Chapter 25

1304 Words
Pokoknya, aku ada untuk menjagamu. Jadi, aku akan ikut kemana kamu pergi. *** Keluar dari kantor megah Perusahaan Blenda Grup, Kahayang langsung diserang angin yang membawa udara panas siang hari. Kahayang melepas napas panjang jika ingat ia harus berjalan cukup jauh untuk ke sampai keluar dari gerbang Kantor Blenda Grup. Suasana sedikit lebih rame dari saat awal Kahayang datang. Wajar saja, ini sudah dekat jam makan siang. Beberapa mengawalinya sedikit lebih cepat hanya agar bisa bergantian dengan rekannya. Wanita-wanita yang terlihat tinggi dengan sepatu hak tingginya. Berpakaian rapi serta wajah dipoles cantik. Melangkah cepat, keluar dari kantor. Meski begitu, tak ada keraguan di setiap langkah mereka, membuat Kahayang keheranan karena sepatu yang dikenakan mereka adalah sepatu hak tinggi denga ujung yang runcing-runcing. Kalau salah satu sepatu itu saya lempar ke arah Siluman, kira-kira kena bagian apa, ya? Kepala? Tengkuk? Pundak? Ahhh..., lebih seru kalau di puncak kepala. Kahayang tertawa geli sendiri membayangkan di puncak kepala Sambara ada sepatu, pasti lucu karena akan berbetuk seperti kuncir. "Aduh." Kahayang terhuyung maju dengan tubuh sedikit membungkuk. Seseorang tanpa sengaja menyenggol lengannya. "Maaf. Maaf. Maaf, ya. Saya buru-buru," ujar seorang wanita cantik yang membantu Kahayang untuk berdiri tegak. Kahayang tersenyum manis. Memberikan maafnya, mengatakan pada si wanita kalau ia tidak apa-apa. Setelahnya wanita itu melesat pergi menyusul rekannya yang sudah melangkah ke parkiran. "Makanya jangan lelet kayak siput," tegur Sambara yang tadinya berjalan di depan Kahayang, kini berdiri di hadapan gadis itu dengan mata menelusuri tubuh Kahayang. Mencari-cari kemungkinan cedera. "Ngapain jalan cepat-cepat, kayak gak bisa menikmati hidup aja." Kahayang melengos meninggalkan Sambara yang geleng-geleng kepala. Sempat Sambara niat memanggil Kahayang. Menanyakan akan ke mana ia setelah dari Kantor Blenda Grup. Namun, ia berpikir percuma, gadis itu pasti akan menolaknya dengan sengit. Sambara kemudian menuju ke parkiran mobilnya. Kahayang merasakan panas yang teramat. Mulai memikirkan bedaknya yang kemungkinan akan luntur karena keringat. Meski dari Elis meyakinkan dirinya bahwa alas bedak dan bedaknya tahan dari keringat, tetap saja Kahayang tak percaya diri. Jika bedaknya luntur, maka ia tidak akan terlihat menarik lagi bagi Gery. Sambara pasti kembali ke kantor. Kahayang berhenti dan berbalik menatap punggung Sambara yang melangkah tegap menuju pelataran parkir. Mereka kan satu kantor. Apa saya ikut dia, ya? Ikut aja, Ayang. Itung-itung hemat di ongkos. Dan lagi, mobil Sambara kan dingin, bedak pasti gak luntur, sahut hati Kahayang yang lain. "Tapi..., apa dia mau kalau saya numpang mobilnya?" gumam Kahayang lirih. Pasti mau. Tanpa diminta, dia mau aja ngantar kamu pulang, semalam. Apalagi cuma numpang ke kantor Bimantara yang searah, jawab hati Kahayang. Gadis itu tersenyum dan melangkah secepatnya setengah berlari menuju pada Sambara. Sambara sudah membuka pintu mobilnya ketika lengannya digayut Kahayang dari samping. Gadis itu memberikan senyum termanisnya dengan napas yang tersengal. Pipi Kahayang sedikit memerah, bisa karena panas, bisa juga karena kelelahan setelah berlari kecil mendekati Sambara. "Apa?" tanya Sambara dingin. "Kamu mau kembali ke kantor, 'kan?" "Trus?" "Nggg..., dari sini ke sana kan agak jauh. Belum lagi macetnya." Sambara mulai paham arah bicara Kahayang. Ia melepaskan tangan Kahayang yang memeluk lengannya. "Saya tidak ada masalah dengan jalanan yang macet. Saya juga tidak ada masalah dengan perjalanan yang jauh untuk kembali ke kantor. Tapi...." Sambara memasang kaca mata hitamnya dan mengedarkan pandangan ke angkasa. Kahayang terpesona dengan penampilan Sambara yang mengenakan kaca mata hitam. Seksi dan maskulin menjadi satu. "Tapi sepertinya kamu yang akan punya masalah dengan teriknya matahari." Sambara tersenyum mengejek dan akan masuk ke dalam mobil. Lagi-lagi lengannya dipegang kuat Kahayang. "Kamu pasti butuh teman." Untuk kedua kalinya, Sambara melepaskan tangan Kahayang. Tapi, untuk kali ini, Kahayang memegang erat lengan Sambara. "Saya tidak ada masalah dengan kesendirian." "Jangan. Nanti kesambet. Udah, saya temani aja kamu dari pada kenapa-napa di jalan. Oke." Kahayang mengerling, melepaskan tangannya, dan dengan sigap mengitari mobil Sambara. Tanpa bisa dicegah lagi, Kahayang masuk dulu ke dalam mobil Sambara. Sambara hanya bisa geleng-geleng kepala, ia pun masuk ke dalam mobil. "Memangnya mau apa ikut ke kantor saya, sih? Gak ada bunga yang di antar ke sana, 'kan?" "Ada, deh. Itu bukan urusanmu." Sambara menoleh dengan membelalak. Kahayang berubah lagi menjadi pribadi yang menyebalkan bagi Sambara. Ingin rasanya Sambara memberi hukuman dengan mencubit kedua pipi gadis itu, tetapi itu akan menjadi keributan ala pegulat nantinya. Akhirnya dengan pasrah, Sambara menyalakan mobilnya. *** Sejak dari depan, Deon sudah merasakan nuansa feminim yang lembut dari toko bunga Kahayang. Pot-pot bunga dan aneka tanaman perdu, ditata sangat tepat di depan. Begitu juga di dalam. Kaca-kaca panjang dengan sekat kotak-kotak memberikan pencahayaan yang cukup untuk tanaman hidup yang masih dengan pot tanamnya ataupun bunga hidup yang sudah dipotong dan dimasukkan dalam wadah khusus. Bunga-bunga ditata sesuai kelompok kekerabatannya bukan didasarkan pada warna. Sudah beberapa menit berlalu ia melihat-lihat tanaman dan bunga-bunganya. Tapi, sosok wanita yang ada di foto, tak kunjung nampak. Ada seorang wanita dengan rambut panjang sebagai penjaga toko dan itu bukan Kahayang. "Bisa dibantu, Pak?" Deon mengeluh dalam hati. Ini yang paling tidak ia sukai. Saat ia sedang berpikir atau menimbang sesuatu di toko apapun jenisnya, lalu seorang penjaga mendekat dan bertanya semacam yang diucapkan si wanita berambut panjang. Ini seperti dirinya di desak untuk segera memilih, membayar, dan pergi. Tapi, Deon menahan diri dengan kekesalannya. Ia yang tadinya berjongkok mengamati tanaman dalam pot yang ia tak tahu namanya, perlahan berdiri, berbalik, dan memberikan senyum terbaik. Membungkus ketidaksukaannya dengan apik. "Ah, ya. Saya terlalu lama melihat-lihat, ya?" tanya Deon manis padahal dalam tanyanya ada kesinisan. Elis tersenyum ramah. "Tidak, Pak. Hanya saja Bapak tadi sudah dua kali keliling. Mungkin Bapak bingung memilih bunganya." Deon terkekeh. "Ya, begitulah. Bunga-bunganya beragam dan cantik-cantik." "Mau bunga untuk siapa, Pak. Kekasih? Istri?" "Hehehe.... Saya tidak punya istri apalagi kekasih." Elis melongo. Tanpa bisa menyembunyikan keheranannya. Ia menatap Deon dari atas ke bawah dan ke atas lagi. "Seganteng Bapak begini, masak iya gak ada yang mau?" "Hahaha.... Mungkin karena saya sudah terlihat seperti Bapak-bapak." "Bapak justru terlihat muda, lho." "Mbak aja panggil saya Bapak." Deon mengerling yang langsung membuat Elis terpesona. "Oh, itu. Hehehe.... Saya panggil Mas saja, ya." Deon mengangguk dan kembali melihat bunga-bunga. "Sebenarnya mau cari bunga apa dan buat siapa, Mas? Mungkin bisa saya bantu," tanya Elis. "Untuk ibu saya." Berlipatlah perasaan Elis pada customer barunya itu. Sudah tampan, penyayang ibu pula. Sangat langka, bukan berarti tidak ada. Hanya saja lelaki yang sering datang ke toko bunga, umumnya membeli bunga untuk pasangannya yang dicintai. Elis melangkah menuju aneka bunga Anggrek. "Bunga Anggrek mengartikan perjuangan dan cinta kasih seorang ibu pada anaknya." "Oh ya?" Deon mendekati Elis dan mengamati bunga-bunga angrek yang ditata rapi. Semua Anggrek sudah dalam potnya masing-masing. "Bunga Anggrek yang mana?" "Yang mana saja. Hanya yang putih ini untuk ketulusan." "Kalau begitu, saya ambil yang ini." Deon menunjuk setangkai Anggrek putih yang ditanam dalam pot kotak kecil warna hitam gelap. Elis tersenyum dan membawa Anggrek putih ke meja kasir. "Perlu kartu ucapan? Kami punya banyak pilihan." Elis menunjuk pada rak khusus yang memajang aneka kartu ucapan. "Tidak perlu." Deon kembali melihat-lihat sekitar. "Apa mbaknya menjaga sendiri?" "Biasanya berdua, Mas. Tapi yang satu baru saja pergi mengantarkan bunga pesanan." "O.... Toko bungnya, kenapa namanya Kahayang?" "Itu nama pemiliknya, Mas. Dia yang lagi keluar mengantar bunga." "Wah. Ulet, ya, sampai mau turun tangan sendiri," puji Deon dan kali ini ia tulus. Seharian ini ia berpikir bahwa Kahayang kemungkinan adalah wanita yang manja. Ini ia nilai dari wajahnya yang imut dan kekanak-kanakan. Satu hal positif baru dan Deon tersenyum senang, setidaknya ia tak beruurusan dengan wanita manja. "Ini, Mas." Elis menyodorkan bunga Anggrek pesanan yang sudah dibungkus plastik kado warna bening. "Terima kasih. Salam untuk si pemilik toko, ya. Dari namanya, saya yakin dia pasti sangat cantik." Deon mengedip dan keluar dari toko. "Beruntungnya kamu Ayang. Ada aja cowok ganteng dan super 'wah', masuk ke sini. Sayangnya kamu masih saja buta." Elis menghela napas, menyesali sepupunya yang masih bersikeras bertahan untuk Gery. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD