Chapter 65

2203 Words
Aku harus mencari pria itu. *** Dengan segelas wine di tangan kanan dan tangan kiri menopang dagu di atas kaki yang menyilang, Diam terpekur menatap keluar jendela. Menatap jendela gedung-gedung tinggi perkantoran. Menatap pada langit biru yang mulai syahdu. Menatap pada kejauhan yang tak benar-benar jauh. Hanya menatap tapi pikirannya entah ke mana. Ia mensesap wine perlahan. Menoleh menatap meja kerja Roy yang eksklusif. Meja kerja dan sebagian besar furnitur adalah pilihan Diana. Disesuaikan dengan kesukaan Diana akan desain interior yang futuristik. Ruangan kerjanya memang milik Roy, tapi napasnya adalah milik Diana. Satu-satunya yang menggambarkan kepribadian Roy adalah sudut dalam dekat rak kayu. Ada tempat duduk santai, yang disisinya ada terpasang satu set audio canggih. Roy suka mendengarkan musik-musik instrumental dari sana. Pintu terbuka dan Roy masuk dengan sedikit terkejut namun kemudian tersenyum lebar. Dengan langkah lebar ia menghampiri Diana dan mencium kening istrinya itu. "Sudah lama?" tanya Roy sambil lalu karena ia kemudian menuju meja kerjanya dan mulai memandangi komputernya. "Bagaimana produk baru itu?" tanya Dian yang berdiri dan mendekati meja kerja suaminya. Ia duduk di depan meja kerja Roy. "Seperti rencana. Tinggal uji tahap akhir dan perijinan saja. Setelah itu penayangan iklan." Roy menatap Diana dengan senyum sumringah. "Seperti inginmu dan kita akan melihat ayahmu kepanasan dan keponakan tercintamu dalam keadaan terpanggang." Roy tertawa kecil dan kembali menatap komputernya. "Saya sedang berpikir, apakah tidak apa-apa jika kita tak memberitahukan ini ke Deon?" Roy melirik sekilas pada Diana. "Bukankah kamu bilang untuk tak melibatkan Roy. Karena kita sebenarnya tidak yakin akan apa yang dilakukan ayahmu." Diana mengangguk-angguk. Itu memang benar adanya. Ayahnya mungkin akan sangat marah pada Sambara, tetapi ayahnya bisa jadi berpikir nehatif pada Deon yang seharusnya tahu bahwa ada produk baru, mengingat posisi Deon adalah CMO. Deon juga bisa dituduh dengan sengaja tak membantu Sambara. Dengan tidak terlibatnya Deon, Diana akan bisa melindungi putranya itu. Ia akan menjadikan dirinya tameng dengan mengakui semua kesalahan. Dan Deon masih bisa melenggang di pusat karena tidak ada bukti keterlibatannya. "Apa kamu berubah pikiran?" Roy melihat kegalauan di raut wajah istrinya itu. "Kamu akan memberitahukannya ke Deon?" "Tidak. Anak itu harus benar-benar bersih. Kau tau sendiri bagaimana tidak adilnya Papa." Roy mengangguk-angguk. "Roy. Menurutmua apakah makan malam bersama Kahayang kemarin akan berdampak buruk pada Deon? Maksud saya..., mmm..., apakah gadis itu menjadi takut pada saya dan kemudian bisa saja menjauhi Deon?" Kembali Roy melirik Diana. Senyum tipis terukui kemudian. Ini cukup mengejutkan karena istrinya begitu peduli. Diana adalah seorang yang superior, ia harus 'paling'. Paling benar, paling pintar, paling cantik, dengan segala macam kata diawali kata 'paling'. Sikap 'paling'-nya itulah yang membuat Diana sulit memiliki teman. Ia tak peduli akan orang lain, termasuk suami dan anak-anaknya. Keegoisannya yang tinggi adalah yang utama. Namun, sore ini mendengar Diana cukup peduli akan penilaian orang terhadap dirinya, menjadi hal mengejutkan selain menyenangkan. "Kenapa? Kamu merasa tidak enak?" tanya Roy kalem. "Saya merasa tidak suka." Roy pun terkekeh. "Kenapa?" "Deon ada benarnya dan saya harus merendah pada gadis itu." "Hanya sementara, Diana. Setelah semuanya kita genggam, kamu akan kembali menjadi Ratu." "Sementara itu lama. Masih menunggu gadis itu hamil segala." "Hahaha.... Dengan cepat, Deon akan membuat gadis itu hamil." Diana hanya menghela napas. "Kamu mau pulang?" tanya Diana. "Belum. Jam enam, seperti biasa. Kamu mau pulang sama-sama?" Diana meletakkan gelas winenya dan berdiri. Sebuah jawaban tanpa perlu diucapkan. "Saya akan ke toko bunga." Kembali Roy terkekeh menatap Diana yang bersiap akan pergi. "Memperbaiki keadaan?" tanya Roy menggoda. "Jangan sembarangan bicara, Bodoh. Tidak ada yang rusak dan saya tidak memperbaiki apa-apa," ucap Diana sengit yang kemudian melangkah cepat meninggalkan ruang kerja Roy. Roy terus tersenyum sampai pintu tertutup. Ekspresi wajah Roy berubah menjadi datar. Ia menatap pintu dengan tatapan menghunjam. *** Perasaan Kahayang yang tadinya tenang setelah bicara dengan Sambara, kini kembali lagi suram. Ia mengikuti saran Sambara. Kahayang menelepon Gery tetapi tidak diangkat. Ia juga mengirim pesan, tetapi lama dibaca dan sekalinya dibaca, tidak dibalas. Pertanyaannya tak dijawab. Ia duduk malas-masalan sembari memainkan ponsel pintarnya. Beberapa kali mengeluh kecil karena setiap ada bunyi notifikasi pesan, ternyata bukan pesan dari Gery. "Udah, gak usah ditungguin. Anggap saja sedang sibuk berat. Nanti juga pasti dibalas." Elis menegur sembari menghitung uang dalam mesin kasir. "Tapi kan itu pertanyaan penting. Harusnya segera dijawab," keluh Kahayang. "Apa..., jangan-jangan...." "Kenapa?" tanya Elis penasaran dan mengalihkan fokus dengan menatap Kahayang serius. "Gery marah, ya." "Marah? Memangnya kamu tanya apa?" "Saya tanya kenapa dia tidak pulang ke rumah dan dia menginap di mana." Elis seperti berpikir sebelum kemudian menjawab. "Harusnya itu pertanyaan biasa saja, sih. Kenapa harus marah?" "Entahlah." "Kalau mau marah, mungkin harusnya dia marah sama ibunya. Kenapa sampai kamu bisa tahu dia menginap. Kan pastinya dari ibunya." "Tapi, kayaknya dia belum omong ke Tante Ida kalau saya nanya. Buktinya gak ada pesan atau telepon dari Tante Ida." "Syukur, deh." Tring! Pintu toko terbuka. Seorang wanita berumur dengan rambut pendek yang disemir cokelat, masuk dengan gaya anggunnya. Kaca mata hitamnya ditenggerkan kemudian di atas kepala. Tak ada senyum, tetapi itu tak mengurangi kecantikannya yang sangat anggun di usianya yang tak muda. Elis tersenyum langsung mengenali tamunya yang dulu pernah membeli bunga Anggerk Bulan. "Selamat sore, Bu. Mau beli bunga lagi?" tanya Elis ramah. "Tante Diana...!" Elis langsung melongo. Kahayang mengenali wanita anggun di hadapannya ini. Elis tidak tahu di mana Kahayang kenal, rasanya jika sebagai pelanggan, wanita yang disapa Tante Diana itu, baru sekali datang. Diana menatap Kahayang dingin. Itu hanya awal. Tapi, teringat akan maksud dan tujuannya, Diana tersenyum tipis saat Kahayang yang tergopoh-gopoh berjalan mendekatinya, kini sudah berdiri di hadapannya dengan senyum manis yang bagi Diana, adalah senyum memuakkan. Entah bagaimana Diana nanti bersikap terhadap Kahayang jika gadis itu akhirnya memilih Deon dan menikah. Tubuh Kahayang yang pendek dan latar belakang yang tidak jelas, tentu akan menjadi bahan lelucon di kalangan teman-teman sosialitanya. Membayangkan itu, perut Diana menjadi mulas. "Tante kok tau toko bunga ini?" tanya Kahayang. "Dari Deon." "Ooo..., mamanya Deon," gumam Elis. Diana menelengkan kepala menatap Elis dengan tajam. Senyum Elis seketika menguap. Diana merasa tidak suka nama putranya disebut orang dari kalangan yang dimatanya adalah kasta rendah. Apalagi cara Elis mengucapkan nama Deon seperti mengucapkan nama seorang teman dekat. "Tante mau beli bunga?" tanya Kahayang ramah. "Mau lihat-lihat dulu." Tanpa menunggu Kahayang mempersilakan dirinya masuk lebih dalam, Diana sudah berinisiatif melangkah ke rak-rak bunga hidup dalam pot. Kahayang dan Elis saling pandang di belakang punggung Diana. Bibir Elis bergerak membentuk satu kata, "Galak." Kahayang hanya mengibaskan tangan dan menahan tawa gelinya. Ia kemudian bergegas mendekati Diana. "Tante ingin bunga apa?" tanya Kahayang ramah. "Saya dengar kamu tidak kuliah. Kenapa?" tanya Diana sambil melihat-lihat bunga. "Oh, iya. Saya ingin menghasilkan uang dulu." "Punya saudara?" "Satu adik laki-laki." "O..., pantas bekerja." Diana langsung merasa kesal. Diana berkesimpulan Kahayang bekerja untuk membiayai adiknya sekolah. Sudah di pelupuk mata jelas kalau nantinya Kahayang dan keluarganya akan menjadi parasit. Kahayang mengernyit bingung. Penasaran juga dengan maksud kata-kata Diana yang terkesan seperti sebuah kesimpulan. Tetapi, Kahayang tak punya nyali bertanya dan akhirnya mendiamkan. "Sudah punya kekasih?" Kahayang ingin menjawab sudah, tetapi ia kemudian merasa kalau Diana tak perlu tahu perihal itu. "Hehehe..., tidak ada yang mau sama saya, Tan." Ya, pasti. Kamu jadi tulang punggung. Pastinya lelaki mikirnya kamu akan jadi parasit, batin Diana. "Apa penilaianmu tentang Deon?" Duh, apa saya lagi diinterogasi? Apa Deon sudah cerita kalau dia sudah nembak saya? Duh, Deon omong apa aja, ya? Tapi kayaknya Deon gak cerita kalau saya punya kekasih, batin Kahayang gak nyaman. "Deon baik," jawab singat Kahayang. Diana mendengar singkatnya jawaban Kahayang, langsung berhenti melihat-lihat bunga dan berbalik dengan ekspresi aneh. Seperti tidak suka tapi juga seperti penasaran. "Hanya baik?" tanya Diana. "Mmm.... Iya, Tan. Saya kan juga belum mengenal Deon." Diana menatap Kahayang lekat-lekat. Biasanya perempuan akan memberikan jawaban panjang perihal Deon jika ditanya. Mereka akan memuji fisik Deon, baru kemudian kepribadiannya. Tapi, Kahayang sangat berbeda. Selain jawaban yang singkat, Kahayang juga menjawab dengan sangat logis. Gadis itu baru kenal Deon dan memang sewajarnya banyak yang tidak diketahu Kahayang apalagi dinilai Kahayang. Diana sedikit kagum dengan cara berbeda Kahayang menjawab. Diana berbalik dan kembali melihat-lihat tanaman hias. "Deon anak yang baik, memang. Dia juga pekerja keras. Saya rasa dia cocok denganmu yang bekerja keras." Saat mengucapkan itu, Diana benar-benar ingin mengeluarkan seluruh isi perutnya. Sandiwara yang menyiksa. Wajah Kahayang bersemu karena malu. Ia semakin yakin kalau Deon sudah bercerita masalah penembakan hati di restoran waktu itu. "Hehehe..., banyak yang lebih cocok di luar sana, Tan. Saya cuma apalah." Baguslah kalau kamu sadar diri, batin Diana. Diana senang kalau Kahayang menyadari kedudukannya yang tak satu level dengan Deon. Mendekati level Deon pun tidak. Keduanya sangat jauh. Tapi, Diana juga ketar-ketir sendiri. Pernyataan Kahayang seperti sebuah penolakan. Jika Kahayang tak menganggap atau melihat Deon sebagai sesuatu yang istimewa, maka Deon akan kesulitan memenangkan sayembara ini. "Ya, mungkin. Tapi, kalau Deon suka padamu, bagaimana?" pancing Diana. Diana gelagapan menjawab. Pada Deon saja ia belum bisa memberikan jawaban tegas, kini justru ibunya yang bertanya. Harus mengelak, putus Kahayang. "Hehehe.... Tante mau bunga apa kali ini?" Diana melepaskan napas perlahan. Kahayang tidak mau ditanya perihal itu. Diana memilih tak mendesak agar tidak terlihat sedang ngotot menjodohkan. Ia khawatir itu akan membuat Kahayang tak nyaman dan menjauh. Diana mengedarkan pandangan dan kemudian takjub pada satu sudut yang mana tertata rapi tanaman hias daun-daunan. Itu adalah tanaman yang sangat mahal-mahal. Tak menyangka toko bunga Kahayang mampu menyiapkan tanaman hias model begitu. Diana mendekat dan mengamati. Semua tanaman terawat sangat baik. Untuk yang ini, Diana kagum. Ini pertanda Kahayang tidak main-main mengelola usaha sederhananya ini. Alocasia Azlanii, memikat Diana. Daunnya yang berwarna hijau gelap mengkilap dengan dengan garis-garis berwarna merah muda dan ungu, membuat daun ini menjadi eksotis. Diana tauh jika tanaman ini sulit dikembangkan dan masih harus ekspor dari Malaysia. "Saya mau ini." "Baik, Tan." Kahayang langsung mengambil pot tanaman Alocasia Azlanii. "Ada lagi, Tan?" "Itu saja." Diana langsung menuju meja kasir. Menunggu Kahayang selesai membungkus tanaman itu dengan pembungkus plastik. "Kamu dan Deon apa tidak ada rencana bertemu?" "Nanti malam ketemuan, Bu," sahut cepat Elis. Kahayang hanya bisa mendelik kesal sedangkan Elis hanya cengengesan. "Oh, ya?" Diana tidak diberi tahu Deon kalau akan bertemu Kahayang. Diana kesal. Harusnya Deon bilang. "Iya, Tan. Deon bilang akan ke rumah untuk makan malam." Dalam hatinya, Diana tak menduga Deon bergerak cepat mendekati orang tua Kahayang. Lagi-lagi Diana berada di persimpangan anatara suka dengan kemajuan Deon juga kesal karena deon harus mendekati keluarga yang sederhana. "Kalau begitu, suruh Deon bawa tanaman itu pulang," ujar Diana sembari melakukan pembayaran dengan kartu kredit. Diana bermaksud memberitahukan putranya kalau dia sedang memperbaiki situasi yang kemarin dengan mendatangi Kahayang. Ia tak perlu berkoar-koar pada Deon kalau ia sudah memperbaiki, cukup tanaman itu mewakili. "Saya pulang dulu. Sering-seringlah main ke rumah agar kamu mengenal Deon. Bukankah kamu mendapat sedikit bagian tanah di rumah kaca papa saya? Kamu belum menanam apa-apa di sana." "Iya, Tan. Nanti kapan, saya main ke sana," jawab Kahayang malu-malu. Diana mengangguk dan berbalik keluar dengan gaya aristokratnya. Sampai di luar, Diana menghirup udara sore yang segar sedalam-dalamnya dan melepaskan semua. Dadanya mulai terasa ringan setelah keluar. Berpura-pura baik itu menyesakkan. *** "Saya belum bertanya." Kahayang menghela napas. "Ibunya melarang saya mengkonfirmasinya ke Gery karena sebenarnya Gery melarang ibunya mengkonfirmasinya ke saya." Nama Gery terlepas dari bibir Kahayang. Saat itu Sambara pura-pura tidak terkejut. Sambara juga tak menyela dengan bertanya siapa Gery. Ia membiarkan Kahayang fokus pada masalahnya. Memberikan kenyamanan pada gadis itu bercerita. Lelaki yang menjadi kekasih Kahayang adalah lelaki yang sudah membuat Kahayang menangis siang itu di kantor. Lelaki itu adalah pegawainya. Saat itu ia hanya melihat punggung lelaki itu, ia tidak tahu bagaimana wajahnya. Sambara benar-benar penasaran. Ada keinginan dirinya untuk meminta tolong Paul untuk mencarikan database karyawan bernama Gery. Tapi, Sambara malu. Ia bisa saja membuka akses data dari bagian HRD melalui komputernya. Tapi kali ini alasannya malas. Nama Gery adalah nama yang umum, tentunya ia harus mencari dengan pelan-pelan. Lebih enak jika profil karyawan disuguhkan di depan mata dari pada di komputer. Akhirnya rasa penasaran mengalahkan malu. Sambara memanggil Paul masuk. "Ada apa, Mas?" tanya paul setelah berada dekat dengan Sambara. "Diam-daiam dan tanpa alasan. Saya minta berkas data karyawan bernama Gery." "Gery siapa, Mas?" Itu dia saya tidak tahu, keluh kesal Sambara dalam hatinya. "Semua yang bernama Gery." Paul mengerjap kebingungan. Permintaan aneh. Selain tidak jelas apa tujuannya, pimpinan mudanya ini meminta data untuk satu nama yang tidak jelas yang mana. "Apa ini ada kaitannya dengan sabotase dari Ed Tech?" tanya Paul curiga. "Tidak. Ini hal lain. Ini sabotase hati." Sambara mengerlingkan salah satu matany. Menggoda Paul yang kebingungan. Paul menatap Sambara ngeri. Pikirannya melayang pada kemungkinan Sambara menyukai pria bernama Gery. Ingin mengungkapkan kengeriannya tapi tentu ia tak berani. Itu melanggar batas. Pimpinannya memiliki kehidupan yang harus oa jaga. Meski kehidupan itu tidak normal. "Kenapa, Pak?" tanya Sambara heran dengan diamnya Paul disertai ekspresi aneh tidak jelas. "Oh. Tidak. Tidak ada apa-apa, Mas. Saya ke HRD sekarang," ujar Paul cepat. "Pak. Ingat. Carilah alasan lain yang ambigu dan jangan terkait dengan saya. Dan yang terpenting tidak boleh ada yang tau kalau saya sedang mencari nama Gery, terutama rahasiakan ini dari Deon. Paham?" Paul mengangguk dan tersenyum kecut. "Ini akan jadi rahasia saya dan Mas Sambara." Sambara tersenyum lebar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD