Chapter 27

1132 Words
Kamu baik sekali. Membiarkan aku menuntaskan tangisku tanpa meninggalkanku. *** Tujuh tahun perjalanan, rasanya makin ke sini, serasa semakin aneh dan hambar. Dengan asalan demi masa depan, seorang pria bisa sebegitu menyebalkan. Menjadi sibuk, sesukanya sendiri, tak acuh, mulai berkurang perhatian. Pikir Kahayang, dengan naiknya jabatan Gery, maka apa yang menjadi sekedar bayangan masa depan, akan benar-benar menjadi nyata. Ternyata itu tidak terjadi. Dada Kahayang yang terasa sesak, perlahan mulai terasa ringan. Ada energi negatif yang terlepas bersamaan dengan air mata. Yang tersisa adalah kelegaan dan ketenangan. Walaupun tidak semuanya benar-benar terlepas, masih ada yang tersisa di hati sebagai ganjalan. Yang tadinya pusat diri dan pikiran Kahayang hanya pada duka dan kesalnya terhadap Gery, kini pusat diri dan pikiran Kahayang pada apa yang dirasa atau apa yang terjadi saat ini. Ia merasakan tubuhnya yang duduk di lantai lift, dengan kaki ditekuk dan kepala menunduk, Kahayang merasakan liftnya bergerak turun. Ha? Turun? Kapan naiknya? batin Kahayang bingung. Kahayang mengangkat kepalanya perlahan, matanya bergerak liar menatap sekitar dan berhenti pada Sambara. Lelaki ini berdiri tenang di samping Kahayang, membuat gadis itu harus mendongak agar bisa melihat wajah Sambara. Sambara berdiri bersandar dengan kedua tangan dilipat ke d**a. Laki-laki itu menunduk dan mendapati wajah Kahayang yang sembab. Kedua pipi bulat Kahayang begitu merah, begitu juga bagian hidungnya. Sambara tidak tahu apakah dia sudah gila karena melihat Kahayang yang menyedihkan, justru terlihat menggemaskan baginya. Ada sebagian keinginan Sambara untuk membelai kedua pipi Kahayang agar warna merah itu memudar. Kedua bola mata Kahayang bergerak ke sisi lain Sambara, di sana ada tombol panel lift. Sontak Kahayang membelalak. Angka penunjuk tertera angka satu. Beneran turun? Lah, kapan naiknya? Kok, saya gak merasakan? Kahayang benar-benar heran sendiri akan ketidakpekaannya. "Masih kurang nangisnya?" tanya Sambara memecah hening yang sudah terlalu lama. Kahayang mencoba bangkit dari duduknya. Tapi karena terlalu lama duduk dengan posisi yang salah, kaki Kahayang terasa kebas. Rasa sakit seperti tersetrum terasa di bagian pangkal kedua kakinya. Kahayang pun oleng. Dengan cepat Sambara memegang tubuh mungil Kahayang. Ia langsung menduga kalau Kahayang terserang kram. Kahayang mengaduh dan menangis lagi. Sambara dengan lembut menenangkan dan mendudukan Kahayang. Masih dengan tenang, Sambara mencoba meluruskan kaki Kahayang. "Sakit, sakit, sakit...!" Kahayang memekik sembari memukul-mukul lengan Sambara. Wajahnya meringis kesakitan. "Tahan. Ayo, diluruskan dulu." Sambara membantu meluruskan kaki Kahayang satu demi satu. Ia kemudian menarik sedikit ke atas celana pensil Kahayang yang berbahan jeans karet. Tangan Kahayang langsung meninju lengan Sambara. Lelaki itu terkejut dan melotot. Menghentikan kegiatannya untuk menarik celana Kahayang setidaknya sampai pada dengkul. "Apa?" tanya Sambara kesal. "Mau apa kamu? Mau perkosa saya, ya? Mentang-mentang saya lagi gak berdaya begini." Kahayang mendelik ganas. Ia harus menunjukkan keberaniannya. Jangan hanya karena tubuhnya kecil, lalu bisa diperdaya begitu saja. "Kebanyakan nangis, membuat isi kepalamu melempem? Lupa atau pikun? Kita ini ada di mana, ha?" "Di lift," jawab lugu Kahayang. "Udah tau di lift kenapa pikiranmu ke mana-mana, ha?" "Tapi ini kan lift khusus. Kamu bisa kunci liftnya. Dan mulai melakukan hal gila. Jangan-jangan lift ini dirancang untuk itu sama bos kamu." Kahayang bergidik ngeri dan tolah toleh tidak jelas. Sambara menunduk dan melepaskan napas panjang. "Kamu lihat itu dan itu." Sambara menunjuk pada dua ujung dinding lift bagian atas. Di sana ada semacam lingkaran bening. "Di situ ada CCTV yang akan memantau orang-orang di dalam lift. Saya gak akan segila itu kalau hanya untuk nggg...." Dengan sengaja Sambara menghentikan kalimatnya. Dengan sengaja juga membasahi bibirnya perlahan, dan kedua mata menelusuri bagian kaki sampai ke paha. Ini membuat Kahayang salah tingkah. Ia merasa di bagian kaki sampai paha yang dipandangi Sambara, terasa panas. Menembus bahan jeans celananya. "Trus kamu mau apa?" bentak Kahayang. Sambara yang gemas, memberikan sekali pijatan dengan tekanan di tungkai kaki Kahayang. Sontak gadis itu memekik kesakitan. Tubuhnya maju, kedua tangannya mencoba menggapai Sambara. "Sakit. Sakit. Arghhh.... Dasar Siluman!" Sambara tidak mengacuhkan. Ia tetap memijat kaki Kahayang, kali ini sedikit lembut. Perlahan rengekan Kahayang berhenti. Hanya suara mendesis karena masih ada rasa sakit yang samar. Kedua kaki Kahayang dipijat Sambara. "Masih sakit?" "Ha?" Kahayang mendapati tatapan mata Sambara yang lurus ke dalam matanya. Kahayang terperangkap dalam mata Sambara. Membuatnya tak bisa berkutik meski tidak ada yang salah. Hanya saja, Kahayang ingin tetap begitu. "Ayang...." Sambara memberi tekanan kecil di kaki Kahayang, menyadarkan gadis itu dari diamnya. "Aduh!" pekik tertahan Kahayang. "Sakit?" "Iya, sakit," jawab sengit Kahayang. "Tapi bukan karena kram yang tadi. Udah, udah. Minggir tangannya." Sambara menurut. Tapi, ia lebih dulu menurunkan celana Kahayang lagi. Ini membuat gadis itu terkesima. Baginya itu adalah sikap yang baik dan sopan dari seorang laki-laki. Dalam hati kecilnya terdalam, Kahayang memuji Sambara akan semua kebaikannya. Sambara masih membantu Kahayang berdiri. Terdengar bunyi denting lift. Namun, pintu lift tidak langsung terbuka. "Ini lift sudah naik turun tiga kali. Mau yang keempat?" "Tiga kali?!" Kahayang benar-benar terkejut. Ia terkejut untuk dirinya sendiri yang begitu fokus akan sedihnya sampai tidak sadar lift sudah bergerak naik turun dan terkejut akan bagaimana bisa Sambara dengan santainya menguasai lift tersebut. Meski dari awal Sambara berkata itu lift khusus, tapi kewenangan Sambara menguasai lift, tentu menjadi pertanyaan. "Ya. Tiga kali. Jadi gimana?" Sambara berdiri di dekat tombol panel lift. "Kita keluar. Ayo." Kahayang merangkul lengan Sambara dengan cepat. Sambara mendelik. Ganti ia yang terkejut akan agresivitas Kahayang merangkul lengannya sekaligus merapatkan tubuh mungilnya. "Ayo! Ngapain malah liat-liat," ujar Kahayang gemas akan kelambanan Sambara. Bagai dicocok hidungnya, Sambara menurut. Membuka pintu lift berwarna emas. Begitu pintu lift terbuka, Kahayang menggiring Sambara untuk mengikutinya keluar dengan tetap memeluk lengan Sambara. Kahayang tidak sadar kalau Sambara sebisanya menunduk atau menyembunyikan wajahnya. Ia tak mau ada pergunjingan. Setidaknya belum. "Mau ke mana?" tanya Sambara berbisik dengan membungkuk. Langkahnya menjadi aneh karena hal itu. "Makan siang," jawab Kahayang dengan senyum termanisnya. "Oke." Sambara semakin tidak nyaman. Di lorong lift tidak terlalu ramai karena banyak orang sudah keluar. Tapi keluar dari lorong, akan ada lobi utama di mana banyak orang dengan banyak kepentingan ada. Meski Sambara bertanya-tanya, dia harus sigap. Jika tadi Kahayang yang memimpin langkah, kini ganti Sambara. Keluar dari lorong lift, ia berbelok ke kanan, menjauhi lobi. Dari situ ia bisa langsung ke area parkir mobil khusus untuk dirinya. Dan untuk pertama kalinya, Sambara beruntung karena bertahan untuk parkir di lantai satu, bukan di lantai atas yang diperuntukkan bagi para petinggi perusahaan. Saat Sambara berbelok, Lucy yang ada di lobi dan akan menuju ke lift, sempat melihat bayangan Sambara bersama Kahayang. Dahinya mengernyit. Langkahnya dipercepat untuk bisa mendekati Sambara. Namun, ia terlambat, Lucy tak lagi melihat sosok Sambara dan si gadis. "Sambara sama siapa? Gak mungkin kan sama gadis sayembara itu. Tapi itu siapa? Beby? Ah..., Beby kan tinggi. Ahhhh! Jangan-jangan Sambara sudah punya kekasih. Pantas saja tadi pagi dia terlihat bingung. Hihihi.... Mama harus tau ini." Lucy masih tertawa dan mengeluarkan ponselnya. "Halo, Ma. Ada kabar gembira buat kita dan Deon." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD