Chapter 67

1479 Words
Calon besan yang mengerikan. *** Beberapa kali Lia dan Andin berhenti, menyapa, dan mengobrol ringan dengan beberapa orang yang kebetulan berpapasan dengan keduanya dan mengenali. Senyum tak lepas dari wajah keduanya yang berkeringat dengan bulir-bulir kecil. Tak banyak karena udara sejuk pagi yang mataharinya masih berupa semburat tipis, segera menghapus keringat. Lia dan Andin selalu menyempatkan olahraga pagi meski tidak tiap hari. Keduanya akan jalan sehat sejak setelah adzan subuh atau masih petang. Pulangnya, keduanya akan membeli kue-kue basah atau juga nasi bungkus untuk sarapan pagi. Seperti pagi ini, Lia dan Andin sudah selesai jalan sehat dan akan pulang. Di tangan Andin sudah membawa beberapa bungkus kantong plastik berisi belanjaan kue-kue basah, gorengan, dan nasi bungkus. Dari arah berlawanan, keduanya melihat sosok Ida yang juga membawa beberapa bungkus kantong plastik. Seketika Lia menjadi tidak nyaman. Ida memiliki bibir yang tajam, suka menyindir, dan merendahkan diri sendiri untuk melambung. Tipikal wanita menyebalkan. "Punya topeng?" tanya Lia lirih dengan wajah sengaja menunduk. Andin hanya tersenyum geli menahan tawa atas kegelisahan Lia. "Udah, jangan begini. Malah gak enak nantinya. Itu orangnya makin dekat. Pagi, Bu Ida." Lia memperbaiki sikap. Ia tersenyum kaku dan ikut menyapa Ida seperti suaminya. "Wah, habis olahraga berdua, ya? Mesra sekali," ujar Ida dengan mimik wajah sinis meski tersenyum lebar. Mimik wajah yang membuat Lia ingin muntah. "Hanya jalan-jalan pagi saja, Bu." Andin menjawab sangat ramah meskipun dalam hati juga tak nyaman. "Abis belanja, Bu?" Ida tersenyum sembari mengangkat sedikit belanjaannya. "Yah, beginilah saya setiap pagi. Harus menyiapkan sarapan, makan siang, dan makan malam. Kalau bukan saya, siapa lagi," Ida terkekeh sendiri. "Beli kue?" "Oh ini. Iya, Bu. Untuk sarapan anak-anak," jawab Andin. "Enak, ya Kahayang sama Lingga. Punya orang tua lengkap. Gak bingung mikir makan. Pagi hari saja mereka bangun, sudah tersiap sarapan macam-macam." Mulai. Terus aja begitu. Lumayan nanti pulang bisa b***k lancar, gerutu Lia dalam hati. Sedari tadi ia memilih tak bicara. Menahan diri agar tak terjadi adu mulut seperti yang sudah-sudah. "Sama aja. Gery juga pasti paginya gembira. Karena ada seorang ibu yang sudah belanja dan menyiapkan sarapan baginya. Ibu Ida belanja bukan untuk orang lain, 'kan?" tanya Andin sangat manis. Sebuah sindiran yang membuat Lia tertawa dalam hati. "Kami permisi pulang dulu, Bu. Anak-anak kami menunggu. Gery juga pasti menunggu ibunya. Permisi." Andin menarik tangan Lia. Lia hanya mengangguk pada Lia dan memberikan senyuman termanisnya. Pagi ini ia tak perlu repot-repot berargumen. "Kahayang apa gak bisa putus aja sama Gery. Kasihan anak itu kalau masih sama Gery. Punya mertua model begitu, tiap hari Kahayang akan dijejali kata-kata sindiran," ujar Lia setelah jauh dari Ida. "Udah. Jangan ikut campur perihal pilihan hati anak-anak. Kita kan sudah sepakat begitu." "Ya, kita gak ikut campur. Tapi kita kalau bisa kasih arahan atau batas-batas, gitu. Papa mau gitu Kahayang dinyinyirin seperti tadi? Perkara belanjaan saja, bisa ke mana-mana. Orang tua lengkaplah, anulah." "Kita bicarakan saja baik-baik. Eh, Ma. Tapi Gery sudah lama gak kelihatan, ya?" Lia terdiam. Mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia bertemu Gery. "Iya, ya, Pa. Kayaknya sejak anak itu naik jabatan dan pindah ke kantor pusat." "Sibuk mungkin." "Halah. Sok sibuk atau apa?" "Sudah, sudah. Kalau memang ada apa-apa antara keduanya, Kahayang kan pasti cerita." "Pa. Papa lebih sreg siapa? Sambara atau Deon?" tanya Lia antusias. "Lho. Kenapa jadi tiba-tiba begini? Mama mau jodohin Kahayang sama salah satunya?" Lia tersenyum dan mengangguk dengan semangat. "Bagaimana, Pa? Keduanya lebih berpotensi dari pada Gery." "Ah, kamu. Kita kan belum tau keluarganya. Untuk Deon, ya hanya tau-tau gitu aja karena dia dari kalangan orang besar. Tapi, gimana kalau ternyata ibunya Deon lebih parah dari ibunya Gery?" "Makanya, sata lebih sreg sama Sambara. Dia mengingatkan saya sama kamu, Pa." "Iya gitu? Pasti tampannya, ya?" goda Andin. "Idih. Udah tua juga." Lia cemberut dan melangkah cepat meninggalkan Andin yang tertawa tergelak. Rumahnya sudah di depan mata. Lia belum tahu bagaimana perasaan Andin pada dua orang pria yang baru-baru saja masuk dalam kehidupan putrinya. Tak sulit bagi Andin untuk tahu jika keduanya memiliki minat sendiri terhadap Kahayang. Tapi, entah apa, ada sesuatu yang mengganjal. Andin hanya tidak tahu apa itu. *** Tubuh Sambara yang bertelanjang d**a, sudah bersimbah dengan keringat. Pagi ini ia olahraga berat. Push up, sut up, spider crawl, dilakukannya dengan tiga set yang masing-masing dengan hitungan tiga puluh sampai lima puluh kali. Sambara merasa perlu membakar energinya agar tidak lari-lari ke sosok Kahayang. Ia ternyata penasaran akan apa yang dilakukan Deon dan bagaimana perasaan Kahayang terhadap Deon. Mengingat bagaimana Kahayang tak terlalu suka padanya, sepertinya Sambara harus bersiap-siap undur diri. Ia tak khawatir dengan kedudukannya. Andai pun nanti setelah Kahayang hamil, dia harus mengundurkan diri dan melepas sebaian besar sahamnya, Sambara tak khawatir. Ini karena orientasi hidup Sambara bukanlah materi. Dia masih berprinsip kalau uang bisa dicari. Apalagi, Sambara memiliki perusahaan sendiri yang tidak terkait dengan Bimantara Grup. Ia hanya merasakan hal berbeda saja. Ada kekhawatiran sendiri akan keluguan Kahayang. Ini adalah permainan adan Kahayang di tengah-tengah. Sambara memikirkan tentang Kahayang yang pastinya akan melibatkan hatinya yang tulus. Gadis itu pasti akan terluka jika ia tahu hanya menjadi objek mainan saja. "Seksi begitu untuk Kahayang?" Sambara yang baru mengeringkan keringat dengan handuknya, menoleh ke arah asal suara. Edwin Bimantara menuruni tangga taman dan menuju kolam di mana Sambara baru saja selesai olahraga. Ia terus terkekeh kecil melihat cucu kesayangannya itu. "Laki-laki seksi memang idaman wanita, ya." "Mungkin." Sambara duduk di kursi santai dan meminum jus jeruknya. "Penyihir yang satu itu tidak jelas dengan seleranya." "Hahaha.... Tidak jelas atau kamunya bodoh tidak tahu apa yang disukai Kahayang." Sambara tidak pernah tersinggung dengan kata-kata Edwin. Ia cukup pandai memilah mana yang hanya ucapan kedekatan yang tanpa maksud dan mana yang memang tertuju dengan maksudnya. "Sepertinya dia tidak suka saya, Opa." Sambara menghela napas. "Karena dia punya kekasih." "Opa tau?" "Kan ngobrol." Edwin yang juga sudah duduk di kursi santai sebelah Sambara, membungkuk sedikit agar jaraknya lebih dekat dengan cucunya. "Sebelum ada janur yang melengkung...." "Halah, Opa. Idiom basi," potong Sambara yang dibalas kekehan Edwin. "Kamu harus punya taktik melumpuhkan hati Kahayang." Sambara diam seperti sedang berpikir. Ia ingin terus terang saja pada opanya, tentang sikap apa yang perlu ia ambil untuk sayembara ini. "Opa. Terus terang saya tidak tega menjadikan Kahayang objek sayembara. Dia kan punya hati. Biarkan saja mengalir dengan sendirinya." "Lambat kamu," keluh Edwin yang sebenarnya sejak semula sangat antusias dengan Sambara. "Jangan memaksa sesuatu yang tidak bisa dipaksa, begitu kan kata Opa dulu saat Mama memaksa saya sekolah ke luar negeri saat SMP tapi saya tidak mau." Edwin menghela napas. "Tapi, ini lain." "Hehehe.... Jika memang saya punya jalan dengan Kahayang. Jika memang sayembara ini untuk saya. Pasti dengan sendirinya yang harus terjadi akan terjadi." "Halah basahamu." Edwin engibaskan tangan kesal. Beberapa pelayan datang bersama Supeno. Mereka membawakan sarapan untuk Edwin dan Sambara. "Kita gak makan di dalam, Opa?" "Males. Di sini aja enak. Saya pingin tenang." Sambara menatap Edwin penuh arti. Pasti berat tinggal bersama Diana yang begitu arogan. Sakit hati yang dipupuk sekian lamanya, membuat Diana membenci banyak hal yang akhirnya menciptakan ketegangan terus-menerus. Memikirkan Diana, Sambara teringat akan Roy, suami Diana. Juga pada Ed Tech. Saat ini ia dan Azka sedang sama-sama mengumpulkan bukti dan saling bertukar informasi. Masalahnya, jika itu benar bahwa ada sabotase yang dilakukan pihak Ed Tech, Sambara tidak yakin akan apa yang harus ia lakukan. "Opa." "Hmmm...?" Edwin tak mengangkat kepalanya melainkan mengaduk kopi hitamnya dan menyeruputnya perlahan. "Misal Opa masih CEO dan salah satu kerabat Opa melakukan kesalahan fatal terkait perusahaan dan nama perusahaan, apa yang akan Opa lakukan?" Edwin mengangkat kepalanya dan mengernyit bingung. "Kamu bicara apa? Ada sesuatu?" "Tidak. Tidak ada sesuatu. Hanya bertanya saja." Sambara tersenyum lebar, mencoba menutupi gelisahnya. Ia mengoles roti bakarnya dengan selai cokelat dicampur dengan selai kacang. Edwin tak percaya begitu saja. Pasti ada sesuatu terjadi di perusahaan. Menekan Sambara untuk berkata jujur adalah kemustahilan. Ia yakin cucunya sedang mengalami sesuatu terkait anak perusahaan yang sebagian besarnya dikelola orang-rang terdekat. "Bertindak tegas. Tidak peduli bahkan jika itu anak sendiri." "Meski itu nanti akan menjadi konflik seumur hidup?" "Ya. Perusahaan itu ibaratnya adalah negara. Di dalamnya bukan hanya tentang kita saja Sambara. Ada banyak orang yang tergantung pada kita. Kalau tindakan satu orang bisa meruntuhkan perusahaan, dan mengakibatkan banyak orang ikut kena imbasnya, ya baiknya mematahkan satu orang tak berguna itu untuk menyelamatkan ribuan orang." Sambara terpaku. Edwin Bimantara memang dikenal tegas. Apapun dasar kebijakannya dalam membuat keputusan, selalu dilatari pemikiran yang tajam dan pertimbangan yang matang. Contohnya saat memilih Sambara sebagai CEO. Edwin sudah membeberkan alasannya. Ia tak memilih satu di antara cucunya dengan landasan hirearki kekeluargaan. "Kenapa?" tanya Edwin. "Gak pa-pa." Keduanya akshirnya sarapan dengan pembicaraan yang lebih santai. Sampai makanan Sambara habis dan dia berpamitan untuk mandi. Edwin terus memandangi kepergian Sambara sampai bayangannya menghilang. "Peno." Supeno yang berdiri tak jauh dari Edwin, bergegas menghampiri. "Ya, Tuan." "Selidiki apa yang sedang terjadi di internal pusat. Tanyakan Paul diam-diam." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD