Chapter 7

764 Words
Yang tak terduga itu manis. *** Sambara melihat seorang pria keluar dengan terburu-buru dan menyeberangi jalan dengan setengah berlari. Sempat terpikir dia telah melakukan tindakan kriminal dari dalam toko bunga. Tapi, melihat pakaiannya yang rapi, penampilannya yang tidak sembarangan, sulit untuk mengatakan pria itu pencoleng. Sambara tak mendengar apa-apa dari arah dalam toko bunga. Begitu tenang. Kembali Sambara mengikuti arah perginya si pria yang keluar dari toko bunga. Pria itu kini justru menggandeng pinggul seorang wanita dan membawanya masuk ke dalam mobil. Ooo.... Buru-buru menemui kekasih. Tapi, kenapa keluar dari toko bunga, tidak membawa bunga? Sambara hanya geleng-geleng kepala dan berkesimpulan kalau bunga yang diinginkan tak dijual di toko bunga "Kahayang". Pria dengan potongan rambut slanted sweep hairstyle, memutuskan masuk ketimbang mengurusi orang tak dikenal. Ia sempat celingukan, karena tak mendapati siapa pun. Tetapi mata elang Sambara cepat menangkap bayangan wanita berambut pendek, duduk jongkok di depan timba yang berisikan bunga-bunga krisan. Dengan senyum aneh, ia mendekati. Berniat menyapa dan membuat kejutan, Sambara justru dibuat terkejut lebih dulu dengan sikap si wanita yang tiba-tiba berdiri, memutar dan langsung memeluk tubuhnya. Ia juga heran bagaimana wanita muda ini begitu memahami tubuhnya karena kedua tangan si wanita bisa menyelusup di antara lengannya dan dengan santainya memeluk semakin erat. "Saya sayang kamu." Sambara menelan ludahnya sendiri. Jantungnya ia maki-maki untuk tak berdegup cepat. Ia tak mau kepala si wanita yang menempel di dadanya, bisa mendengar degup jantungnya. "Kamu masih rindu saya, 'kan?" tanya si wanita dengan suara yang mampu membuat Sambara limbung. "Ya, 'kan?" desak si wanita muda. "Iya, 'kan!?" Kali ini si wanita bicara dengan nada tegas sekaligus menuntut. Tak ada pilihan, Sambara harus menjawab. Saat mulut Sambara terbuka untuk menjawab, terdengar suara seorang wanita dari arah dalam toko. "Yang, orang kemarin u...dah...." Elis tertegun dan bicaranya menjadi terbata-bata saat melihat Sambara dipeluk Kahayang. Kahayang memutar kepalanya saja dan kembali menempel di d**a Sambara sembari tersenyum sangat manis ke arah Elis yang melotot. "Mmm...? Siapa?" Elis jadi kebingungan. Apalagi Sambara justru tersenyum singkat dan mengedikkan bahu. "Ayang..., sini!" Elis mendesis sekaligus melotot ke arah Kahayang. Kahayang menggeleng. "Mumpung sepi. Saya masih kangen. Siapa yang datang?" Kahayang kembali mengeratkan pelukannya. Elis tertawa canggung dan mendekati Kahayang sembari tetap melotot. Mencoba memberi kode-kode yang justru membuat Kahayang geli karena wajah Elis terlihat aneh dan lucu. "Ayang, sini!" pinta Elis melotot, suara dipelankan, tetapi nada ditekan. "Kenapa, sih? Iri?" Kahayang justru tertawa geli. Elis menggigit bibir bawahnya karena semakin gemas dan ingin menarik rambut pendek Kahayang. "Kamu lihat siapa dia?" Kahayang terdiam. Seperti orang yang baru disadarkan, Kahayang mencium aroma parfum yang tidak biasa. Ada wangi kayu manis dan itu bukan aroma parfum Gery. Perlahan Kahayang menengadahkan kepala dan tersentaklah Kahayang. Didorongnya sekuat tenaga tubuh Sambara. "Lepas! Lepas! Jangan peluk-peluk saya!" bentak Kahayang dengan mata melebar marah. "Siapa yang peluk? Dari tadi saya tidak memelukmu. Tanya temanmu," jawab Sambara kalem. Kahayang melirik ke arah Elis yang dibalas anggukan kepala dengan mimik wajah seolah bicara, "Sukurin kamu." Kahayang menggigit bibir bawahnya. Malunya sudah tak tertolong lagi. Tapi, ia tidak mau kalah. Kembali ditatapnya Sambara dengan tajam. "Ngapain ke sini? Bunga mawar birunya gak ada! Keluar!" Elis yang gemas, mencubit lengan Kahayang. Entah bagaimana ia menjaga matanya agar tak lepas dan menggelinding karena sedarian tadi Elis melotot. "Aduh! Sakit!" Kahayang mengaduh dan membelai lengan atasnya yang abis dicubit Elis. Sambara tak bisa menahan senyum gelinya sekaligus kasihan karena sepertinya Elis begitu bernafsu menghadapi Kahayang. "Ngapain senyum-senyum? Puas? Udah main peluk sembarangan," sengit Kahayang. "Itu lagi. Dikata saya gak meluk-meluk kamu. Tangan saya tidak ada menyentuh kamu, kok. Tuh saksinya." Sambara mengarahkan matanya ke Elis yang kemudian tersenyum pada Sambara dengan senyum canggung. "Halah. Gak ketahuan aja." "Memangnya kamu merasa saya peluk?" Kahayang langsung terdiam. Tersadar lagi kalau pelukannya memang tidak ada balasan. "Ahhh.... Gak tau. Gak tau. Sana pulang! Di sini gak ada mawar biru," usir Kahayang. "Saya gak pesan mawar biru, kok." Sambara menoleh ke arah Elis. "Sudah disiapkan, Mbak?" "Eh, iya ini. Sebentar ya, Mas." Elis langsung menarik Kahayang ke meja menata bunga. "Dia pesan selusin mawar Inggris dan dijadikan buket. Ayo, cepet!" "Gak mau," tolak Kahayang sembari menoleh ke arah Sambara yang melihat-lihat bunga. "Bilangin Tante kalau kamu mengecewakan pelanggan dan membuang rejeki," ancam Elis. "Ahhh...." Kahayang mengeluh. Dengan setengah hati ia membuat buket untuk mawar Inggris. Tak butuh waktu lama, buket mawarpun jadi. Meski emosi, Kahayang profesional. Rangkaian bunganya cantik dan untuk ini Sambara mengacungi jempol dalam hati. Kahayang tak sudi memberikan buketnya ke Sambara langsung, melainkan ke Elis. Kedua tangannya terlipat di d**a dan menatap tajam Sambara yang melakukan pembayaran ke Elis. Kahayang tak mau diintimidasi Sambara meskipun dia salah. "Makasih, ya, Mas. Sering-sering pesan di sini," ujar Elis manis. "Tentu. Saya pasti akan sering pesan di sini. Karena..., ada yang merindukan saya di sini." Sambara keluar dengan meninggalkan tawa manis yang terdengar maskulin. Membuat Kahayang semakin panas hati. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD