Chapter 26

1204 Words
Kamu menangis di sini saja. Karena di sini hanya ada aku. *** "Nepi! Ayo, nepi cepet!" pinta Kahayang dengan semangat. Begitu semangatnya meminta, kedua tangannya sampai menggoyang-goyangkan lengan atas Sambara dengan kuat. "Ih, apa ini?" Sambara mencoba melepaskan tangan Kahayang, tetapi gadis itu semakin kuat memegang dan mengucang lengan Sambara. "Ayo nepi cepetan, aduh. Pokoknya jangan sampai masuk." Dekat gerbang perusahaan, Sambara menepikan mobilnya. Baru juga mobil itu berhenti, Kahayang sudah dengan cepat melepaskan sabuk pengaman dan akan membuka pintu. "Thanks." Sambara sigap menahan tas Kahayang, yang sekaligus menahan Kahayang untuk tidak langsung membuka pintu. "Tang teng tang teng, kasih penjelasan dulu kenapa harus berhenti di sini?" Kahayang meringis malu-malu. "Biar gak dilihat orang kalau kita samaan dalam satu mobil." "Kamu malu satu mobil sama saya?" tanya Sambara melotot. Sedikitnya ia tersinggung. "Bukan. Bukan. Bukan begitu." Kahayang bisa merasakan nada tidak enak dari Sambara yang berupa prasangka. "Nggg..., cowok saya kerja di sana. Nanti tiba-tiba di keluar dan melihat kita, kan bahaya." "Cowok kamu di Bimantara juga?" Sambara menatap kantornya dengan perasaan aneh. Ini seperti takdir yang terkait-kait satu dengan lainnya. Siapa yang menduga kalau Kahayang diperebutkan oleh dua petinggi Bimantara Grup dan Kahayang memiliki kekasih di Bimantara Grup. "Di bagian apa?" "Mau tau aja. Gak perlu tau. Pokoknya dia kerja di sana." "Ya, siapa tau saya kenal." "Gak mungkin kamu kenal." "Emang jabatannya setinggi apa, sih?" Kahayang menyipitkan mata, menelusuri wajah Sambara. Niat awal Kahayang ingin mengejek Sambara, tetapi ia justru terpesona dengan wajah Sambara yang kesal. Sambara cemberut dan Kahayang baru tahu kalau Sambara kesal, bibir bawahnya agak maju. "Hei." Sambara menjentikkan tangannya di depan wajah Kahayang yang sontak kedua mata Kahayang mengedip. "Ditanya, bukannya jawab malah melamun." "Ya..., mungkin lebih tinggi dari kamu yang cuma tukang ambil bunga." Kahayang menduga Sambara tak lain adalah sopir pribadi atau sekedar asisten saja. "Oke. Tadi cowok kamu di bagian apa?" "Kok, kamu maksa-maksa, sih. Jangan-jangan..., kamu punya niat jahat." Sambara melongo. "Jahat bagaimana?" "Ya, karena kamu gak suka dengan saya, dan kita sering ribut." "Urusannya apa?" Sambara benar-benar makin bingung. Ia tak bisa memahami jalan berpikir Kahayang. "Kamu nanti pasti akan melampiaskan kesalmua ke cowok saya. Jadi, kamu gak perlu tahu siapa cowok saya, ia ada di divisi apa, dan apa jabatannya. Cukup tahu aja kalau kalian sekantor. "Udah, ya. Telat ini. Makasih tumpangannya." Kahayang mengedipkan mata. Melambaikan tangan dengan cara yang lucu, dan bergegas keluar sebelum Sambara tersadar dari melongonya. Bisa ditahan lagi tasnya jika Sambara tersadar. Saat pintu ditutup, Sambara baru tersadar. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala. Baru ini ia berurusan dengan wanita yang membuat dirinya serasa bodoh. Diperhatikannya Kahayang yang melangkah riang sampai masuk ke dalam gerbang perusahaan. "Pasti kamu bahagia bakal ketemu keksaih hati. Jangan sedih lagi seperti malam itu. Oke" gumam Sambara yang mulai memasukkan kopling mobil. Tapi, kemudian ia terdiam. "Apa jadinya kamu kalau tahu saat ini kamu diperebutkan dua pria? Membuang kami berdua dan tetap bersama kekasihmu? Atau..., membuang kekasihmu dan memilih satu di antara kami berdua?" *** Mulai jam makan siang, sebagian besar karyawan membereskan meja, bercengkerama, mulai bergerombol keluar. Pekerjaan menumpuk dipikirkan nanti untuk dilanjutkan, yang penting pemenuhan biologi tubuh untuk istirahat dan mengisi perut, terpenuhi. Gery di ruangannya, mulai mematikan laptop dan duduk bersandar sembari memijit tengkuknya yang pegal. Seorang rekan pria sudah mengajaknya untuk makan siang, tetapi Gery menolak. Mood-nya sedang tidak bagus sejak semalam. Sebenarnya ia agak menyesal karena membuat Kahayang marah dan pergi. Tapi, juga ia kesal karena dirinya sudah merasa mencoba yang terbaik untuk memperbaiki keadaan dengan mengajak Kahayang makan di restoran terbaik, termahal, hotel berbintang. Hanya karena ia sedang berkirim pesan dan pesannya diabaikan, Kahayang bisa sebegitu marah. Kekesalannya makin menjadi ketika ia meminta Anes menemaninya makan, Anes menolak. Dengan menahan malu, Gery meminta agar makanan dibungkus. Ingat akan hal itu, Gery menghela napas kesal. Ponselnya berdering. Dengan lemas, Gery menegakkan tubuhnya. Saat membaca nama peneleponnya, senyum Gery terukir di wajahnya. Setelah berdeham agar suaranya terdengar bersih, Gery menerima telepon dari Anes. "Tumben," ujar Gery. Terdengar tawa renyah dari seberang. "Kok, tumben? Emangnya kamu gak kangen sama saya?" Gery tersenyum malu-malu. "Kamu sibuk terus." "Saya tunggu kamu di hotel, ya, Sayang. Cepat datang. Karena kalau makanannya dingin, saya akan marah sama kamu." Telepon ditutup dan sebuah pesan masuk. Nama hotel dan nomer kamar. Gery cepat-cepat berdiri. Menyambar kunci mobil. Dan keluar dari ruangannya dengan bergegas. Beberapa kali ia menyenggol rekan-rekan kantor lainnya, tetapi dengan tertawa kecil Gery menyampaikan maafnya. Tak ada yang marah karena melihat betapa sedang senangnya Gery dan meski tidak tahu apa yang membuat Gery senang, mereka pun ikut senang. Sesaat setelah keluar dari lift, lengannya dicekal seseorang. Menghentikan dengan cepat langkah Gery. Betapa terkejutnya Gery saat mengetahui siapa yang menahan langkahnya. Kahayang berdiri dengan senyum manisnya. "Kenapa buru-buru?" tanya Kahayang polos. "Kamu ngapain datang ke sini?" Gery bertanya balik dengan nada tidak suka. Ia tak mau terlambat bertemu dengan Anes. "Kamu mau ke mana? Mau makan, ya? Makan siang sama-sama, yuk." "Saya gak bisa. Maaf, Ayang. Kamu bisa pulang sendiri, 'kan?" Ayang tak bereaksi. Ia benar-benar tak menduga akan mendapatkan respon yang begitu dingin, terkesan tak peduli. Emosi Ayang menumpuk jadi satu. Ada amarah karena diabaikan. Ada sedih karena ditolak. Ayang melihat Gery gelisah saat melihat jam tangannya. Sangat jelas Gery harus segera pergi. "Ayang kamu bisa pulang sendiri, 'Kan." Gery mencium sekilas kening Kahayang. "Nanti kabari kalau sudah sampai toko, ya." Dan Gery melesat pergi meninggalkan Kahayang. Gadis itu bengong menatap punggung Gery yang menjauh dan keluar. Dirinya diabaikan. Ketika orang lain menjadi sangat bahagia melihat pasangannya datang, Gery bahkan sangat tidak senang. Pria itu tak menanyakan bagaimana ia datang yang ada justru tanya kenapa. Kekasihnya itu bahkan tak memberikan kesempatan bagi Ayang untuk menjawab alasan ia datang menemui Gery. Bahkan lelaki yang ia cintai tujuh tahun lamanya, tak mengkhawatirkan Kahayang akan pulang dengan bagaimana. Setitik air mata jatuh. Tak bisa dikendalikan. d**a Kahayang sesak. Ia sangat ingin menangis keras. Kemarahannya dan kesedihannya begitu memenuhi d**a. Kahayang mulai terisak. Ia benar-benar hampir kehilangan kuasa atas emosinya. Tiba-tiba, Kahayang tersentak. Tangannya ditarik, membuat tubuh Kahayang berputar dengan terpaksa. Langkahnya setengah terseret karena ia sedang berusaha mengimbangi langkah seseorang. Ia dibawa masuk ke dalam lift yang sepertinya tidak ada seorang pun yang memakainya. Pintu lift tertutup. Tubuh Kahayang disandarkan ke dinding lift. Sambara, yang tadi menarik tangan Kahayang agar mengikuti dirinya, berdiri menjulang di hadapan Kahayang dengan tatapan dingin. "Ini lift khusus. Saya sudah menguncinya. Kamu bisa menangis di sini sepuasnya." Kahayang mendongak dengan mata berkaca-kaca. Ujung bibirnya yang terkatup, tertarik ke bawah. Sambara yang melihatnya, menjadi bingung. Kedua tangannya berada di pinggang. "Apa? Ya, sudah ayo nangis. Nanti keburu pintunya kebuka." "Kamu bilang...." Isak tangis mulai keluar lagi. "Kamu bilang..., ini lift khusus." "Memang. Tapi kan bukan berarti hanya saya yang pakai lift ini." Dada Kahayang naik turun. Wajah meweknya membuat Sambara semakin salah tingkah. "Be...be..., rapa jam?" tanya Kahayang tersendat-sendat. "Apanya jam?" "Nangisnya." Sambara menganga. Ia tidak mengerti bagaimana orang menangis harus diberi waktu apalagi hitungan waktunya adalah jam. "Lima menit," putus Sambara. "Huwaaa...." Kahayang menangis lebar. "Kenapa lima menit? Huwaaa...." Seketika Sambara merasa menyesal memberi ruang bagi Kahayang untuk menangis. Ia menjadi pusing sendiri melihat Kahayang menangis. Tidak tahu harus berbuat apa selain memijit keningnya sendiri. Membiarkan Kahayang menangis dengan segala ekspresinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD