Chapter 66

2569 Words
Akhirnya pesan darinya datang. *** Mata Sambara terasa panas dan pedih. Ia sampai harus memijat bagian puncak batang hidungnya, di antara kedua alisnya, agar bisa meredakan rasa tak nyaman akibat terlalu tegang dan fokus menatap layar komputer. Data perihal Gery sudah dikirim kepadanya. Ternyata begitu banyak karyawannya bernama Gery dan itu untuk di pusat saja. Yang membuat menjadi lebih pening adalah, Sambara tidak tahu Gery yang mana yang dimaksudkan. Saat menemukan Kahayang yang akan menangis, ia hanya melihat punggung seorang pria. Sambara hanya melihat sosoknya dari belakang. Ia tak bisa memperkirakan bagaimana bagian depan alias wajah Gery sebenarnya. Sambara kemudian bepikir untuk menyortir sosok bernama Gery berdasarkan fisik. "Kan mana mungkin Kahayang yang model begitu memilih kekasih sembarangan," gumam Sambara. Justru karena Kahayang yang model begitu, dia bisa aja milih kekasih sembarangan. Asal ada yang mau aja sama dia, sahut hati Sambara. "Tapi..., dia banyak yang mau harusnya...." Sambara teringat bagaimana mungilnya Kahayang dengan rambut yang dipotong pendek, membuat gadis itu seperti remaja sekolah. Sambara juga teringat bagaimana pipi Kahayang akan seperti berbintik-bintik kemerahan saat sedang kapanasan dengan bulir-bulir keringat kecil di kening. Sambara juga teringat bagaimana bibir Kahayang yang sedikit bulat berwarna merah jingga yang sering kali dibasahi dengan jilatan bibir. Kahayang cantik.... Seksi juga.... "Eh!" Tubuh Sambara tersentak dan sedikit malu dengan hati dan pikirannya yang dengan sengaja membayangkan sosok Kahayang. "Sinting! Sinting! Sudahlah." Sambara mematikan komputernya. Masih bisa lain hari ia mencari tahu yang mana Gery. Toh pria itu ada di kantornya ini. Sambara memeriksa jam tangannya. Sudah akan jam tujuh malam. Sudah waktunya makan malam. Sambara berdiri, mengambil jasnya yang digantung tapi tidak dikenakan, hanya disampirnya di tangan. Di luar ia mempersilakan Desi dan Paul untuk pulang jika semua sudah beres. Mendekati lift, Sambara melihat Deon yang juga akan pulang. "Langsung pulang?" tanya Sambara sembari masuk ke dalam lift diikuti Deon. "Tidak." Deon menoleh pada Sambara dan mengedipkan sebelah mata. "Kencan." "Kencan?" Sambara seketika mulai curiga ini ada kaitannya dengan Kahayang. "Ya. Saya akan makan malam di rumah Kahayang." "Oh, ya." Sambara hanya bisa meluapkan rasa terkejut di dalam hati, sednagkan ekspresi wajahnya dibuatnya biasa saja. Sambara berharap aktingnya bisa mengelabui Deon. Ia tak ingin terlihat terlalu terkejut apalagi terlalu kecewa. Karena seharusnya ia makan malam di rumah Kahayang. "Mau ikut?" Sambara melongo. Bingung apa yang dipikirkan Deon sampai ingin mengajaknya makan malam bersama di rumah Kahayang. Keduanya adalah pesaing saat ini tentang Kahayang. Rasanya lucu saja jika sesama pejuang mendatangi target yang sama. "Tidak. Saya akan pulang. Lelah." Deon mengangguk-angguk tetapi dalam hati bersorak senang. Ia yakin jika Sambara pasti sedang sangat kecewa mengetahui dirinya akan makan malam di rumah Kahayang. Jika dirinya kalah langkah perihal pertemuan, maka kali ini Deon memastikan sudah menyeimbangkan kedudukan dengan lebih dulu akrab terhadap seluruh anggota keluarga Kahayang. "Oh, ya. Apakah anak-anak perusahaan selalu melaporkan inovasi-inovasi produksi?" tanya Sambara. "Ya. Kenapa?" "Tidak apa." Sambara langsung tahu kalau Deon kemungkinan melakukan pengabaian pada beberapa anak perusahaan yang dipegang orang tuanya. Atau kemungkinan Deon sudah disetir. "Apa ada sesuatu? Apa ada anak perusahaan yang mengembangkan inovasi dan belum membicarakannya dengan saya?" "Saya hanya ingin tahu saja." Sambara memilih kelimat itu dari pada kata singkat 'tidak'. Jika ia menjawab 'tidak' maka ia akan berdusta dan suatu hari nanti saat dibuka akan terlihat seolah dirinya sedang menjebak Deon. Pintu lift terbuka dan Deon menepuk lengan Sambara. "Hati-hati." Deon akan berbelok ke arah parkir bukan ke lobi yang langsung ke pelataran depan. "Lho, gak pakai sopir?" Jika Deon langsung ke parkir, sudah dipastikan Deon membawa mobilnya sendiri. "Mau kencan kok pakai sopir. Sudah saya suruh dia pulang. Duluan, oke." Deon tertawa senang dan melangkah ringan menyusuri lorong menuju parkiran khusus eselon tinggi perusahaan. Setelah menghela napas, Sambara melangkah menuju lobi dan langsung ke pelataran depan di mana mobilnya bersama sopirnya sudah menunggu. Paul pasti sudah menginformasikan kalau Sambara sudah turun dan akan pulang. Di dalam mobil, Sambara seketika kehilangan semangat. Dia melamun saja menatap keluar. Ada perasaan aneh menyadari Kahayang akan makan malam dengan Deon. Entah apa. *** Kahayang turun dari kamarnya di lantai atas dengan tampilan yang lebih segar karena sudah selesai mandai dan berias tipis-tipis. Dengan sengaja ia pulang duluan dari toko bunga hanya agar ia bisa bebersih diri dan tentunya memberikan penampilan yang tidak kucel. Ia langsung menuju ruang makan sederhananya dan menata meja. Meletakkan piring-piring, gelas dan sendok garpu di meja yang disusun berdasarkan banyak jumlah kursi. Kemudian ke dapur untuk mengambil nasi dan lauk-pauk untuk ditata di meja. "Wow. Kinclong sekali." Ida menatap putrinya yang memindahkan nasi dari pemanas nasi ke wadah untuk nasi dengan takjub. Kahayang cukup tomboy dan sedikit tak peduli akan dirinya sendiri. Gadis itu akan berias jika yang ditemuinya adalah seseorang yang dianggap penting baginya, Gery misalnya. Pada Sambara saja, Kahayang tampil dengan apa adanya. Kini pada Deon, Kahayang berias. "Ya kan mau ada tamu," ujar Kahayang biasa saja meski dalam hati agak malu. Kahayang ingin memberikan tampilan terbaik untuk Deon. Entah kenapa, padahal ia tak begitu pada Sambara. Tapi kemungkinan terbesarnya adalah karena Deon sudah menyatakan perasaannya dan Kahayang sedang bimbang. Lebih bimbang lagi karena Gery sampai sekarang belum juga menghubunginya. Membalas pesan pun tidak. "Tapi, gak biasanya begini. Sampai dibela-belain pulang awal dari toko." Lia keluar dari dapur dengan mebawa semangkuk sayur bayam, diikuti Kahayang yang membawa baskom khusus berisi nasi. "Memangnya kita sering menerima tamu di rumah?" tanya Kahayang. "Iya, sih." Lia berkacak pinggang didepan Kahayang. Tersenyum menggoda putrinya. "Kamu suka sama Deon?" "Apa sih, Ma!" bentak Kahayang yang langsung bergegas ke dapur lagi dengan wajah malu. Sedangkan Lia justru tertawa lebar. "Cinta segi banyak kayaknya." Lingga tiba-tiba muncul dan langsung duduk di kursinya. Karena belum mulai makan dan ayahnya masih di depan menunggu Deon, Lingga tetap asyik dengan ponsel pintarnya. "Hahaha.... Segi tiga," ralat Ida untuk celetukkan Lingga. "Itu si Sambara gak dihitung?" "Oh iya, hahaha.... Seru juga." "Apanya seru, sih. Dan kalian kenapa ngegibah," ujar Kahayang sewot. Kali ini ia membawa dua piring berisi gorengan daging empal dan dadar jagung. "Memangnya kamu gak tergoda?" goda Lia lagi sembari mengerlingkan mata. "Ma. Mama mending ganti baju. Kan habis masak." Kahayang kembali ke dapur. "Mama kan pakai celemek. Lagian kenapa harus ganti baju, sama Sambara aja, Mama gak ganti baju." Kahayang muncul dengan membawa sambal. Menu terkahir yang disajikan. "Sambara lain. Dia bukan tamu." "Trus apa?" tanya Lia. "Orang yang numpang makan." "Eh, dia bayar lho untuk makanannya. Jadi gak numpang." Lingga mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke tatanan piring di meja. "Kurang satu piringnya." Lia ikut menghitung tatanan piring di meja. "Lho, iya. Sambara gak dihitung?" "Kursinya kan gak ada lagi. Lagian kalau Sambara liat ada tamu, masak ia dia tetap masuk? Apalagi tamunya kan bosnya. Pasti sungkan dan balik ke rumah Opa Edwin." "Kalau Sambara yang datang duluan, bagaimana?" tanya Lingga. "Nah iya, bagaimana?" "Biar dia makan di sofa depan," jawab Kahayang tak peduli. Terdengar Andin bercakapcakap. Dari suara asing satunya, bisa diduga itu Deon. Ketiganya menghentikan perdebatan dan menunggu kemunculan Andin dan Deon. Deon tersenyum lebar saat bersirobok pandang dengan Kahayang. Ia datang dengan membawa buket coke yang cukup besar yang mana di bagian pinggirnya dikelilingi buah Strawberry yang besar-besar dan terlihat sangat segar. "Selamat malam, Tante, Ayang, nggg...." Deon tak ingat nama adik lelaki Kahayang. Sedikit meresahkan Deon karena seharusnya ia ingat untuk menunjukkan ia cukup mengenali seluruh anggota keluarga Kahayang. "Lingga. Adik satu-satunya, Ayang," jelas Andin yang langsung menepuk pundak Deon dan mempersilakannya masuk lebih dalam. "Wah, bawa cokelat besar," seru antusias Lia. "Tapi pasti bukan buat Tante." "Buat Tante." Deon menyodorkan buket cokelatnya. "Karena saya tau Tante sangat suka cokelat dan Strawberry." Lia menerima buket cokelat Deon dengan sumringah. Ia memang suka cokelat dan buah masam manis itu. Tapi, tak hanya dia, semua di keluarganya suka. "Maaf. Tidak ada buat, Ayang. Tapi saya akan menebusnya, besok Sabtu." Deon langsung menetapkan hari. Ia tak mau kecolongan dengan Sambara apalagi kekasih Kahayang yang ia belum tahu namanya. "Tidak apa. Kedatanganmu sudah cukup," basa-basi Kahayang yang terdengar justru melambungkan perasaan Deon. "Kita bisa makan sekarang?" tanya malas Lingga. Ia semakin tidak respek terhadap Deon yang begitu saja melupakan namanya. Ia membandingkan Deon dengan Sambara. Bahkan lelaki itu peduli pada sekolahnya selain Sambara juga ingat namanya. "Oh, iya. Ayo duduk, Deon." Andin kembali mepersilakan Deon duduk. Deon duduk di sebelah kanan Andin karena di sebelah kiri Andin sudah duduk Lingga. Kahayang duduk di sebelah Deon dan kemudian Lia. "Sambara belum datang?" Pertanyaan Andin yang biasa saja, menyentakkan perasaan Deon. Rasa iri dan tidak suka menyusu. Cara bertanya Andin seolah Sambara adalah sosok yang paling dinanti. "Belum," jawab santai Lia. "Mungkin telat. Pasti antar Pak Edwin Bimantara pulang dulu, ya?" Lia menatap Deon. Dalam posisi ini Deon bukan hanya tidak suka tetapi juga kesal karena akhirnya ia harus mengikuti permainan Sambara. Ini seperti ia harus memilih berbohong saja mengikuti Sambara yang artinya ia menjadi kaki tangan Sambara. Untuk yang ini tentu Deon muak. Cukup di jenjang perusahaan saja ia kalah dan menjadi bawahan Sambara. Namun, berkata jujur juga bisa fatal untuk posisinya. Dengan sandangan sebagai CEO pasti membuat Sambara pada posisi puncak untuk dipilih sebagai calon mantu ideal. Ini tidak bisa begitu. Akhirnya Deon terpaksa memilih pertama. "Iya, Tante. Apa Sambara berjanji untuk datang makan malam, malam ini?" tanya Deon yang tatapannya lebih ke Kahayang. Gadis itu tak mengatakan apa-apa saat ia mengajukan untuk makan malam di rumah Kahayang. "Dia bilang akan sering makan malam di sini," sahut santai Kahayang. Benar-benar tanpa beban seolah itu wajar saja jika ia tak bilang pada Deon. Deon menggeram dalam hatinya. Dugaan dirinya kalau ia unggul, lagi-lagi kalah telak. Sambara sudah lebih cepat memikat keluarga Kahayang. Ditambah, Kahayang sangat terlihat tidak sungkan. Ini agak mengecewakan Deon, ini pertanda Kahayang tak peduli pada perasaannya. "Ya, katanya ia kangen masakan keluarga. Kasihan dia. Yatim piatu, 'kan?" tanya Lia. Brengsek. Ternyata dia pake cara itu. Melemahkan dirinya sendiri. Benar-benar licik, batin Deon kesal. "Iya, Tante." "Bisa kita makan?" tanya Lingga yang sudah mengulurkan tangan untuk mengambil nasi. Buru-buru Lia menepis punggung tangan putanya yang sudah terjulur. "Gak sopan. Kan ada tamu. Lagian kan papamu dulu." Lingga merengut, Kahayang mendelik, dan Andin tertawa kecil. "Ayo, ayo makan. Kalau nanti Sambara datang, kita bisa gorengkan ayam. Kan masih ada ayam bumbu di kulkas, Ma?" tanya Andin. "Beres itu. Ya udah. Ayo makan. Deon, makan sekedarnya ya. Semoga kamu suka." "Suka Tante. Apa aja yang dimasak Tante pasti saya suka. Karena masakan Tante memang terbaik," puji Deon setinggi langit. Tawa ringan pun pecah. Andin mulai mengambil makannya diikuti Deon dan lainnya. Deon memang terlihat senang. Dan ia harus mengakui, masakan sederhana Lia memang sangat enak. Tapi, meski begitu, hati dan pikiran Deon terus pada Sambara. Jika Sambara terus bergerak cepat, ia bisa kalah. Kelicikan Sambara harus bisa ia balas dengan kelicikan. Diam-diam Deon berharap, Sabtu nanti ia bisa menembus hati Kahayang. Kemudian ia teringat informasi dari Anes jika Kahayang sedang gelisah perihal kekasihnya. Setelah makan, Deon berharap jalannya mulus. Ia akan menjadi sandaran bagi Kahayang. *** Deon dan Kahayang duduk-duduk di teras rumah. Menikmati taman kecil sederhana yang ditumbuhi bunga. Menikmati keramaian anak-anak kecil yang bermain dan menganggap jalan adalah milik mereka. Menikmati permainan gitar asal genjreng dengan suara segerombolan pemuda yang menyanyi asal keluar suara. Riuh. Tapi, Deon tak ada pilihan. Ia melihat Kahayang yang sepertinya setengah melamun melihat keluar, jauh di luar pagar. Ini kesempatan Deon. "Ada masalah?" tanya Deon pelan. Deon nekat menggenggam jemari Kahayang yang menggantung di sandaran kursi. Beruntung Kahayang tak marah. Kahayang menghela napas. Remasan jemari Deon rasanya memang yang paling dibutuhkannya. "Apakah kamu pernah menginap di rumah seseorang? Teman mungkin." Deon bersorak. Sudah menduga kurang lebihnya apa yang akan dibicarakan Kahayang. Pertanyaan gadis itu adalah pembuka bagi dirinya masuk. "Tidak pernah." Kahayang terkesima. Deon lelaki dan jawaban Deon berbeda dengan Sambara. "Kenapa?" "Ya, karena saya tidak punya alasan untuk menginap di rumah siapa pun." "Termasuk teman baik?" "Ya. Termasuk teman baik." "Mmm..., kalau kamu kecapekan atau kelelahan, misal mengerjakan apa gitu. Apa kamu akan menginap?" "Tidak, Ayang. Kenapa?" Kahayang terdiam sejenak. Berpikir untuk menyusun kata tanya yang tepat. "Kira-kira kalau orang sepertimu tidak pernah menginap di rumah siapa pun, tapi kemudian kamu menginap di rumah teman, kira-kira karena apa?" Pertanyaan yang berputar-putar. Deon semakin tersenyum lebar karena ia bisa mencuci kepala Kahayang dan membuat gadis itu memutuskan kekasihnya. "Mmm..., kalau sampai akhirnya saya menginap, karena alasannya saya ingin dekat dengannya. Dengan lingkungannya." "Kenapa begitu?" "Laki-laki dewasa tak punya alsan untuk menginap lagi di rumah teman. Kalau jaman sekolah, bisa saja begitu. Tetapi setelah kami dewasa, akan tidak nyaman menginap di rumah cowok. Menginap di rumah wanita, ini lebih menggiurkan. Well, tidak munafik. Tapi memang itu lebih menjadi pilihan. Meski saya tidak begitu, ya." Kahayang terlihat antusias. Ia sampai memutar tubuhnya agar bisa lebih jelas menatap Deon di sisinya. "Jadi, lelaki dewasa yang tak pernah menginap, tapi kemudian menginap di rumah seseorang, apa itu artinya ia menginap di rumah teman wanita?" "Ya. Jaman sekarang kan dah biasa wanita-wanita mandiri yang tinggal sendiri. Mereka bisa saja mengundang masuk pria yang diinginkan. Asal prianya mau." Kahayang tercenung. Tiga orang sudah memberikan jawaban senada. Kahayang mengabaikan permintaan Sambara untuk tak bertanya ke sana kemari, melainkan tanya langsung pada Gery. Tapi, masalahnya Gery tidak memberikan jawaban apa-apa. "Kenapa, Ayang. Coba cerita sama saya." "Dia menginap di rumah entah siapa untuk pertama kalinya. Perasaan saya tidak nyaman dan curiga. Saya mencoba bertanya dengan menelpon dan mengiriminya pesan. Tetapi dia tak menerima telpon saya dan juga tak membalas pesan saya," ujar Kahayang sendu. "Itu tandanya dia tak ingin membicarakannya." "Begitu?" "Ya. Dan ada kemungkinan tuduhanmu benar. Karenanya dia memilih diam saja. Laki-laki begitu Ayang. Saat kami ketahuan salah, hanya akan ada dua sikap. Berbalik marah dengan cara brutal atau memilih diam saja." "Begitu, ya." Kahayang semakin kacau. Ia ingin mengetahui sebenar-benarnya, tapi ia tak ada daya. "Kahayang. Jangan siksa dirimu untuk pria yang tak bisa menghargaimu. Jika itu saya, meskipun saya salah, saya akan memilih mengakuinya padamu dan minta maaf. Tidak membiarkanmu terobang-ambing dalam gelisah. Karena cinta tak semestinya membuta sakit bagi lainnya." Kahayang diam. Jika sampai tiga orang sepakat akan Gery yang kemungkinan menginap di rumah wanita lain, ditambah perasaan Kahayang yang sudah curiga, maka sudah diyakini Kahayang kalau Gery selingkuh. Sebulir air mata jatuh. Kahayang merasa telah dibuang oleh Gery tanpa ada kata putus. Deon segera merapatkan kursinya dan merangkul Kahayang. Memberikan dadanya untuk sandaran Kahayang. Mepersilakan air mata Kahayang mengalir dalam pelukannya. Deon adalah penyelamat hati Kahayang. *** Di kamarnya, Gery membaca pesan-pesan Kahayang dengan perasaan tak menentu. Kahayang sudah tahu kalau ia menginap dan Gery yakin itu dari ibunya yang memang tadi pagi sudah mencurigai Kahayang. Gery sudah wanti-wanti agar Ida tak perlu mengkonfirmasi ke Kahayang. Tapi, ibunya sangat keras kepala. Kahayang sudah menuduhnya dengan jitu jika ia menginap di rumah seorang wanita. Ternyata benar jika wanita memiliki perasaan yang jeli. Sedarian tadi Gery berpikir bagaimana bicara dengan Kahayang. Dirinya enggan menerima telpon juga enggan membalas pesan saat ia di kantor, jika ini kaitannya dengan kecurigaan Kahayang. Ia memilih mendiamkan agar dirinya tenang dulu. Jauh di lubuk hatinya, Gery belum mau berpisah dari Kahayang. Biar bagaimana, Kahayang masih yang paling baik di antara banyak wanita. Gery kemudian menulis pesan saja untuk Kahayang. Gery: Saya menginap di rumah teman karena benar-benar lelah. Kamu tak ingin saya celaka hanya karena menyetir dalam keadaan mengantuk, bukan? Maaf, saya tidak memberitahukanmu hanya agar kamu tidak khawatir. Jangan berpikir ke mana-mana. Saya tidak ada teman wanita. Tidurlah. Saya juga mau istirahat. Besok siang kalau sempat, kita makan siang di luar, ya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD