Chapter 48

1014 Words
Aku punya kakak lelaki. *** Sejak nama Lingga disebutkan, jantung Sambara langsung berdetak. Ada kekhawatiran sendiri jika orang di rumah mendengar nama Lingga dan kemudian segala pertanyaan bermunculan. Khawatir juga jika ada Deon yang mengenali Lingga. Bisa-bisa sepupunya itu akan mengorek-ngorek untuk apa Lingga datang dan prasangka lain akan bermunculan. Baru juga beberapa waktu lalu, perihal ia kenal Kahayang lebih dulu sudah terjadi keributan, jangan lagi nambah perihal Lingga. Sambara memang ada perjanjian atau sebuah kesepakatan dengan pemuda jangkung itu. Sebuah perjanjian yang datang spontanitas tanpa memikirkan lain-lain selain demi kebaikan Lingga. Meski tingkah Lingga sangat santai dan seperti pemuda yang tak pandai, tapi Sambara bisa melihat jika pemuda itu sangat pintar dan jeli. Dan Sambara ingin melindungi Lingga dengan membuat perjanjian yang tentunya menguntungkan masa depan Lingga dan bagi Sambara itu kebahagiaan tersendiri. Namun, apa pun yang Sambara inginkan pastinya akan bertolak pemikiran dengan keluarga Diana, tante tirinya. Semua akan menjadi prasangka baru dan keributan baru. Sambara ingin menghindari itu. Beruntungnya, Sambara selalu bangun pagi dan olahraga santai di sekitar rumahnya yang begitu luas. Biasanya yang lain masih tidur. Sedang opanya, membaca koran di teras samping kamarnya. Sambara merangkul lengan si satpam dan memintanya bicara lebih lirih. "Sttt.... Jangan keras-keras." Sambara celingukan. Memastikan sekitar aman. "Tadi ke sini ada orang rumah liat, gak?" tanya Sambara lirih. "Enggak, Mas. Masih pada tidur," jawab si satpam dengan suara lebih lirih lagi. "Sip." Sambara dan si satpam bergegas ke depan. Sempat bertanya-tanya dalam hati dari mana anak itu tahu kediamannya, tapi dia teringat Kahayang. Gadis itu adalah kemungkinan positif yang sudah menginformasikan di mana dirinya tinggal. "Lingga. Dari mana tau?" tanya Sambara basa-basi. Kedua satpam langsung menjauh, memberi privasi bagi bos dan tamu mudanya. Mereka akan kembali ke pos jika Sambara sudah membawa tamunya masuk. "Kak Ayang." Lingga menatap tajam Sambara. Ia masih bingung sekaligus terkejut dengan informasi yang diberikan oleh satpam kedua dan reaksi sebelumnya dari satpam pertama. "Jadi, kamu asisten pribadi atau CEO?" tanya Lingga langsung. Dan serangan pertanyaan itu membuat Sambara terkejut. "Maksudnya bagaimana? Saya, ya..., gini aja," ujar Sambara mencoba berkilah. "Pertanyaannya jelas. Tapi jawabnya lelet." Lingga menatap dingin Sambara yang terlihat salah tingkah. Lingga mengarahkan matanya pada kedua satpam yang berdiri di luar gerbang, memperhatikan jalanan. Segera Sambara paham. Salah satu atau bahkan keduanya sudah menginformasikan siapa dirinya pada Lingga. Mereka tidak salah, karena Sambara tidak meberi peringatan apa-apa. Sambara menghela napas. Rasanya ia harus bernegoisasi lagi dengan Lingga. "Ya, saya CEO," jawab jujur Sambara. Percuma berkelit. Seperti penilaian Sambara terhadap Lingga, pemuda itu cerdas dan jeli. "Tapi, kenapa di restoran siang itu kamu ngakunya asisten pribadi," kejar Lingga. "Ya, karena kakakmu mengira begitu dan saya tidak berkeinginan untuk meluruskannya." "Kenapa?" "Saya ingin dikenal sebagai saya. Bukan sebagai CEO. Dan untuk sementara ini, saya ingin begitu." Lingga tak menduga jawaban Sambara yang lugas dan tegas. Pria di depannya tak memanfaatkan jabatannya untuk dekat dengan keluarganya. Ia tak peduli orang akan menilainya apa. Lingga semakin suka dengan Sambara setelah sebelumnya Sambara memberikan perjanjian bayaran jika ia rajin. Kepedulian yang tak pernah Lingga dapatkan dari orang asing selain keluarga. Diam-diam Lingga ingin menjadikan Sambara sebagai kakak laki-laki. "CMO itu siapa?" "Dia sepupu saya." Sambara terbatuk sedikit dan lebih mendekat ke Lingga. "Dengar Lingga. Saya sangat berharap kamu merahasiakan ini dari kakakmu dan orang tuamu perihal saya. Saya ingin orang dekat saya dengan cara yang jujur sebagai saya. Apa pun itu yang jadi pemikiran. Jabatan hanyalah sekedar jenjang dan itu tak perlu pelurusan. Bisakah saya mendapatkan itu, Lingga?" Dalam hati Lingga tersenyum. Tentu Lingga mau menuruti keinginan Sambara. Ia pun tak suka orang yang terlalu mengistimewakan jabatannya dan dengan sangat biasa menjelaskan apa jabatannya. Lingga berdeham. Memberi jeda. "Hem! Ini tampak seperti sebuah perjanjian baru dan yang ini berat." Sambara tersenyum dan sedikit tertawa saat mengemplang kepala Lingga pelan. "Aduh! Sakit! Ini dah doain!" gerutu Lingga. "Lingga. Dengarkan saya." Suara Sambara lebih dalam dan ada tekanan. Menuntut keseriusan dan itu berhasil membuat Lingga patuh. "Sudah tau siapa saya. Sudah tau jabatan saya. Sudah tau juga rumah saya. Menurutmu apa nilai uang itu begitu penting untuk saya? Saya sedang tidak mengecilkan nilai negosiasi kita. Tapi..., saya cukup keras perihal materi. Negosiasi saya denganmu waktu itu, tak lain agar kamu itu...." "Sudah, sudah, sudah!" Lingga pura-pura merengut dan mengenakan helmnya. Lingga tak sungguh-sungguh tersinggung. Ia justru makin kagum dengan Sambara. Ketegasan dan kedewasaan bak seorang kakak laki-laki yang memang diinginkan Lingga. Sambara sedang menginginkan suatu positif dan itu sudah jelas. Lagi pula, dia tidak mengejar materi. Pada dasarnya, dirinya bukan seorang materialistis. Toh, jika pun dirinya dinilai materialistis, ada imbal balik positif diberikan. Ia harus rajin sekolah . Sambara juga tahu jika Lingga tak sungguh-sungguh marah. Ia bisa membaca gestur orang karena dirinya pebisnis. Karenanya Sambara tertawa geli melihat reaksi Lingga yang sangat jelas sedang tak ingin diceramahi. "Bayaran saya." Lingga menyodorkan tangannya dengan ekspresi malas. Sambara kembali tertawa dan mengacak-acak rambut Lingga yang kembali mendapat gerutuan. "Saya olahraga tadi. Tidak bawa dompet. Tapi saya bawa ponsel. Saya transfer saja." Sambara mengotak-atik ponselnya dan menanyakan nomer rekening serta nama BANK Lingga. Proses transfer uang tak memakan waktu lebih dari dua menit. "Terima kasih." Lingga sudah naik ke motornya. "Lingga...." "Apa?" tanya Lingga sembari menyalakan mesin motor. "Terima kasih. Lil Bear." Sambara cengar-cengir menggoda Lingga. Lingga melongo dan kemudian berekspresi mo muntah. "Jangan coba-coba manggil lal lil lol bar bir! Kalau gak mau pesok itu wajah!" Sambara tak kuasa tertawa. Buru-buru Lingga memutar motornya "Hati-hati di jalan ke sekolah, ya, Lil Bear. Jangan sampai kamu kenapa-napa. Nanti saya sedih." Lingga berhenti dan menoleh ke belakang. Dengan muka jijik, Lingga pura-pura muntah. Tapi Sambara makin menjadi dengan melambaikan tangan. Lingga yang geli langsung tancap gas dan hanya mengangguk sekilas pada dua satpam di depan. Ketika di belokkan. Lingga sengaja menepi dan berhenti sebentar. Ia mengeluarkan ponsel, memeriksa saldo rekeningnya. Seketika Lingga melongo. Yang diterimanya lima kali lipat dari perjanjian. Lingga langsung bersorak tertahan dan menancap motornya dengan senang. Tapi, kemudian ia berhenti. Kembali mengeluarkan ponsel dan menulis pesan untuk Sambara. "Yang sudah disedekahkan, tidak boleh diambil kalau tidak ingin merugi. Thanks." Dan Lingga bersenandung. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD