Chapter 6

329 Words
Aku ini lagi rindu. *** Bunyi denting bel pintu dibuka, membuat Kahayang menoleh dan langsung melotot. Ia tak menduga akan siapa yang datang. Senyumnya terbit begitu lebar. Ia yang tadinya sedang memilih bunga krisan, segera berdiri dan menghambur ke pelukan si tamu. "Gery. Kamu datang?" tanya Kahayang bersemangat tanpa melepaskan pelukannya. Gery mengelus pucuk kepala Kahayang. "Kalau gak datang, nanti kamu rewel." Keduanya pun tertawa. Kahayang kemudian memeriksa waktu dari jam tangannya. "Waktunya makan siang. Kita makan siangnya pesan, ya. Elis lagi antar bunga ke pelanggan." "Mmm..., saya gak bisa lama, Ayang." Seketika mendung menggayut di wajah cantik Kahayang. Gery segera menangkupkan kedua tangannya di kedua pipi Kahayang. "Saya tadi ada urusan pekerjaan di sekitar sini dan saya mampir untuk melepas kangen." "Mampir cuma sekian menit, buat apa? Mending gak usah aja." Kahayang melepaskan tangan Gery dan berbalik menuju meja untuk menata bunga. Ia memilih menyibukkan diri merangkai bunga. "Kamu kok gak bersyukur, sih. Saya datang, kamu giniin. Ini saya sempat-sempatin menemuimu di sela kesibukan saya." Kahayang diam. Ada sedikit rasa sesal menyelip. "Maaf. Tapi kamu selalu saja sibuk." "Kan buat masa depan kita. Dan lagi ini resiko pekerjaan. Semakin tinggi jabatan, semakin banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan." Ponsel Gery berdering. Hanya sekilas Gery memeriksa, tetapi ia tak mengangkatnya. Dihampirinya Kahayang. "Saya pergi dulu. Pekerjaan sudah memanggil." Dikecupnya kening Kahayang dengan lembut. "Bagaimana kamu tahu itu pekerjaan? Kamu belum periksa ponselnya," tanya Kahayang dengan nada kesal. "Sudah pasti ini pekerjaan. Nanti saya telpon kamu, ya!" Gery berseru saat di ambang pintu dan melangkah cepat sebelum Kahayang sempat mengeluarkan kata lagi. Kahayang melepaskan napas kesal. Perasaannya tidak enak. Ada yang salah dengan ponsel yang tidak diangkat. Tapi Kahayang tidak tahu apa yang salah. Dari pada berpikir negatif, Kahayang kembali menuju ke ember tempat bunga krisan. Terdengar lagi bunyi denting bel pintu, Kahayang tersenyum lebar. Ia tak segera memutar tubuhnya. Dengan sengaja menunggu Gery mendekat. Kahayang bisa merasakan langkah perlahan yang mendekat, membuat jantungnya berdebar-debar. Ini seperti menanti sebuah momen. Saat langkah kaki itu terhenti, Kahayang segera berdiri dan secepat kilat berbalik. Ia langsung memeluk dengan sangat erat. "Saya sayang kamu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD