kemarin katanya saya bisa jadi teman kalian." Anes kemudian duduk di kursi sebelah Kahayang. "Memangnya masalah ya kalau cowoknya gak pulang?" "Masalah sih tidak. Tapi..., ini pertama kalinya dia nginap di rumah orang," jawab Kahayang. "Oh, ya? Trus, katanya menginap di rumah siapa?" Kahayang menggeleng lesu. "Ibunya melarang saya mengkonfirmasi ke dia." "Ibu yang baik. Melindungi anaknya dari keributan yang bisa disebabkan darimu." Elis menatap Anes takjub. Wanita itu mengutarakan kebenaran argumennya tanpa beban. "Ibu yang terlalu baik atu ibu yang terlalu protektif?" tanya Elis. Anes tertawa geli. Ia memilih tak menjawab. "Tapi yang jadi masalah dan membuatmu lesu begini, apanya?" tanya Anes. "Menurutmu, cowok kalau tidak pernah menginap di rumah orang, trus menginap di rumah orang, orang itu cowok apa cewek?" tanya Kahayang penasaran. Anes terlihat bingung. "Ya..., bisa jadi cowok, bisa jadi cewek." "Nah!" seru Elis. "Itu bijaksana." "Kenapa ada dua kemungkinan?" Kahayang seperti menolak jawaban Anes, tetapi tetap penasaran. "Karena pertemanan lelaki dewasa tidak berada dalam satu lingkaran saja. Dia bisa saja punya teman wanita lain meski dia punya kekasih." "Tuh, kan!" Kembali Elis berseru. Ia sangat senang karena ada juga yang sepemahaman dengan dirinya. "Tapi, dia orangnya setia, kok." Kahayang menunduk dengan bibir manyun. "Memangnya kalian sudah berapa lama?" "Sudah lima tahun lebih," jawab Elis. "Selama itu? Kalian lagi long distance relationshop?" Kahayang menggeleng. "Rumah kami bahkan sebenarnya tak terlalu jauh, hanya beda blok saja." "Dan kalian selama itu? Kalian gak lagi backstreet, 'kan?" Kahayang menggeleng lagi. "Gak LDR gak juga backstreet, tapi hubungan kalian selama itu?" Anes sungguh tak percaya ada orang bisa bertahan pada hubungan yang tak terikat komitmen kuat dalam jangka waktu begitu lama. Dirinya saja dengan Deon yang sudah tiga tahun, sudah membuat Anes tidak tahan, tidak berah. Hanya karena banyak hal yang harus disembunyikan, yang membuatnya bertahan dengan lamanya waku dilalui. "Fix laki-laki itu lagi main-main sama kamu," ujar Anes yang sudah memahami watak lelaki. "Gak mungkin dia begitu." Kahayang menolak argumen Anes. "Dia masih berjuang dan menabung." "Bohong itu. Jika dia serius. Dia akan langsung mencari jalan menikahimu. Uang kan bisa dicari sama-sama. Apalagi kamu punya usaha sendiri." "Nah! Ayang, orang lain yang baru kenal saja, bisa bicara begitu. Sama dengan saya, 'kan?" ujar Elis. "Kalian gak kenal dia saja." Kahayang menunduk lesu. Ia merasa sedang disudutkan. Tak ada yang memiliki argumen dan keyakinan sama dengan dirinya. Anes yang melihat kesenduan di wajah Kahayang, sedikit merasa bersalah. Ia sudah melakukan konfrontrasi atas perilaku kekasih Kahayang. Tapi, tugasnya memang begitu, selain mencari tahu kehidupan Kahayang, ia harus bisa membuat Kahayang pisah dari kekasihnya. Anes mengelus lengan Kahayang lembut. "Kahayang. Saya gak tau bagaimana lelakimu, tapi jangan terlalu percaya padanya. Buka hatimu untuk melihat yang lain karena kemungkinan dia juga begitu. Berapa?" tanya Anes  pada Elis yang sudah selesai membungkus bunganya. "Jika dia adalah kekasihmu, menurutmu dia menginap di rumah laki-laki atau perempuan?" tanya Kahayang. "Rumah perempuan," jawab Anes cepat. *** Anes: Yang pasti, Kahayang sedang gelisah karena cowoknya tidak pulang semalam. Deon tersenyum sangat lebar. Ia melihat peluang besar untuk lebih dekat dengan Kahayang. Gadis itu pasti sedang terombang-ambing, mudah baginya menyusup masuk. Deon: Kamu sudah makan siang? Anes: Belum. Kamu mau makan siang dengan saya? Deon: Tunggu di hotel. Anes kemudian mengirim emotikon cinta untuk Deon. Deon benar-benar sedang bahagia. Pekerjaannya sangat lancar. Tak ada kendala sama sekali. Dan kini, ia punya jalan untuk masuk lebih dekat ke hati Kahayang. Ia bisa menjadi pahlawan bagi gadis itu. Nanti malam, adalah waktunya. Dan siang ini, ia akan memberikan hadiah untuk Anes. Kekasih yang sangat penurut perlu diberi kepuasan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD