Chater 64

2054 Words
Diombang-ambing prasangka buruk. Aku harus menghubunginya. *** Kahayang memilih jalan kaki saja menuju restoran kedua orang tuanya. Ia perlu melepaskan pikiran buruknya dengan mengeluarkan energi. Berharap juga teriknya matahari bisa menguapkan bayangan-bayangan kemungkinan tentang Gery bersama wanaita lain. Dua orang sudah berpraduga Gery menginap di rumah seorang wanita. Hati kecil Kahayang sebenarnya juga sudah berdetak kecurigaan. Namun, ada bagian dari Kahayang yang terus mencoba menyangkal. Gery adalah pria yang sangat menyayangi ibunya, kata orang-orang, pria yang menganggungkan ibunya adalah seorang pria yang setia pada kekasihnya. Dan itu yang coba dipercaya Kahayang dan itu yang selama ini dipegang Kahayang. Sampai di restoran orang tuanya, wajah Kahayang sudah bersemu merah dan berkeringat. Ia tak hanya kepanasa, tetapi kelelahan karena berjalan cepat dengan emosi. Ia juga kehausan. Rasanya hal-hal itu membangkitkan emosinya. Seperti biasa, jam makan siang, restoran keluarganya ramai. Kahayang mengeluh dan memutuskan ke belakang. Namun, baru beberapa langkah, sudut matanya menangkap bayangan sosok yang dirasa dikenalnya. Ada meja memanjang ditempelkan pada kaca. Kursi-kursi tinggi dengan sandaran rendah berjajan bersisian. Yang duduk di meja itu memang biasanya diperuntukan bagi mereka yang makan sembari masih bisa melihat keluar, tanpa harus terkena debu. Di bagian paling sudut dalam, duduk Sambara dengan santainya mengaduk es teler. Ada bangku yang masih kosong di dekat Sambara. Kahayang mendengkus, ia menggigit bibir bawahnya dengan amat kesal. Entah kenapa belakangan ia seperti terjebak dengan kemunculan Sambara terus-menerus. Seolah di setiap waktunya hanya ada Sambara. Pemikiran yang berlebihan tapi itu yang dirasakan Kahayang. Dalam sekejap Kahayang sudah berdiri di dekat Sambara. Tangan kanannya berkacak pinggang sedang tangan kirinya mengetuk meja seperti mengetuk pintu. Sambara yang tadinya akan memasukan sesendok buah alpukat ke mulut, langsung berhenti dan menoleh. Mata elang Sambara langsung bersirobok dengan mata cokelat muda Kahayang. Tanpa alasan, Kahayang jadi salah tingkah. Ia tidak suka ditatap lekat-lekat oleh Sambara karena setiap Sambara menatap, ini seperti dirinya terperangkap. "Apa liat-liat?" bentak Kahayang. Ini yang selalu Kahayang lakukan jika ia merasa terintimidasi oleh Sambara. Yaitu menjadikan diri korban dan menetapkan Sambara sebagai tersangka. "Ada apa ketuk-ketuk meja?" Kahayang bertanya malas dan memasukkan sendokan buah alpukat ke dalam mulut. Kahayang menjilat bibirnya yang kering. Matanya dengan santai meluncur ke bagian leher Sambara, seolah mengikuti pergerakan alpukat yang dikunyah singkat. Jakun Sambara bergerak dengan nyata, membuat Kahayang semakin merasa kehausan. Sambara tiba-tiba menoleh. Kembali Kahayang disembur malu berharap Sambara tak memergokinya yang tadi sedang menatap leher Sambata. "Apa liat-liat?" Sambara meniru pertanyaan Kahayang. "Memang kenapa kalau liat-liat. Ini mata, mata saya, kok." Kahayang kemudian duduk di kursi yang tersisa. Jaraknya dan jarak Sambara dekat. Saat sikunya tak sengaja mengenai siku Sambara, Kahayang tersentak. Ia merasa seperti ada aliran listrik. "Apa?" tanya Sambara bingung juga kesal. Sikap Kahayang begitu antipati terhadap dirinya. Kahayang diam. Tak mungkin dia bilang kalau tadi ia merasa sesuatu seperti sengatan listrik. Terdengar dibuat-buat. "Mbak Ayang makan sini?" Ajo sang pelayan setia dan senior muncul dengan membawakan es teler juga untuk Kahayang. Kahayang senang tapi sekaligus mengeluh. Rasanya restoran ibunya punya aneka varian minuman, tapi kenapa dirinya justru diantarkan es teler yang sama dengan Sambara. Tapi Kahayang menerima dan langsung menyeruput sesendok air es yang sudah bercampur sirup merah dan s**u kental manis. Yang tadinya sesendok, Kahayang mengaduk esnya dan menyeruput berulang-ulang. "Kasihan." Kahayang yang akan menyeruput lagi es, seketika batal. Ia melirik sengit pada Sambara yang dengan santai kembali menyeruput es telernya. Ada kelapa muda yang dikunyah juga dengan sangat santai. Mengabaikan panas dan sengitnya tatapan Kahayang. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Kahayang dengan suara kecil tapi tajam. "Kasihan," jawab Sambara santai. "Kamu datang dengan wajah memerah, dan marah-marah, pasti karena kepanasan dan kehausan. Kenapa gak bilang aja tadi? Kan saya bisa membagi es ini ke kamu." "Dih. Kamu pikir saya akan sudi?" Sambara mengedikkan kedua bahunya, membuat Kahayang semakin gemas dengan sikap acuh tak acuhnya. Ajo yang belum mendapatkan jawaban, hanya tertawa kecil dan berlalu saja. Dah pasti Kahayang makan di tempat. Kahayang dan Sambara kemudian sama-sama diam menikmati es teler masing-masing sampai makan siang mereka datang. Keduanya pun makan dengan lahap. Seolah sebelumnya tak ada kejadian menyebalkan. Di meja kasir, Lia, Andin, dan Ajo mengamati dengan senyum-senyum geli. Ini karena Ajo menceritakan keributan kecil antara Sambara dan Kahayang. "Heran sama Ayang. Segitu gak sukanya sama Sambara," ujar Lia. "Padahal anak itu baik, sopan, mana ganteng pisan." "Hati-hati, Bu," celetuk Ajo. "Hati-hati kenapa?" tanya Lia. "Kalau benci tanpa alasan, ujung-ujungnya cinta." Sontak Lia dan Andin tertawa. Melihat setia dan ganasnya Kahayang, bagi Lia dan Andin rasanya tak mungkin akan ada cinta bersemi antara Kahayang dan Sambara. Kahayang sudah selesai makannya. Ia mengaduk-aduk es telernya dengan malas-malasan. Perasaannya kembali teringat akan Gery. Diam-diam Kahayang menoleh pada Sambara. Jika tadi Elis dan Anes memberikan pendapat sebagai wanita, Mungkinkah hasilnya akan berbeda jika itu pria? "Ehem." Kahayang sengaja berdeham agar Sambara menoleh. Tapi, Sambara tak menoleh. Lelaki dengan wajah dibagian dagu dan diatas bibirnya berwarna biru gelap karena mulai tumbuhnya bulu-bulu halus, terlihat sibuk sendiri dengan ponsel pintarnya. Kahayang menduga itu adalah kekasihnya yang waktu itu di pembukaan butik. Kahayang memejamkan mata, berusaha mengingat siapa nama wanita cantik itu. "Kalau ngantuk pulang saja." Kahayang cepat membuka mata. Menatap Sambara dengan menimbang-nimbang apakah ia akan mendapatkan jawaban bijak ataukah justru Sambara tertawa. "Apa?" tanya Sambara. "Saya mau tanya." "Tanya aja." "Tapi kamu harus janji." "Tanya ya tanya aja. Pakai janji, janji segala." "Janji dulu." Kahayang mulai merajuk. "Mau tanya apa, sih?" tanya Sambara kesal. "Kamu harus janji dulu." "Gak, ah. Taunya menjebak." "Enggak. Gak ada jebakan apa-apa. Ayo, janji. Janji." Dengan kedua tangannya, Kahayang menggoyangkan lengan kiri Sambara. Sambara melihat sekeliling yang masih ramai. Pandangannya sampai ke meja kasir yang mana kedua orang tua Kahayang menatap ke arahnya dengan senyum-senyum. Tingkah Kahayang bagai anak kecil yang menuntut. Tapi bisa juga bagai kekasih yang merajuk. Mengira itu, Sambara jadi salah tingkah. "Iya. Iya. Lepaskan! Gak malu dilihat orang-orang?" "Ya, janji dulu?" Sambara menghela napas pasrah. "Iya, janji. Tapi janji apa?" Kahayang sumringah. "Janji tidak boleh tertawa dan janji tidak boleh bertanya balik. Oke?" "Ya, ya, ya. Tanya apa?" "Kamu pernah menginap di rumah seseorang?" Sambara heran sendiri. Untuk pertanyaan sesederhana itu, ia dipaksa berjanji ini itu. Tapi, ia kemudian berpikir ini pasti tak sesederhana itu. "Cowokmu nginap di rumah orang?" "Hah!" Kahayang terkejut sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merapat pada Sambara yang membuat pria itu sedikit risih karena malu. "Kamu dukun? Bukan, bukan. Kamu bisa baca pikiran orang?" "Apa, sih?" "Haaa!" Kahayang langsung memegang pipi Sambara, menahan pria itu untuk tidak menoleh dan menatap ke arahnya. "Jangan lihat. Kamu gak boleh lihat saya." Entah bagaimana Sambara harus bersikap. Yang pasti ia malu, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Di tengah rasa maluny, ia juga gelisah. Kedua jemari Kahayang yang terasa lembut, menempel di pipi kirinya, memberikan suatu sensasi lain. Ini menjadi ia menikmati sekaligus ia malu. "Lepasin tangannya," pinta Sambara dingin. Ia mulai gelagapan dengan rasa yang ditimbulkan dari jemari Kahayang. "Enggak. Kecuali kamu janji." "Lagi?" "Iya." Entah apa dosa leluhurnya sampai ada sayembara gila dengan gadis penjual bunga yang sangat aneh. "Oke, saya janji tidak akan melihatmu." "Ahhh!" Kembali Kahayang memekik. "Kamu bisa baca pikiran orang tanpa melihatnya?" Kahayang benar-benar takjub. Sambara menunduk, tiba-tiba kepalanya terasa pening. Ini anatara dirinya yang memang dengan mudah bisa menganalisa maunya Kahayang atau memang Kahayang yang terlalu polos. Kahayang tiba-tiba bertanya sesuatu terkait pergaulan laki-laki, ya sudah bisa dipastikan kalau Kahayang akan membandingkannya dengan kekasihnya. Dan Kahayang menahan wajahnya agar tak menoleh, dengan sangat mudah dipahami kalau Kahayang tak ingin dilihat. Semudah itu harusnya. Tapi Kahayang membuatnya menjadi drama seolah ia memiliki kemampuan. Baru saja Sambara membuka mulut berniat untuk meluruskan, Kahayang sudah melepas tangannya dan bicara dulu. "Sudahlah. Gak ada yang bisa disembunyikan darimu. Jadi jawabannya apa?" Mendengar nada lesu Kahayang, Sambara akhirnya menahan diri untuk tak menoleh, mengikuti pinta Kahayang. "Pertanyaanmu yang mana yang harus saya jawab. Pilih salah satu." "Memangnya saya banyak nanya?" Gak sadar aja kamu, batin Sambara. "Yang cowokmu menginap?" tebak Sambara. Kahayang mengangguk. Namun, menyadari Sambara tak menoleh ke arahnya, Kahayang buka suara, "Iya." "Memangnya ada yang aneh kalau cowok menginap?" "Kamu sendiri pernah menginap di rumah seseorang?" "Pernah. Apalagi saat kuliah dan banyak tugas kuliah. Dikerjakan sama-sama jauh lebih ringan dan cepat. Kadang terpaksa ya menginap," jelas Sambara. "Cowok?" "Iya." "Gak pernah gitu kamu menginap di rumah cewek?" Sambara seperti berpikir. "Pernah." "Pernah!" Kahayang yang tadinya mulai tenang karena ternyata cowok juga menginapnya di rumah cowok, kini justru kembali gelisah. "Iya." "Kamu tidur di rumah cewek, di kamarnya?" "Mmm..., enggak, sih. Di ruang tamu. Rame-rame juga. Biasanya urusannya ya tidak jauh dari perihal tugas perkuliahan. Kita kelelahan. Dari pada pulang ya menginap saja. Jadi tugas yang belum selesai bisa dilanjutkan besoknya." "Kalau cowok kelelahan dia bisa menginap di mana saja ya? Bisa menginap di tempat teman cowoknya atau di temen ceweknya. Gitu?" "Enggak juga kalau alasannya adalah kelelahan. Harus ada tujuan yang membuat kita menginap.Kalau Cuma lelah saja, tapi tidak ada tujuan dan maksud yang jelas, ya pulang saja. Kan lebih enak kamar sendiri. Kayak tadi, kan saya menginap karena ada kerjaan kuliah." Kahayang terdiam. Penjelasan Sambara membuatnya semakin tidak nyaman akan alasan Gery menginap. Seperti kata Sambara, jika tak ada tujuan dan maksud yang kuat, kelelahan bukan pilihan untuk menginap di tempat orang lain. Palagi, Gery tak pernah sekali pun pergi menginap. Rasa hati Kahayang menelepon Gery. Namun, ia khawatir akan dampaknya. Gery yang jelas sudah mengingatkan ibunya untuk tak membicarakan perihal menginap ini pada dirinya. Dan ini pertanyaan baru, untuk apa Gery melarang ibunya membicarakan perihal menginap padanya? Terlebih lagi, kenapa Gery tidak memberitahukannya sendiri? Sambara diam-diam melirik Kahayang. Melihat kusutnya wajah Kahayang, Sambara semakin yakin ini pasti terkait dengan kekasihnya. "Cowokmu nginap di rumah temennya?" tanya Sambara. "Iya," jawab lesu Kahayang. "Kamu gak suka sama temennya?" "Hhh..., masalahnya..., saya bahkan gak tau siapa temennya? Di rumah siapa ia menginap?" "Kok, aneh. Trus kamu tau dia menginap dari siapa?" "Dari ibunya. Dia tak pernah menginap di rumah siapa pun. Ini adalah pertama kalinya." "Wah, cowokmua segitu kupernya sampai tidak pernah bermain dan menginap di rumah teman. Jangan-jangan teman cowok, cowokmu sedikit." Kahayang menatap Sambara. "Kok, bisa begitu." "Cowok itu makhluk bebas, Ayang. Karena teman banyak, kumpul-kumpul, kadang membuat kami lupa waktu dan akhirnya saling menginap. Tak ada yang mempermasalahkan kami tidur di mana. Itu cowok. Istilahnya, itu menjelajah kecil-kecilan. Cowok yang dikekang sampai tak tahu nikmatnya kumpul-kumpul sampai menginap, biasanya cowok-cowok kurang pergaulan alias kuper." Kali ini Kahayang tak membantah. Ia bahkan tak marah meski Gery mendapat julukan kuper. Kenyataannya memang begitu. Gery hampir tidak punya teman-teman cowok yang banyak. Hanya satu dua orang karib saja. Atau satu dua orang yang punya ikatan persaudaraan seperti sepupu. "Kalau cowok model begitu menginap di rumah orang, apakah itu teman cowoknya ataukah teman ceweknya?" Sambara semakin mengerti situasinya. Kahayang sedang didera prasangka. "Kata cowokmu bagaimana? Dia menginap di rumah teman cowok atau teman cewek?" "Saya belum bertanya." Kahayang menghela napas. "Ibunya melarang saya mengkonfirmasinya ke Gery karena sebenarnya Gery melarang ibunya mengjonfirmasinya ke saya." "Rumit sekali cowokmu." Kahayang mengangguk. "Jadi gimana menurutmu? Di tempat cowok atau tempat cewek?" Sambara memainkan sendok esnya. Ini adalah peluang Sambara untuk menjatuhkan kekasih Kahayang. Dalam keadaan Kahayang seperti ini, akan sangat mudah Sambara menghasut dan menjadikan dirinya sandaran. Dengan begitu, jalannya akan sangat jauh lebih mudah menuju pelaminan dan memiliki anak. Brengsek. Saat begini malah mengkhayal yang enggak-enggak, keluh Sambara dalam hati. Bukan tabiat Sambara untuk mencuri kesempatan dalam kesempitan. Ia tak ingin menjadi anak kecil yang memakai segala tipu daya hanya untuk menaklukan Kahayang. "Saya gak mau menebak atau mengira-ngira. Gak etis lelaki lain melakukan penilaian terhadap kekasihmu." Benar-benar jawaban yang sangat bijaksana. Sambara menatap Kahayang yang sedari tadi menatap dirinya. Dengan lembut Sambara meremas jemari Kahayang. "Kamu berhak tahu apa yang dilakukan kekasihmu di luar sana. Kamu boleh kok bertanya dia sedang apa atau apa yang sudah terjadi padanya. Jangan mengira-ngira atai bertanya-tanya ke mana-mana karena kamu akan mendapati jawaban yang berbeda-beda. Dan itu akan memperkeruh keadaanmu. Memperkeruh perasaanmu." Dalam naungan mata Sambara, pada jemari yang diremas lembut, Kahayang merasakan ketenangan. Kata-kata Samabara membuatnya benar-benar tenang. Sambara mengatakan hal yang benar. Pada tiga orang saja, ia mendapatkan jawaban berbeda. Apalagi jika ia kemudian bertanya ke mana-mana. "Apa tidak apa-apa jika saya menelepon dia?" "Gak pa-pa. Kamu kan tidak mau merawat prasangka dalam dirimu sendiri." "Bagaimana kalau dia marah atau bahkan marah ke ibunya?" "Ya, setidaknya kamu tahu kalau cowokmu tidak bijaksana." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD