Chapter 46

1164 Words
Aku cemburu. *** Lenguhan panjang terdengar dari masing-masing bibir pria dan wanita yang saling tumpang tindih. Tak ada yang kesakitan. Wajah-wajah memerah padam karena baru saja selesai menikmati apa yang memang menjadi insting kenikmatan ragawai, sudah tuntas. Dikeluarkan tepat setelah pencapaian puncak. Deon bergulir dari atas tubuh Anes, dan merebah dengan posisi setengah duduk, bersandar pada bagian kepala tempat tidur. Sedangkan Anes langsung merayap, menempel di d**a Deon. Setelah menuntaskan temu yang berlanjut pada pemuasan syahwat, hal-hal sederhana inilah yang paling Anes inginkan dan rindukan. Berada pada dekapan Deon, sembari menenangkan diri setelah pacuan jantung. Deon menunduk menatap kepala Anes. Membelai lembut puncak kepalanya. Kepala Anes pun bergerak bagai kucing, membuat Deon sedikit geli dan keduanya tertawa. "Anes...." "Mmm...? Ya...?" "Saya butuh bantuanmu." Anes mengernyit. Tak biasanya Deon yang meminta bantuannya. Anes mengangkat kepalanya dan menatap Deon tak percaya. Seorang Deon mampu melakukan segalanya sendiri. Dia memiliki kuasa yang besar. "Bantuan saya?" tanya Anes percaya tidak percaya. Ini membuat Anes senang karena ia memiliki manfaat bagi kekasihnya. Dirinya menjadi sangat antusias. Anes kemudian duduk dan ikut bersandar di sisi Deon. Ia menutupi dadanya dengan selimut. "Bantuan apa?" "Mendekatkan saya dengan seorang wanita." Deg! Jantung Anes terasa dihantam keras. Deon meminta sesuatu yang menyakitan dan lelaki itu memintanya dengan sangat santai. Tidak diawali kata maaf. Tidak ada raut menyesal. Juga disampaikan dengan sangat perlahan. Benar-benar santai dan jelas. "Kamu meminta itu sama saya?" Anes bertanya dengan melotot. Menatap Deon lekat-lekat mencoba mencari jejak bahwa lelaki yang dicintainya itu sedang bercanda. "Iya." Deon tersenyum dan menowel pipi Anes, tapi Anes menepis kasar tangan Deon. "Tunggu dulu." Anes memejamkan mata dengan kuat. Mungkin karena tadi terlalu nikmat juga terlalu nyaman sampai-sampai ia tertidur. Anes membuka mata dan kecewa karena ia masih di posisi yang sama dan Deon masih dengan ekspresi yang sama. "Kamu meminta saya untuk mendekatkan kamu dengan seorang wanita?" "Iya. Saya meminta itu." "Kamu minta itu tanpa memikirkan perasaan saya?" Deon mengibaskan tangannya. "Sudahlah Anes, jangan terlalu drama. Ini juga bukan seperti yang kamu bayangkan." "Lalu apa yang saya bayangkan dan seperti apa yang bukan?" tuntut Anes dengan emosi. "Ini untuk sebuah sayembara." "Sayembara? Talong, jelaskan yang sejelas-jelasnya." "Opa mengadakan sayembara untuk sebagian harta keluarga. Jika saya bisa menikahi gadis yang ditunjuknya dan bahkan bisa membuat gadis itu hamil, saya akan mendapat hampir sebagian besar warisan termasuk kedudukan sebagai CEO juga dipastikan saya adalah owner dari Bimantara grup." "Dan kamu menginginkan itu semua?" "Menurutmu bagaimana?" "Dengan mengorbankan saya?" bentak Anes. Ia semakin menjadi-jadi kesalnya karena sikap deon yang begitu santai tanpa rasa bersalah. "Pengorbanan kecil diperlukan untuk sesuatu yang lebih besar." Deon beringsut. Mengambil celana dalamnya, mengenakan, dan turun dari tempat tidur menuju ke lemari pendingin. Ia mengeluarkan minuman beralkohol kalengan, meneguknya dengan cepat. "Kecil katamu?" teriak Anes. "Saya harus mencomblangi kamu dengan seseorang dan kemudian melihatmu menikahinya, dan itu kecil?" "Saya sudah katakan dari tadi padamu. Jangan terlalu drama. Ini hanya sebuah sayembara. Dijalani saja dengan biasa. Anggap ini permainan." "Bagaimana dengan saya? Saya juga permainanmu?" Mata Anes melotot sampai kedua bola matanya terasa akan keluar. Deon meneguk lagi minumannya sembari menimbang jawaban yang tepat untuk wanita yang sedang murka. Ia sudah menduga akan reaksi Anes, tapi ia pikir setelah ia menjelaskan perihal sayembara itu, Anes bisa sedikit melunak dan mengikuti permainannya. Ternyata tidak. Anes sama saja dengan wanita kebanyakan. Dikasih hati minta jantung. Minta tolong sedikit, emosinya ke mana-mana. Ini hal memuakkan. Wanita banyak menuntut mengingatkannya pada sang ibu, Diana. Namun, saat ini hanya Anes satu-satunya wanita yang bisa dipercaya Deon sekaligus bisa dikendalikan deon. Anes sangat terlihat seperti anjing yang kalau sudah menggigit tidak akan melepas, yang kalau sudah diberi remahan akan setia. Harus sandiwara. Dasar perempuan, keluah Deon dalam hati karena kemudian ia melihat mata yang marah itu juga berkaca-kaca. Deon meletakkan kaleng birnya dan mendekati Anes. Dicobanya untuk memeluk Anes. Di awalnya, Anes berkelit, menolak. Wanita itu sedang sangat marah. Sikap manis yang sifatnya hanya rayuan, sedang tidak berguna terhadap dirinya. Tapi bukan Deon namanya kalau ia tak menguasai. Anes pun berada di pelukan Deon. Dalam kehangatan d**a Deon, isak tangis tak bisa dibendung. "Tega kamu. Tega kamu meminta itu pada saya. Kamu anggap apa saya selama ini?" Anes tergugu. Menanyakan hal yang kemudian menjadi tidak jelas. "Kamu masih adalah kekasih saya." Di atas kepala Anes yang menempel di dadanya, wajah Deon mengkerut seolah menahan muntah. Ia paling benci harus berakting dengan mengatakan hal yang tak ia suaki. Hubungan yang melibatkan hati dan kemudian mengaku-aku sebagai sesuatu yang intim, bagi Deon adalah hal memuakkan. "Tapi kenapa kamu suruh saya begitu?" "Kan tadi saya sudah jelaskan alasannya. Ini hanya permainan, Nes. Tidak sungguh-sungguh. Ini demi sebuah tujuan yang lebih besar. Kalau itu semua tercapai, bersamamu bukan lagi hal yang mustahil." Mimpi. Deon tahu kelemahan Anes yang seorang pemimpi. Cukup diberi sejumput gula, maka Anes akan menjilat dengan tenang. "Tapi, kamu harus menikah dan bahkan harus punya anak. Itu artinya...." Anes tak sanggup membayangkan Deon tidur dan bergumul dengan wanita lain. Deon adalah miliknya dan Deon harus bersamanya baik fisik maupun batin. "Harus berapa kali saya bilang. Itu untuk sebuah tujuan. Atau begini saja." Deon melepaskan pelukannya. Memegang kedua pundak Anes dengan lembut dan ditatapnya mata Anes. "Kalau kamu terlau susah diajak kerja sama, saya akan kerja sama dngan gadis itu. Saya akan katakan perihal sayembara ini padanya dan kami berdua tinggal membuat surat perjanjian pembagian harta warisan. Dan kamu..., pastinya tidak akan mendapat apa-apa, termasuk saya. Karena saya tidak mungkin bersama dengan wanita yang tidak sejalan dengan saya." Sebuah ancaman yang jitu karena Anes langsung menghambur dalam dekapan Deon. "Tidak! Tidak! Kamu tidak boleh dimiliki wanita mana pun. Kamu milik saya. Kamu kekasih saya." Deon tersenyum lebar. Sangat mudah menaklukan Anes. Karenanya ia tak pernah melepaskan Anes. Lagi pula tanpa niatan melepas, Anes juga tak akan mau melepaskan diri. "Saya butuh kekasih yang bisa membantu saya dengan kesuksesan saya. Saya butuh kekasih yang bisa men-support saya. Jika gadis itu mau kerja sama dengan saya, maka dia yang akan saya pilih." Anes menggelengkan kepalanya beberapa kali. "Tidak!" Anes mendongak menatap Deon dengan air mata. Ia tidak mau kehilangan Deon. "Kamu adalah kekasih saya, Deon." "Saya masih adalah kekasihmu.Tapi, bagaimana saya bisa menyebutmu kekasih jika kamu tidak berpikir positif dan membantu saya?" "Saya bingung. Ini berat. Bagaimana jika kamu meninggalkan saya?" "Saya tidak akan meninggalkanmu, Sayang." Deon membelai pipi Anes yang lembab karena menangis. "Bagaimana kalau kamu jatuh cinta padanya?" "Hati saya sudah sepenuhnya kamu kuasai. Pernahkan kamu lihat saya dekat dengan wanita lain kecuali urusan bisnis? Pernah saya mengabaikanmu karena ada wanita lain? Jika saya mau, Nes, mudah bagi saya mendapatkan wanita jauh lebih sempurna dari kamu. Nyatanya tidak. Saya masih di sini. Saya masih ada untukmu." Anes terdiam. Ya, kalau dipikir-pikir, Deon tidak pernah memiliki hubungan dengan wanita lain. Kalaupun ada wanita lain, Deon selalu memberitahukannya. Dan jika bersama wanita lain, Deon selalu menjelaskan kedudukannya dan kedudukan si wanita yang tak lebih dari hubungan bisnis dan interaksinya dengan si wanita lain, tak lebih sebagai pertemanan yang exclusive. "Siapa gadis itu?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD