Chapter 29

1236 Words
Balas budi atas budi yang diberikan. *** Kahayang tersenyum lebar saat masuk lagi ke dalam mobil Sambara. Ia menatap keluar sembari mengelus perutnya yang kekenyangan Kepuasannya siang ini begitu lengkap. Ia bisa makan sate padang kesukaannya sebanyak dua porsi ditambah ia yang tadinya berniat mentraktir malah ditraktir Sambara. Lelaki itu punya gengsi tinggi. Dia tidak mau dibayar. Kalau dipikir-pikir, Kahayang hanya mengalami satu momen tidak bahagia, tetapi ia menadapat balasan baik berulang kali. Sepertinya Tuhan memang sedang baik padanya. Atau, Sambara yang sedang kesurupan. Kahayang menoleh. Wajah Sambara dari samping terlihat seperti lukisan siluet. Begitu tajam terbentuk. Hidung yang mancung, dagu dan rahang yang tegas, alis mata yang lebat membentuk garis lurus naik ke atas sedikit. Benar-benar wajah tegas seorang pria. Wajah maskulin. "Apa yang kamu cari?" Kahayang terdiam sejenak, tidak mengerti arah pertanyaan Sambara. "Kamu nanya sama saya?" "Memangnya di sini ada makhluk lain?" "Ya..., enggak, sih. Tapi, saya gak ngerti kamu nanya apa." "Kamu liatin saya, emangnya apa yang kamu cari?" Kahayang menjadi malu karena ketahuan. Sempat bersyukur Sambara tidak menoleh, fokus pada jalan raya, jadi pria itu tak perlu melihat dirinya yang salah tingkah. "Gak cari apa-apa, sih. Cuma penasaran aja. Kamu abis kesusupan apa? Kok, hari ini baik." "Saya tidak sedang kesusupan. Saya juga tidak sedang berbaik hati." "Maksudnya?" "Ada imbalan yang harus diberikan dari setiap kebaikan hari ini yang datang untukmu." Sambara menoleh sekilas dan memberikan senyum samar. "Jadi kamu gak ikhlas?" "Enggak." "b******k. Tau gitu saya gak mau ditraktir makan." Kahayang melipat tangannya dan mendengkus kesal. "Kebaikan saya bukan itu aja, lho." Kahayang menoleh dengan kepala miring. Seolah melakukan persiapan untuk menukik dan menerjang Sambara. "Memangnya apa lagi? Kan cuma itu yang kamu keluar uang." "Kebaikan itu kan sifatnya gak harus materi." Kahayang kembali terdiam. Otaknya mulai bekerja mencoba memahami. "Tumpangan dari Kantor Blenda ke Kantor Bimantara?" tanya Kahayang hati-hati. Ia hanya menduga-duga. Sambara mengangguk. Kedua mata Kahayang membelalak, dugaannya benar. "Memijit kaki juga?" Sambara mengangguk. "Saya harus membayar tiga kebaikan itu?" Kahayang benar-benar tidak percaya. Menyesal dalam hati karena sudah menganggap harinya sedang baik. "Lima kebaikan," ralat Sambara. "Apa? Lima?" pekik Kahayang benar-benar tak menduga. "Yang dua apa?" "Melindungimu dari malu dengan membawamu ke lift khusus agar bisa menangis sepuasnya." "Itu juga?" Kahayang mendengkus, mengelus d**a menahan emosi yang mulai meninggi. "Itu kebaikan, bukan?" tanya kalem Sambara dengan senyum lebar yang menampilkan sebagian gigi depannya. Tampan seharusnya, tapi Kahayang tidak bisa menikmati. "Dan yang kelima?" Kahayang bertanya dengan nada tinggi. "Menuruti kemauanmu untuk tidak makan di restoran yang sudah saya pilih. Restoran orang tuamu." "Gila! Itu juga masuk hitungan kebaikan?" "Kalau bukan kebaikan, apa namanya?" Kahayang merapatkan bibirnya. Menahan bibirnya memuntahkan kekesalan. Baginya, tuntutan Sambara sangat konyol. Tuntutan yang dibuat-buat. Kebaikan-kebaikan Sambara harusnya dalah kebaikan-kebaikan yang sifatnya lumrah. Kecuali kebaikan yang sifatya materi, seperti traktir makan dan bensin dari Kantor Blenda ke kantor Bimantara, maka lainnya adalah hal-hal wajar dalam sosialisasi antar manusia. Masalahnya, Kahayang tidak pandai berdebat. Kebaikan seseorang ikhlas, atau tidak adalah hak orang tersebut, dan Sambara menggunakan haknya, menyatakan keberatannya dengan dalam bentuk imbalan. "Oke. Itu semua kebaikan. Lalu saya harus membayar berapa?" "Kamu membicarakan uang dengan saya? Gak salah?" tanya sinis Sambara. Entah sudah berapa kali Kahayang mendengkus. Juga sudah berapa kali Kahayang terpojok menjadi salah. Tidak tahu seberapa kaya Sambara, tapi sepertinya uang bukan hal sulit bagi Sambara. Jadi jelas imbalan yang dimaksud pasti bukan yang sifatnya materi. "Trus?" "Nanti malam aja saya kasih tau bagaimana kamu membalas semua kebaikan saya hari ini." "Kenapa gak sekarang aja?" tuntut Kahayang. "Saya gak mau nanti kamu kepikiran, padahal kamu harus jaga toko bungamu. Ahhh.... Harusnya ini masuk kebaikan, ya. Karena saya masih memikirkan pekerjaanmu dan mood kamu. Tapi, yang ini bonus." Sambara menoleh. Ia tertawa kecil dan gemas melihat wajah Kahayang yang cemberut, menatap dirinya dengan kedua mata cureng, seolah bersiap untuk adu tinju. Sangking gemasnya, Sambara mencubit pipi Kahayang. Kahayang yang memang teramat sangat emosi, melepaskan tangan Sambara, mengarahkan ke bibirnya dan langsung menggigit pergelangan tangan Sambara. "Aaa...!" *** Anes tidur telungkup. Wajahnya tergambar kelelahan bercampur kenikmatan setelah pemuasan nafsu dunia terselesaikan dengan kepuasan tiada tara. Ia harus mengakui, sepanjang perjalanannya bertualang, Deon adalah teristimewa, tersempurna, paket lengkap karena Deon sangat tampan dan juga seorang miliarder. Gery adalah yang nomer dua. Namun, sangat disayangkan, Gery bukan paket lengkap. Kepala Anes menghadap pada nakas di sisi tempat tidur. Di sana ada bunga Anggrek bulan yang sangat cantik bersama dengan pot tanamnya. Bibirnya tak berhenti tersungging senyum. Deon cukup romantis. Sering Deon memberinya hadiah-hadiah tak terduga. Namun, hadianya bersifat benda mati. Dari perhiasan mahal, sampai hadiah jalan-jalan. Baru ini Deon memberikannya bunga. Bagi wanita yang jatuh cinta, bunga adalah hal paling istimewa dibanding materi. Bunga menunjukkan betapa intimnya perasaan seseorang terhadap lainnya. Romantisme tiada batas. Karena jika itu dari pria, maka itu sebuah pengakuan akan rasa juga pengakuan akan keistimewaan si wanita. Bunyi keran air mancur kamar mandi sudah mati. Senyum Anes memudar, helaan napas keluar dari bibirnya. Dengan malas, ia memutar tubuhnya, menambah jumlah bantal, dan menarik selimut. Dari arah kamar mandi, Deon keluar. Handuk membalut tubuhnya dari pinggang. Tubuh atletisnya yang putih terlihat masih lembab. Deon menuangkan sedikit pelembab ke tangan, setelah tu diusapkan ke wajah. Matanya melirik pada Anes yang masih memandanginya. "Gak mandi?" "Harus kembali ke kantor?" tanya Anes lesu. Ia mulai  turun dari tempat tidur. Melilitkan selimut tipis tubuhnya yang polos. "Seperti biasa, bukan?" Ada perasaan tidak nyaman Deon setiap kali Anes mengeluh kalau ia kembali ke kantor. Hubungan gelapnya dengan Anes bukan sebulan dua bulan. Sudah dua tahun lamanya. Harusnya Anes sudah paham situasi dan tak perlu bertanya. Deon baru memakai celana kainnya ketika Anes sudah memeluk tubuhnya dari belakang. Wanita itu memeluk erat. Menempelkan wajahnya ke punggung. Sebenarnya saat seperti ini, baik Deon maupun Anes, sama-sama merasakan kenyamanan. Deon merasakan pemujaan Anes yang membuatnya merasa superior. Sedangkan Anes merasakan ketentraman. Ia merasa sudah memiliki lelaki itu hanya untuk dirinya; utuh. "Jangan begini Anes. Saya harus berpakaian," keluh Deon. Meski ia menikmati, tetapi Deon tak mau lebih lama terlibat pada keintiman yang disuguhkan Anes. "Kapan kamu bisa santai sama saya. Bukan seperti ini. Datang dan pergi." "Ya, nantilah kalau liburan." "Kapan kita berlibur lagi?" tuntut Anes. "Kita sudah lama gak liburan. Mmm.... Liburan kali ini, kita ke Prancis, ya?" Deon melepaskan diri dari Anes. Ia mengambil kemejanya dan mulai mengenakannya. "Untuk beberapa waktu ke depan, saya gak bisa berlibur." "Kenapa?" "Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan." Deon tidak yakin menceritakan tentang sayembara kakeknya. Bisa gawat. Anes tidak tidak sebodoh dan selugu yang terlihat di permukaan. Wanita itu terlalu licik. Jika ia sudah menangkap mangsanya, ia akan membelit mangsanya, sama seperti ular. Harus ada yang membuat Anes lemah. Deon harus memikirkan itu. "Tentang perusahaan?" "Iya." Deon cepat-cepat mengenakan jasnya. Lebih cepat menghindari Anes maka itu akan lebih baik bagi semua. Ia sedang tak ingin konfrontasi. Keinginannya bertemu Anes siang ini hanya untuk menenangkan dirinya karena kesal tidak bisa bertemu Kahayang. Anes diam saja meski kesal melihat bagaimana Deon begitu buru-burunya berpakain. Anes tidak bisa protes. Jika terkait pekerjaan, Anes hanya bisa menurut. Lagi pula, Deon termasuk laki-laki yang setia. Selain belum punya istri, Deon sangat pemilih dengan wanita. Anes menjadi pilihan karena Anes menerima tawaran Deon untuk menyembunyikan hubungan keduanya, sampai semua mantap dan tepat waktunya. Entah kapan. "Hati-hati di jalan," ujar Anes mlas. Ia melepaskan selimut tipisnya. Memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna tanpa sehelai benang, membiarkan Deon menikmati dengan kedua mata gelapnya. Dengan santai, ia masuk ke kamar mandi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD