Chapter 30

1244 Words
Ada orang baru yang menyamar demi menikmati surga yang terkutuk. *** Di bagian lain ibu kota Jakarta, tempat yang penuh dengan rumah-rumah sederhana bahkan ala kadarnya, di gang-gangnya yang sempit, segala macam suara melayang-layang, masuk sampai ke dalam kamar Markus. Ia yang mulai bangun dari tidurnya akibat keriuhan di depan, mulai mendengkus. Dari bibirnya yang hitam, kata-kata makian mengalir. Dengan mata yang masih terpejam, ia mendengar suara seseorang dikenalnya sedang ribut. Ini membuat Markus meradang. Ia bangkit dari tidurnya dengan meradang. Mengacak-acak rambutnya kasar. Memaki untuk banyak hal dan berdiri, melangkah keluar rumah. "Woe!" Suara Markus menggelegar. Menghentikan keributan yang tak jauh dari dumah sederhananya. Anak-anak kecil yang tadi menikmati keributan, tertawa semakin senang, mengejek mereka yang ribut. Sebagian orang dewasa dengan pakaian minim, mencoba menangkap atau mengusir anak-anak itu. Sebagian lagi, mencoba melerai dan mengingatkan siapa Markus. Mereka yang ribut adalah para penghibur. Ada yang wanita tulen, ada juga setengah wanita atau yang disebut waria. Yang ribut adalah Santi, wanita tulen, dengan Bela, si wanita jadi-jadian. Dan yang menjadi pemilik bagi semua wanita maupun waria penghibur adalah Markus. "Tau orang tidur kagak! b******k kalian. Berani-beraninya ribut dekat rumah gue!" bentak Markus. "Dia yang mulai," sahut Bela sembari menyenggol lengan Santi. Santi kembali tersulut amarah. Dijambaknya rambut Bela yang panjang. "Dasar banci gila!" "Auuu!" Bela yang tak mau kalah, balas menjambak rambut Santi. Kembali keriuhan terjadi. Markus menjadi semakin gila. Ia melihat tiga anak buahnya yang duduk-duduk di kursi plastik di depan meja karambol, tertawa-tawa sembari menikmati kericuhan. Dikemplangnya kepala salah satu anak buahnya yang terdekat, yang berkepala botak. "Semprot mereka!" perintah Markus yang segera dikerjakan oleh si botek dengan tergopoh-gopoh. Si botak menarik selang air di depan rumah Markus yang sudah menancap pada kerannya. Si botak mendekati dua orang yang masih bergelut, sedangkan seorang temannya lagi sudah bersiap di dekat keran air. Begitu si botak mengangguk, keran dibuka lebar. Semprotan air seketika menciptakan pekikan-pekikan kesal tidak hanya bagi yang bersiteru, tetapi juga bagi yang menonton. Keramaian pun buyar. Sebagian besarnya lari terbirit-b***t masuk dalam bilik-bilik rumah kos sederhana mereka. Tersisa Santi dan Bela yang basah kuyup, napas terengah-engah, saling menatap. Keduanya sudah berhenti bertarung. Si botak sekali lagi mengangguk dan keran air dimatikan. "Bos marah, tuh. Buruan kalian menghadap," ujar si botak sembari menggulung selang air. Dengan melengos, keduanya mendekati Markus yang sudah duduk di kursi yang tadi ditempati si botak. "Kalian tau, 'kan kalau sore, gue tidur?" tanya Markus melotot. "Iya, Sayang. Tapi, dia yang mulai duluan." Bela merajuk dengan gaya gemulai. "Setan! Elu makhluk jejadian yang mulai duluan. Bisa-bisanya elu...." "Diam!" pekik Markus dengan anda tinggi. Seketika keduanya terdiam. "Elu berdua kalau masih ribut, gue suruh anak-anak cincang lu-lu pada, dan gue jadiin makanan anjing." Keduanya bergidik ngeri dan sama-sama menunduk. Markus kalau sudah sangat marah, hal buruk pasti terjadi. Bunyi denting ponsel mengalihkan perhatian Markus. Sebuah pesan masuk dari seorang pelanggan lama. Opa: Jumat ada? Saya mau yang seperti kemarin. Markus menghela napas. Opa adalah seorang pelanggan yang sangat royal. Ia tidak rewel perihal uang. Bahkan selalu ada bonus untuk dirinya dan si penghibur. Hanya saja, selalu ada hal-hal diluar dugaan yang harus ditanggung si penghibur dan Markus. Yang terakhir, si penghibur mengalami retak di batang hidungnya bahkan anusnya mengalami pendarahan akibat permainan yang kasar. Markus menatap Santi dan Bela. "Siapkan makan buat saya. Gak pake ribut lagi! Atau kepala kalian berdua gue rebus di panci." "Iya, Bos," jawab keduanya berbarengan. Dengan patuh keduanya berbalik dan melangkah masuk ke rumah Markus. "Bela!" Bela menjingkat kaget, berbalik, dan segera menghampiri lagi Markus. "Kenapa, Bos." Markus menghisap rokoknya dalam. "Ada twink baru?" Bela seperti berpikir keras sebelum menjawab. "Perawan, Bos?" "Jangan. Orangnya gak suka perawan. Yang penting pengalaman dan bersih." "Ooo.... Ada, Bos. Mau kapan?" "Jumat." "Siap, Bos. Nanti gue bilang tuh anak. Dia kerja di kafe kopi." "Seperti biasa, bawa dia perawatan, nanti jumat." "Siap." Markus mengibaskan tangannya. Mengusir Bela masuk. Si botak yang melihat perubahan wajah Markus, mendekat dan berbisik. "Orang itu, Bos?" Markus mengangguk. "Cuan, sih, Bos. Tapi...." Si botak tak melanjutkan kalimatnya. *** Markus melajukan motor besarnya dengan kecepatan tinggi. Tidak butuh lama bagi Markus dan si botak sampai di tujuan. Area apartemen mewah. Setelah memarkir motornya, Markus melangkah cepat. Si botak sempat heran melihat ketegangan di wajah Markus. Sembari menunggu lift turun, si botak memberanikan diri bertanya. "Bos. Tumben kita disuruh jemput." "Gue juga heran. Gue udah suruh dia tinggalin aja, biar tuh anak pulang sendiri kayak biasanya," ujar Markus. "Apa ada masalah?" Markus menjilat bibirnya dan melepaskan napas. Ia juga mencurigai itu. Ada sesuatu terjadi. Selain tidak bisanya Opa menelepon setelah bersenang-senang, nada bicara Opa juga berubah. Gugup, panik, dan amarah. Sosok Opa yang Markus kenal adalah orang yang terkontrol, memiliki wibawa, senyum ramah dan manis, juga nada bicara kalem. "Semoga enggak." Keduanya masuk ke dalam lift dalam diam. Diam keduanya berlanjut sampai di depan unit apartemen yang biasanya. Markus menekan bel beberapa kali. Pintu tak langsung dibuka, melainkan ada telepon masuk dari Opa. Markus dan si botak semakin heran. Segera Markus menerima panggilan telepon itu. "Itu kalian?" tanya seorang pria lirih. "Iya, Bos," jawab Markus. Terdengar bunyi khas pintu dibuka. Markus membukanya perlahan. Opa berdiri menunduk. Tubuhnya bergerak-gerak gelisah. Ia sudah mengenakan pakaian rapi. Tercium bau parfum dan wewangian, tanda kalau Opa sudah bebersih diri. Tangan Opa terulur dengan sedikit gemetar. Ada kunci di jemarinya. "I...ini kun...ci apartemen. Nggg ... cadangan. Nggg ...." Opa menoleh sebentar ke arah sebuah kamar. "Di...dia di kamar. U...urus dia. Nanti. Tidak. Sebentar lagi saya transfer sepuluh juta. Cukup?" Markus benar-benar seperti dihipnotis. Tak ada kata yang keluar selain anggukan. Meski sebenarnya ia merasa kejanggalan. Opa sudah membayar dirinya mahal, biaya sebagai g***o dan juga biaya jasa twink. Penambahan sampai sepuluh juta, ini sangat berlebihan. "Saya pulang." Markus dan si botak memberi jalan untuk Opa. Dalam sekejap lelaki itu sudah pergi mendekati lift. Keberuntungan bagi Opa, karena pintu lift langsung terbuka. "Bos." Si botak menyikut lengan Markus. "Sepuluh juta, Bos, bonusnya. Kayaknya kali ini Bos Opa puas sekali." Markus diam. Dia bukan orang baru di dunia gelap. Memahami karakter pelanggan pun tak sulit baginya. Hanya Opa yang sering menjadi misteri bagi dirinya. Namun, kali ini ia merasa Opa jatuh pada kubangan. Ia tak lagi menjadi misteri. Sangta jelas jika Opa sudah melakukan kesalahan berat. Dan lelaki itu mau cuci tangan. "Kita ke kamar," ajak Markus. Saat pintu kamar dibuka. Betapa terkejutnya Markus dan si botak. Kamar itu berantakan seperti habis terjadi perkelahian. Pecahan barang-barang tersebar di lantai. Tapi, yang lebih membuat keduanya menganga, adalah tempat tidur. Seseorang entah tidur entah pingsan, berada dalam posisi telungkup, telanjang bulat. Hampir semua seprei terdapat darah. Pun orang yang telungkup itu. Tubuhnya ada cakaran. Dari b****g sampai s**********n terlihat ada darah kental. Si botak bergegas menghampiri. Dibaliknya tubuh orang itu yang keadaannya lebih lagi parah. Wajahnya babak-belur. Dari hidungnya keluar darah. Si botak meletakkan tangan di bawah hidung. Mencoba merasakan embusan angin meski samar. "Bagaimana?" tanya Markus lirih. Wajahnya benar-benar kacau. "Masih hidup, Bos." Markus lega. Ia benar-benar tak ingin bisnisnya terkait kriminal pembunuhan. "Ya, udah. Kita bopong ke rumah sakit." "Bagaimana caranya, Bos?" tanya si botak. Bukan sok lugu, tetapi ini akan berbahaya. "Orang-orang akan bertanya. Bos akan jawab apa? Lagi pula nanti mereka akan cek CCTV. Bos Opa pasti kebawa-bawa. Bisa makin rame." Markus menggigit bibir bawahnya. Si botak ada benarnya. Ini akan jadi bencana. "Trus bagaimana?" Si botak tersenyum. "Kita kan punya pelanggan dokter, Bos." Dan masalah rumit terpecahkan. Dalam hati Markus berharap, tidak-tidak lagi berurusan dengan Opa. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD