Chapter 47

1132 Words
Kalau bukan itu bukan kamu. Jangan dekat lagi! *** "Pagi, Ma." Lingga mencium pipi Lia dari belakang. Salah satu tangannya mencomot roti isi telur yang baru saja Lia bikin. Lia yang tadinya terkejut kini melongo. Ia memeriksa waktu dari jam dinding yang tergantung di ruang makan. Dirinya tak salah. Masih pukul setengah enam pagi. Memang masih sangat pagi dan ia biasanya sendirian menyiapkan sarapan sederhana. Tapi, kehadiran Lingga membuatnya tak percaya diri dengan waktu. "Jamnya gak rusak, 'kan?" Lingga tak menjawab melainkan mengunyah dengan cepat roti isi telurnya. "Memangnya hari ini ada ujian pagi?" Lingga masih tak menjawab, justru bersiap untuk minum. Tanpa ba bi bu, Lia mengemplang kepala Lingga sampai pemuda itu terperangah dan menatap Lia kesal. "Sakit, Ma!" "Lebih sakit mana, Mama atau kamu? Ditanya bukannya ngejawab malah sibuk ngunyah. Keluarkan itu apa yang sudah di perut," ujar Lia kesal. "Harus makan cepat, Ma. Biar gak terlambat." Sambil mengelus kepalanya sendiri, Lingga meneguk habis minumannya. "Dari sini ke sekolahmu kan gak sampai setengah jam. Jalan kaki santai aja paling lima belas atau dua puluh menit. Apalagi ini kamu naik motor." Lingga menatap ibunya malas. "Sejak kapan saya punya motor? Bukannya motor itu bisa dipakai kalau benar-benar Papa dan Mama khilap?" Plak! Untuk kedua kalinya kepala Lingga dikemplang. Kali ini tak sekeras di awal. Tapi tetap saja membuat Lingga kesal. "Kayak Mama sama Papa buat dosa saja, sampai ada kata khilap." "Ya, udah, Ma. Saya berangkat, ya." "Tunggu." Lia menahan lengan Lingga. "Bawa motornya." Lingga tersenyum dikulum. Dikecupnya sang ibu dengan sayang. Cepat-cepat ia berlalu sebelum Lia sadar kalau ada pertanyaannya yang belum dijawab juga sebelum ibunya itu berubah pikiran perihal sepeda motor. Dan benar, setelah Lingga berlalu, tak lama Lia teringat sesuatu. "Lah, anak itu pergi pagi-pagi mau ke mana?" *** Lingga terpaku diam menatap megahnya rumah yang menjulang di depan matanya. Matanya menelusuri tiap sudut depan rumah dengan kagum. Bangunan rumah itu terdiri dua lantai yang memiliki pilar-pilar tinggi yang se[ertinya berbahan marmer mahal. Pagar besi hitam, juga terlihat kokoh. Ada jalur lebar yang Lingga duga sebagai jalur keluar masuknya kenadaraan mewah. Taman depan yang asri dengan beberapa pohon tinggi nan rindang. Benar-benar kontras dengan rumahnya yang memiliki taman sederhana. Begitu pun, Lingga malas kalau disuruh menyapu dan menyiram di tiap sorenya. Tak bisa dibayangkan bagaiman dirinya harus mengurus taman itu. "Lah? Ngapain saya mikirin ngurus taman itu," guman lirih Lingga sembari menepok jidatnya. Dua orang satpam rumah, sedari tadi memerhatikan Lingga dengan keheranan. Mau berpikir kalau Lingga penjahat, tetapi melihat seragam sekolahnya, itu menjadi tidak mungkin. Mana iya ada penjahat datang dengan terang-terangan apalagi berseragam sekolah yang jelas tertera identitas sekolah dan nama siswa di bagian d**a. Karena bingung menetapkan Lingga sebagai apa, salah satu satpam keluar pagar dan menghampiri Lingga yang sepertinya tidak sadar jika didekati orang lain. "Ehem! Dek." Petugas satpam dengan tubuh kekar itu menepuk lembut lengan Lingga. Sontak Lingga menjingkat. Hampir dia dan motornya jatuh andai ia tak jago menjaga keseimbangan dan mengontrol rasa terkejutnya. Ditambah satpam itu dengan sigap juga memegang setang motor Lingga. Ada tawa kekeh dari si satpam yang terlihat sangar itu. "Melamun apa, Dek. Sampai kaget gini," goda si satpam. "Hehehe..., itu, Pak. Rumahnya. Gede banget." Lingga kembali mengarahkan tatapannya pada rumah besar itu. "Nah, Adek ngapain di sini. Mau lihat rumahnya aja?" "Eh, anu." Lingga jadi malu sendiri. Kesannya dia udik sekali, seolah belum pernah melihat rumah besar dan mewah. Padahal, kalau Cuma untuk melihat rumah besar dan mewah saja, Lingga sudah kenyang. Masalahnya, ketika kemudian dirinya memiliki kenalan yang tinggal di rumah besar begini, itu menjadi kesan sendiri bagi Lingga. "Anu apa, Dek?" Lingga mengambil ransel dari bagian jok motor depan dan mengeluarkan buku tulisnya. Setelah dengan cepat membuka lembar per lembar halaman buku, ia kemudian menyodorkan halaman yang tertera tulisan tangan. "Alamat ini apa bener rumah ini, Pak?" tanya Lingga. Satpam mengambil buku Lingga dan membaca dengan cermat. "Iya benar. Tapi Adek mau cari siapa?" Satpam bertanya penasaran sembari mengembalikan buku catatan Lingga. "Sambara," jawab Lingga mantap. Kening si satpam berkerut. Kembali ia menelusuri sosok Lingga. Seorang pemuda ingusan mengenali sosok bosnya dan menyebut nama itu dengan sangat jelas seolah antara bosnya dan si pemuda ingusan itu memiliki kedekatan yang erat. "Adek tau nama itu dari siapa?" Keraguan di satpam menular pada Lingga. Kakaknya, Kahayang selalu menyebut lelaki itu adalah penipu. Si Satpam menepuk lagi lengan Lingga yang terlihat bingung. "Dek. Ditanya kok bengong." "Gak usah, Pak. Mungkin saya salah orang." Lingga merasa kalau Sambara sudah menipunya.  Lelaki itu pasti mengaku-ngaku tinggal di rumah semegah ini. Meskipun cara berpakaian, mobilnya, dan motornya mencerminkan kalau Sambara bukan orang biasa, tapi pasti rumahnya bukanlah rumah megah di hadapan Lingga saat ini. Lingga memasukkan bukunya dengan wajah cemberut. Dia sudah memutuskan untuk menentang kedekatan Sambara dengan orang tuanya. Kalau dengan Kahayang, kakaknya itu sudah terlihat memusuhi Sambara, jadi tak perlu peringatan. "Tunggu, Dek, mmm...." Si satpam membaca nama siswa yang tertera di d**a Lingga. "Dek Lingga pagi-pagi sudah ke sini. Pasti urusannya penting. Alamatnya benar. Nama juga benar. Saya bertanya soalnya heran saja. Jangan pergi dulu, nanti saya dimarahi." "Gak penting-penting amat,sih, Pak. Cuma..., nggg..., ada perjanjian. Saya disuruh ambil ke rumahnya. Tapi..., mungkin orang itu ngaku-ngaku sebagai Sambara yang tinggal di sini." Lingga semakin tidak percaya diri. "Gini aja. Adek Lingga tunggu di pos. Saya coba tanyakan. Kalau memang pernah ketemu, beliau pasti ingat sama nama dan sosok Dek Lingga. Gimana?" Sebuah penawaran yang menguntungkan. Toh, Lingga sudah jauh-jauh ke kawasan elit itu. Bagi Lingga sekalian saja mumpung ada yang bantu. Kalau ternyata salah orang, gak rugi-rugi amat. Dia bisa berikan bukti bahwa yang nama Sambara bukanlah Sambara yang ia dan keluarganya kenal. "Tapi, memangnya yang namanya Sambara tinggal di sini, Pak?" tanya Lingga memastikan bahwa pemilik rumah bernama Sambara. "Ya, kalau Mas Sambaranya sama dengan yang Dek Lingga kenal, ya dia bahkan adalah yang punya rumah ini. Ayo, masuk. Tunggu di pos dulu." Sambil masih terkagum-kagum dengan penjelasan si satpam, Lingga mendorong motornya mengikuti si satpam masuk. Ia disambut dengan senyum ramah satpam kedua dan satpam pertama langsung menuju ke dalam. "Cari siapa, Dek?" tanya satpam kedua yang menemani Lingga. "Sambara, Pak. Tapi, saya gak tau ini orangnya sama apa gak, ya?" "Lho, Adek kenal nama Mas Sambara dari mana?" "Dari restoran orang tua saya, Pak. Tapi, ya itu. Saya jadi gak yakin apa Sambara ini orang yang sama atau penipu, Pak. Memangnya.... Sambara yang tinggal di rumah ini, siapa, Pak?" "Mas Sambara yang di rumah ini adalah petinggi dari Bimantara Grup. Adek tau, 'kan nama itu? Nah, Mas Sambara itu CEO-nya." Terbit rasa penasaran bercampur kagum akan sosok Sambara itu. Hatinya makin berdebar bercampur was-was. "Nah, itu orangnya." Lingga menjingkat berdiri dan dia melongo. Kedua matanya melebar dengan degup jantung tak beraturan. Kedua tangannya mengepal kuat. Lingga benar-benar terkejut akan sosok Sambara yang muncul ternyata ... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD