Chapter 28

1375 Words
Ada yang mengerti karena mencintai dengan tulus. Ada yang mengerti karena terpaksa bertahan akan cinta. *** Kahayang melongo menatap keluar mobil. Yang ia lihat memang beberapa tempat makan, banyaknya deretan motor dan mobil, pun juga di depan mobil Sambara adalah mobil lain. Tapi, itu adalah wilayah di sekitar restoran kedua orang tuanya. "Serius?!" Kahayang menatap Sambara dengan tatapan tidak percaya. Tadinya Kahayang ingin mentraktir Sambara makan siang. Pria itu meski sangat mengesalkan dan tidak ia sukai, tapi Sambara sudah memberikan banyak kebaikan untuk Kahayang. Mulai dari memberi tumpangan, menjaga dan menemaninya saat menangis, sampai memijat kakinya yang kram. Kahayang perlu melakukan balas budi untuk Sambara atas banyak hal yang sudah dilakukan. "Kenapa?" tanya Sambara kalem. "Kan sekalian antar kamu pulang." "Ya, tapi gak harus ke restoran Papa, 'kan?" keluh Kahayang. "Saya kemarin liat ada menu sup iga. Kayaknya seger aja kalau makan itu siang-siang." "Kenapa gak bilang dari tadi. Kan saya bisa ajak kamu ke restoran lain." "Masakan di restoran orang tuamu aja udah enak. Ngapain ke mana-mana." Sambara menoleh. "Atau..., kamu gak suka makan dengan saya di depan ayah ibumu? Kamu malu?" "Bukan begitu.... Hanya saja.... Saya ingin makan tenang. Apalagi bersamamu. Jika di restoran Papa, akan lain ceritanya. Akan ada kehebohan. Terutama dari Mama." Kahayang bersandar di kursinya dengan lesu. Keengganannya keluar dari mobil sangat jelas. Sambara menghela napas. Lagi-lagi Sambara tidak bisa berkutik. Ia memasukkan kopling mundur dan kemudian maju. Mobilnya kembali meluncur. "Lho? Kok?" Kahayang kembali tolah-toleh. "Saya malas makan dengan orang yang wajahnya kusut seperti kertas printeran yang tidak dipakai." "Hehehe...." Kahayang cengengesan senang. "Kamu memang lelaki paling pengertian. Terbaik. Tertampan. Teraduhai pokoknya" Kahayang mengacungkan kedua ibu jarinya dengan mimik sangat bahagia. Itu menularkan kehangatan pada Sambara. Dengan gemas, ia menjentikkan tangan di kening Kahayang. Tak peduli Kahayang menjerit dan marah-marah, yang penting Sambara senang. Ia tertawa lepas. Pertama kalinya, ada wanita yang bisa membuatnya melakukan apa saja dan membuatnya puas. *** Gery langsung menerobos masuk begitu pintu kamar hotel dibuka. Tanpa jeda, ia menyambar pinggang Anes, merapatkannya ke tubuhnya, dan mencium bibir merah itu dengan ganas. Sepanjang jalan yang ia pikirkan hanya itu. Menginginkan Anes. Saat perjalanan bibir Gery sampai ke leher putih Anes, tubuhnya didorong halus. Anes mengelak dan meminta Gery berhenti. "Udah, ah. Saya dah pesan makan siang. Nanti dingin." Anes melepaskan diri dari pelukan Gery dan lemenggang menuju meja bulat di dekat balkon. Gery mengeluh. Kecewa karena ia belum puas menikmati Anes. Dengan lesu, Gery duduk di kursi depan Anes. "Jadi artis itu begini berat?" tanya Gery sinis. "Maksudnya?" "Makan aja harus di dalam kamar hotel." "Kamu protes?" Gery menelan air liurnya. Ia merasakan ada nada kesal di kalimat tanya Anes. "Bukan begitu...." Gery melemahkan suaranya. Bertemu dengan Anes aja susah, sekalinya bertemu, ia tak ingin ada keributan. Anes melipat tangannya di meja, menatap takam Gery. Ia selalu tahu bagaimana menaklukkan lelaki. Ini karena mereka yang mengejar dirinya dan jatuh pada pesonanya. Hanya satu orang yang tidak benar-benar bisa ditaklukkan. "Gery. Dari awal kan kamu sudah tau kalau saya tidak ingin ada skandal apa pun. Hubungan saya dengan kamu ini, masih taham penjajakan saja. Kita belum punya komitmen yang jelas." "Kita atau kamu?" Gery sudah hilang selera untuk makan. Ia berpindah ke sofa dan menyalakan televisi. "Maksudmu apa?" buru Anes yang kemudian mengikuti Gery duduk di sebelahnya. "Saya sudah menawarkan komitmen, bukan? Kamu yang menolak," jawab Gery "Kamu kan sudah punya kekasih." "Saya bisa langsung meninggalkannya." "Kamu akan meninggalkannya demi saya?" Gery menoleh, menatap tajam mata Anes. "Semuanya bisa saya tinggalkan jika dengan begitu saya bisa memilikimu utuh." Anes dingin menanggapi keseriusan Gery. Laki-laki itu bukan yang pertama kalinya mengatakan hal-hal istimewa. Janji-janji manis setinggi gunung. Hal-hal yang melambungkan harapan istimewa setiap wanita. Tapi, Anes bukan wanita yang mudah terlena. Pengalaman mengajarkannya untuk apatis akan setiap harapan atau penawaran yang disodorkan. Kecuali jika itu terkait dengan pekerjaan, dia akan ambisi dan positif. "Jika kamu bisa meninggalkan kekasihmu sekarang demi saya, maka bisa saja suatu hari kelak kamu meninggalkan saya demi orang lain." Dengan santai Anes berdiri dan kembali ke meja bulat. "Kamu gak makan?" tawar Anes. Masih dengan perasaan kesal dan kecewa pada diri sendiri yang tidak bisa membela diri, Gery berdiri mengikuti Anes. Gery membuka tutup saji stainles, menatap datar steak daging lada hitam kesukannya tersaji. "Saya sebenarnya orang yang setia kalau kamu tahu," ujar Gery. Ponsel Anes berdering. Gery melihat bagaimana mata Anes berbinar. Wanita cantik itu menempelkan jari telunjuknya di bibir. Meminta Gery tak bersuara. Tak ada kata sapaan dari Anes. Ia terdiam dengan bibir perlahan bergerak meruncing ke atas. Senyum senang. "Oke. Kamu tunggu, ya," ujar Anes yang tak lama dibarengi putusnya telepon. "Gerry..., Sayang..., saya minta maaf, ya." Anes berdiri dan melangkah bergegas ke cermin rias. Merapikan polesan bibirnya yang tadi habis dilumat Gery. Tak lupa kembali menyemprotkan parfum di leher yang tadi juga sempat dijilat Gery. "Kamu mau ke mana?" tanya Gery. Sekuatnya ia merendahkan nada suaranya agar tak terdengar kesal dan marahnya. "Agensi ngajak makan siang bersama seorang sutradara." Anes menghampiri Gery. Merangkul lelaki itu dari belakang. Mencium lembut tengkuk Gery dan berlanjut ke pipi. "Kok, mendadak? Memangnya tidak ada janji temu dulu?" "Ini sutradanya suka dadakan. Udah, ya. Nanti saya terlambat." Anes berbisik di telinga Gery. "Saya akan membalas ini dengan kepuasaan tiada batas." Diakhiri kalimatnya dengan memberikan kecupan ringan di telinga Gery. Jatuh sudah amarah Gery. Ia hanya bisa pasrah dan mengangguk. Menuruti Anes adalah satu-satunya pilihan Gery jika ingin tetap bersama wanita cantik itu. Yang utama, jika Gery ingin terus menikmati pesona hangat tubuh Anes. Anes melangkah ringan keluar kamar. Tubuhnya melayang karena terlalu senang. Deon meneleponnya dan memintanya ke hotel. Dibanding Gery, Deon jauh dari segala-galanya. Gery hanyalah mainan, sedangkan Deon adalah masa depan. *** Diana berdiri diam menatap toko bunga Kahayang. Ada senyum sinis terukir saat membaca nama toko bunganya. Ia merasakan kesombongan di nama itu. Seolah nama itu nama terbaik untuk dipajang dan menjadi nama sebuah toko. Ini mengingatkan Diana akan ayahnya yang memberi nama perusahaannya dengan namanya sendiri. "Pantas jadi pilihan. Sama-sama sombong," gumam Diana lirih. Perlahan ia masuk. Ia melepaskan kaca mata hitamnya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang yang diurai. Wanita berdiri di hadapan seorang pria dengan jaket khas salah satu perusahaan transportasi ojek online. Keduanya menatap Diana sekilas dan memberikan senyum ramah. Tapi, Diana hanya dingin menanggapi. Ia melangkah lebih ke dalam, mengabaikan dua orang yang sedang saling bicara. Sepertinya pria tersebut ditugaskan mengambil pesanan bunga dari seseorang. Diana terpaksa harus mengakui jika Kahayang memang pandai dalam penataan. Caranya menata bunga dan tanaman dalam pot, membuat setiap pengunjung serasa masuk ke taman bunga. Sudah sampai di rak paling akhir, tetapi Diana belum melihat sosok Kahayang. Apa anak itu gak menjaga tokonya sendiri? Melimpahkan semua ke karyawannya itu? Benar-benar sombong. Toko kecil begini saja.... "Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Kemunculan Elis, menghentikan pikiran-pikiran buruk Diana akan Kahayang. Dengan tatapan dingin dan tanpa senyum, Elis memutar tubuhnya menatap Elis. "Apa toko ini hanya kamu yang jaga?" tanya Diana tanpa tedeng aling-aling. Meski Elis kaget, tetapi ia sudah terlatih untuk menyembunyikan terkejutnya atas pertanyaan yang aneh. Beruntung yang tanya adalah wanita berumur, yang masih sangat cantik, dan glamour. Andai pria, Elis langsung bisa menduga hal-hal buruk. "Ada seorang lagi, Bu. Tapi, dia sedang mengantar bunga ke tempat lain." Elis tidak perlu memberitahukan kalau Kahayang kini makan siang bersama Sambara setelah mengantarkan bunga. "Siapa?" Elis mengernyit. Meski aneh, tetapi Elis tetap menjawab. "Sepupu saya, Bu." "Ooo...." Diana merapatkan bibirnya. Penilaian buruknya atas Kahayang semakin kuat. Gadis itu jelas sangat boros dan sombong dalam menjalankan bisnisnya. Untuk sebuah toko sederhana, Kahayang justru membayar dua pegawai sekaligus. Calon mantu yang membahayakan. Harus dipikirkan perjanjian apa yang tidak akan merugikan Deon nantinya, batin Diana. "Saya mau Anggrek itu." Diana menunjuk pada anggrek bulan. Elis tersenyum dan mengangguk. Sedikit keheranan akan pilihan Diana. Sebelumnya ada lelaki muda yang pada akhirnya memilih anggrek bulan untuk ibunya. Dan kini wanita paruh baya datang dan memesan anggrek bulan yang entah untuk siapa. Setelah dibungkus rapi dan dibayar, Elis menyerahkan anggrek bulannya. "Kahayang nama pemiliknya?" tanya Diana setelah menerima anggreknya. "Iya, Bu," jawab Elis ramah. "Saya pingin tahu kayak gimana orangnya." Tanpa penjelasan lebih lanjut, Diana langsung keluar dari toko. Elis terbengong sejenak. "Gila. Hari ini Kahayang ketiban apa sampai begitu populer." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD