Chapter 8

1127 Words
Siapa pasangan siluman? ** Kahayang masih melipat tangannya. Wajahnya juga masih menyiratkan kekesalan. Ia mendelik ke arah Elis yang masih terus tersenyum dan masih mengintip dari balik jendela kaca, kepergian Sambara. "Keluar aja biar lebih jelas liatnya," ujar ketus Kahayang yang justru dibalas tawa cekikikan Elis. "Kamu kok marah-marah terus, padahal kan...." Elis melirik dengn senyum ditarik lebar hingga ujung gigi-gigi putihnya terlihat. "Kamu yang meluk-meluk dengan erat dan mesra." Kahayang terkesiap. Ia yang kesal kini diserang rasa malu lagi. Ia memalingkan wajah, memejamkan mata erat dan mengacak-acak rambutnya sendiri. "Arghhh...! Sial! Sial!Sial" Kahayang mengentak-hentakkan kaki. Sedangkan Elis hanya geleng-geleng kepala dan masih tertawa kecil. Tapi, tawanya seketika berhenti, saat tiba-tiba Kahayang menoleh denga kepala miring, Membuat sebagian rambutnya yang berantakan, menutupi wajahnya dengan cara menyeramkan. "Kok, dia bisa pesan mawar di sini?" tanya Kahayang sengit. Nadanya direndahkan, membuat Elis bergidik. "Kamu kenapa jadi serem gitu, sih, Ayang." Elis keluar dari meja kasir, mencubit kedua pipi Kahayang, dan meluncur ke tempat bunga sedap malam. "Suruhannya Bu Ratna nanti datang ambil sedap malam." Kahayang tak peduli. Ia menghampiri Elis yang sedang menyemprot bunga sedap malam. "Dia kok bisa pesan mawar di kamu?" Elis menoleh dan menaikkan alisnya. "Memang kenapa kalau pesan di saya? Kamu cemburu?" "Arghhh.... Bukan itu!" elak Kahayang kesal. "Intinya kenapa dia bisa pesan mawar Inggris? Kapan dia bilangnya?" "Tadi dia pesan mawar Inggris lewat telpon," jawab Elis yang tidak tega melihat raut aneh Kahayang. "Dia pasti sudah nelpon kamu duluan. Kan nomermu di atas." "Enggak. Gak ada telpon." "Masak, sih? Coba cek." Kahayang tak menemukan ponselnya di meja kasir atau di mana pun. Ia mencari-cari dengan bingung. "Ponsel saya di mana?" tanya Kahayang dengan wajah memelas. "Kamu sudah keluarkan dari tas?" "Gak tau?" Elis langsung menepuk jidatnya sendiri. "Ya, diperiksa dong di dalam tasmu," ujar Elis gemas. "Oh iya," ujar Kahayang santai. Ia mengeluarkan tasnya yang disimpan di dalam lemari kecil, di bawah meja kasir. Senyumnya terkembang lebar dan sambil mengacungkan ponselnya, ia berseru, "Ada!" Seketika Elis ingin mencekik sepupunya. "Mana? Gak ada?" Kahayang menunduk memerikasa daftar panggilan masuk di ponsel. Ada beberapa nomer yang asing. Elis menghela napas dan menghampiri Kahayang. "Kok, tahu kalau gak ada?" "Periksa aja sendiri." Kahayang menyodorkan ponselnya. Elis dengan malas menerima dan memeriksa. Ia masih ingat empat digit angka belakang nomer Sambara. "Ini apa?!" Elis menunjukkan dua belas angka nomer asing ke Kahayang. "Ooo.... Gak kenal nomernya." "Ya ampun, Ayang...." Elis menggumam gemas. "Gimana kamu bisa kenal nomernya kalau kamu belum simpan nomernya." "Oh iya." Dengan sangat santai Kahayang mengambil ponselnya dari tangan Elis. Ia mulai menyimpan nomer itu. Sejenak ia berpikir untuk memberi nama apa, kemudian cengar-cengir sendiri. Elis yang penasaran, mulai mendekat dan mengintip. Seketika ia terbelalak. "Si...siluman?" Kahayang mengangguk. "Dia persis siluman. Kemunculannya tiba-tiba. Sudah gitu, sekalinya datang, bikin masalah. Persis siluman." "Astaga! Padahal namanya secakep orangnya, lho." "Bodo. Saya gak peduli siapa namanya. Dan cakep? Kalau kamu perlu ke dokter mata, bilang, ya. Nanti saya anter." "Emang dia cakep, kok. Gadis remaja sampai ibu-ibu, pada nanyain dia itu siapa." "Iya, gitu?" Kahayang tidak yakin orang-orang di komplek pertokoan ini, begitu penasarannya dengan sosok Sambara yang biasa aja. Hanya menang tinggi saja. Elis geleng-geleng kepala. Percuma memuji pria lain jika di mata Kahayang sudah penuh dengan sosok Gery yang biasa saja. Gery tidak jelek. Ia tampan sebenarnya. Badannya pun atletis karena sering nge-gym. Masalahnya, wajah Gery adalah wajah yang membosankan. "Tadi Gery ke sini?" "Iya. Sebentar aja. Gak sampai sepuluh menit. Makanya tadi asal peluk. Kirain itu Gery masuk lagi." Kayonna menjingkat. "Kamu jangan bilang-bilang Gery kalau saya meluk cowok lain, ya!" "Buat apa? Gery juga gak pernah bicara ama saya." "Dia kan pemalu." Kahayang memeluk Elis dan membelai lembut lengannya. Ia tidak enak hati untuk yang satu ini. Gery memang tidak terlalu dekat dengan keluarganya. Dengan Lingga pun tidak. Padahal hubungan mereka sudah tujuh tahun lamanya. Pemalu kok rangkul-rangkul cewek lain dengan bahagia, batin Elis kesal. "Duh, jangan cemberut gitu, dong," rajuk Kahayang. Elis memutar tubuhnya agar berhadapan dengan sepupunya itu. Ditatapnya wajah sepupunya yang seperti bayi. Dengan wajah bulat dan mata seperti boneka, Kahayang sangatlah cantik. Kecantikan yang tertutup dengan kesederhanaannya. "Kamu percaya Gery?" Elis menatap langsung ke mata Kahayang. Mencoba mencari sedikit saja keraguan. "Iyalah. Sudah tujuh tahun ini. Apa yang harus diragukan?" Elis menunduk. Ia tak mau memengaruhi keyakinan sepupunya. Lagi pula yang ia lihat tadi kan bisa saja rekan kerja Gery. Ini adalah Jakarta. Pergaulan antar lawan jenis, tak bisa dilihat hitam dan putih saja. "Kenapa, sih? Serius amat." "Enggak. Gak kenapa-kenapa. Ayo, siapin bunga sedap malamnya. Sebentar lagi diambil." Elis memutuskan untuk tidak ikut campur. Toh, yang tidak benar, lama-lama juga mengambang ke permukaan. *** Siang yang tadinya begitu gerah, kini tak terasa gerah. Angin yang bersiur lambat, dinikmati dengan senyum terus merekah. Sambara tak bisa melupakan adegan salah peluk dari wanita muda pemilik toko bunga yang sampai sekarang ia tak tahu namanya. Seketika ini menjadi kejengkelan pada diri sendiri yang bodoh. Tapi kalau dipikir-pikir, bagaimana ia bisa berkenalan dengan wanita itu jika di setiap pertemuan, hanya diisi dengan keributan yang konyol? Meski konyol, Sambara ingin mengulanginya lagi. "Senyam-senyum terus, Mas Bara," goda Rio dengan gaya kemayunya. Sambara terkejut. Ternyata ia sudah ada di dalam calon butik barunya Beby. Jarak perginya menuju toko bunga "Kahayang" terasa lama, tetapi jarak kembalinya begitu dekat. "Wah, siang-sang bunga mawar. Ges..., kalau ada lelaki model Mas Bara, simpen baik-baik, ya," ujar Rio dengan semangat yang langsung disambut tawa pekerja lainnya dan juga komentar-komentar lucu. "Beby, mana?" tanya Sambara setengah berbisik ke Rio. "Saya di sini, Honey." Beby sudah turun dari atas dengan keceriaan. Saat ribut-ribut di bawah, ia mendengar semua. Sapaan Honey untuk Sambara, serentak membuat gemuruh. "Bunga? Bukan es krim?" tanya Beby. "Tadi saya lihat ada toko bunga. Buatmu." "Makasih." Beby benar-benar bahagia. Selama mengenal Sambara, ia hampir tidak pernah menerima bunga sebagai kejutan. Pada momen-momen tertentu saja Sambara membawa bunga. Saat ulang tahun dan kelulusan. Itu saja. "Beb, kamu masih di sini?" "Kenapa?" "Saya mau kembali ke kantor." "Saya bagaimana?" Beby kembali kecewa. "Kamu bisa bawa mobil saya biar saya naik taksi." "Tapi, kita kan belum makan siang." Ada pengharapan dari kata-kata itu. Beby mengulur waktu dan masih ingin bersama Sambara. Mendapat bunga di waktu tak terduga, tak membuatnya kenyang. Ia masih haus perhatian Sambara. Samabara tersenyum. Mendekati Beby. Di belainya lembut lengan atas Beby. "Saya gak lapar. Makanlah sama yang lain. Anggap selamatan karena akan pindah ke tempat baru." Sambara mengeluarkan kunci dari dalam saku celananya. "Kamu bawa mobilnya, ya." Setelah kunci diterima, Sambara berpamitan pada yang lain. Rio melihat kesenduan di raut wajah Beby. Ia segera menghampiri bos yang sekaligus sahabatnya itu. Dirangkulnya Beby, mencoba menyalurkan semangat agar Beby kembali ceria. "Dengan bunga ini, dia menganggap saya apa, ya, Rio?" tanya lirih Beby. "Yang disayang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD