Chapter 52

1143 Words
Kamu itu tampan. *** Kahayang ditemani salah seorang pegawai restoran, menata dengan apik vas-vas kristal. Vas-vas itu diisi air dengan tinggi yang sama. Kahayang kemudian memasukkan aneka bunga ke dalam vas dengan cara dikelompokkan dan disusun berurutan seapik mungkin. Ada satu vas berisi hanya Mawar putih dengan semburat warna merah muda dibagian luar. Ada lagi satu vas berisi bunga Tulip berwarna mirip dengan warna mawar sebelumnya. Kemudian ada bunga Bakung dengan warna yang seketika menjadi terang yaitu warna merah. Anehnya itu tak terlihat kontras melainkan padu. Dan selanjutnya bunga dalam vas disusun sesuai sebelumnya. Kahayang terlalu sibuk. Ia selalu ingin memberikan yang terbaik. Ia harus memastikan, meski bunganya tak dirangkai, tetapi kesederhanaan tatanan harus tetap selaras dan indah. Setiap ia mendapat pujian, Kahayang selalu akan bertanya, "Sungguh? Bener dah bagus, ya? Kalian gak lagi memuji saja, 'kan?" Seperti siang ini, ketika pegawai restoran yang ditugaskan menjadi asisten mendadak Kahayang, berkata, "Wah, bunganya cantik-cantik. Segar-segar. Ditata begini saja, malah terlihat elegan. Gak ramai." Kahayang menawat gadis muda yang sudah membantunya sedari tadi. "Beneran, Mbak? Udah bagus, ya?" "Bener. Dah bagus banget. Kebayang kalau dirangkai, pasti mewah." "Orangnya mintanya begitu, Mbak. Karena ini arisan sekaligus reunian, beliau minta agar bunganya tak perlu dirangkai biar tidak terkesan formil." "Iya juga, sih. Kalau sudah dirangkai terkesan lebih wah dan memang jadinya justru formal. Eh, tapi, aduh...." Di gadis muda tersenyum malu. "Saya malah seperti pakar saja. Padahal Cuma penikmat, hehehe...." Kahayang tersenyum geli. "Justru penikmat itu adalah penilai terbaik." "Ah, Mbak Kahayang bisa aja." "Ya, sudah. Saya pulang dulu. Vas-vasnya besok saja saya atau sepupu saya yang ambil." "Seperti biasa ya, Mbak?" Si gadis sudah paham karena restoran mereka sering bekerja sama dengan toko bunga "Kahayang". Pembelian bunga yang tanpa vas, biasanya vas akan diambil esok harinya. "Iya. Pamitkan saja ke Pak Daniel, ya." "Buru-buru. Udah gak sabar, ya." Si gadis pelayan restoran, mengerlingkan mata dengan senyum menggoda. Kahayang langsung bingung melihat polah aneh si gadis. Apalagi pernyataan si gadis terdengar janggal. "Gak sabar apa?" tanya Kahayang. Si gadis maju dan bicara lirih, "Gak sabar kencanlah." Kahayang langsung melongo. Menatap bingung pada si gadis yang tertawa cekikikan. Melihat Kahayang yang bengong, si gadis mengarahkan padangannya pada sosok yang berada di belakang Kahayang. Kahayang yang mengikuti arah pandangan si gadis, langsung memutar tubuhnya dan seketika itu juga tubuhnya menjingkat ke belakang. Tidak mungkin terjatuh, tetapi lengan Kahayang dengan sigap dipegang. Sebagai bentuk refleks. "Deon?" "Hai," sapa Deon dengan senyum teramat manisnya. "Kaget, ya. Maaf, ya. Sudah bikin kamu terkejut." "Kok, ada di sini? Kamu...?" Kahayang mengerjapkan mata mengingat-ingat si pemesan bunga. Ia sangat yakin pelanggannya ini adalah wanita berumur dan jelas ia mengatakan ada reuni kecil dengan teman semasa sekolah. Mengacu pada usia, Deon pastilah bukan si teman ariasan apalagi teman reuni. "Saya kenapa?" tanya Deon terkekeh, menggoda Kahayang. "Kamu nganterin..., tidak, tidak. Maksud saya, kamu anak salah satu tamu undangan di acara ini?" "Tidak. Saya bukan anak salah satu tamu undangan di sini. Dan saya tidak sedang mengantar siapa-siapa. Tapi, saya sedang menjemput seseorang yang spesial." "Oh, ya?" Kahayang celingukan. Mengedarkan pandangan ke arah luar pintu geser. Ruangan yang dipakai untuk acara arisan dan reuni, adalah ruangan VIP dari restoran mewah itu. Yang mana ada penyekat dan pintu geser. Jadi seperti ruangan lain dai dalam ruangan. Ini membuat jarak pandang Kahayang tentunya sempit. "Di luar?" tanya Kahayang. "Di dalam." Deon mengerling dengan senyum geli tak bisa ditutupi. "Di dalam...?" Kening Kahayang mengkerut. Ia menoleh ke belakang di mana gadis pegawai restoran masih ada. "Kamu...?" "Bukan, bukan saya." Si gadis menyilangkan kedua tangannya dengan cepat. "Lah, terus siapa?" Kahayang bertanya bingung pada Deon. "Kamu." Deon dengan gemas menowel hidung Kahayang. Seketika Kahayang melongo, sedangkan gadis di belakangnya tertawa cekikikan. Menertawakan sikap Kahayang yang tidak tanggap. "Sudah selesai, 'kan?" "Eee..., sudah, sih...." Kahayang tiba-tiba menjadi gagap. Masih dilanda rasa bingung akan kemunculan Deon dan maksud deon. "Bisa pulang sekarang, 'kan?" "Eee...." "Bisa. Mbak Kahayang bisa pulang sekarang, kok. Tadi sudah pamit juga," sambar si gadis dengan nada riang. "Terima kasih." Deon mengedipkan mata pada si gadis dan kemudian menggenggam salah satu jemari Kahayang. "Yuk, pulang." *** Kahayang dan Deon makan siang di restoran mewah bernuansa jawa. Ada beberapa orang di bagian tengah yang memainkan alat-alat musik Jawa dan seorang sinden yang melantunkan lagu berbahasa Jawa. Membuat suasana makan siang terasa tenang sekaligus menyenangkan dengan adanya musik jawa. Keduanya duduk di dekat jendela yang memiliki ukiran bunga-bunga sebagi bingkai dan ruji-ruji yang memungkinkan angin keluar masuk sekaligus yang di dalam bisa melihat keluar. Setelah makanan dipesan, keduanya kembali menatap ke arah tengah dan menikmati tembang Jawa yang mengalun santai. Diam-diam Kahayang mencuri pandang ke arah Deon. Lelaki itu sangat tampan dengan kulit putih yang sangat bersih. Menyadari berapa berkilaunya wajah Deon, Kahayang jadi malu sendiri. Jelas Deon melakukan perawatan. Laki-laki saja merawat dirinya dengan baik, sedangkan dirinya bisa dikatakan merawat wajah semau-mau dan selonggar-longgranya waktu. Apa ini ya, yang membuat Gery berubah? batin Kahayang. Kahayang teringat bagaimana wanita-wanita di kantor Gery, atau di kantaor mana pun. Semua begitu cantik dan berkilau. Buah dari perawatan yang serius. Membuat mereka terlihat bagai sekumpulan bidadari dan para Dewa. "Kenapa?" Kahayang mengerjapkan mata berulang kali. Selain karena malu sendiri karena kedapatan memandangi Deon sedemikian rupa, Kahayang juga bingung dengan pertanyaan singkat Deon. Ini karena dia lebih banyak melamun. "Apanya?" tanya Kahayang. "Kenapa kamu lihatin saya gitu? Apa ada yang salah di wajah saya?" Kahayang merasa ia punya kesempatan menggoda Deon. "Iya ada." Deon membelalak. Persis seperti yang dimau Kahayang. Deon memajukan tubuhnya. "Serius?" tanya lirih Kahayang. "Dua rius. Sejuta rius malah," jawab Kahayang mantap. "Apa? Ada apa di wajah saya?" Deon meraba-raba wajahnya. Ia tak merasakan apa-apa. Tapi, karena tidak betah, Deon berniat ke toilet saja. Baru Deon akan mengangkat tubuhnya ketika jemarinya ditimpa dengan jemari Kahayang. Menahan Deon untuk benar-benar berdiri. "Mau ke mana?" tanya Kahayang. "Ke toilet sebentar. Mau periksa." "Periksa apa?" Kahayang bertanya sembari menahan ketawa. "Periksa apa yang salah di wajah saya." Wajah lugu Deon, membuat Kahayang tak bisa menahan tawanya. Deon menjadi prasangka dan semakin yakin kalau memang ada yang salah dengan wajahnya. Kembali ia bernita berdiri. "Ehhh! Mau ke mana? Duduk aja." Kahayang menggengam jemari Deon, kembali mencegah Deon yang tubuhnya bahkan sudah terangkat dari kursi. "Gak, ah. Saya mau ke toilet. Kamu aja sudah tertawa, jangan-jangan yang lain juga diam-diam tertawa." "Duduk aja dulu. 'Ntar saya kasih tau apa yang salah di wajahmu." Deon menurut. Setengah was-was sekaligus penasaran. "Apa yang salah?" tuntut Deon tidak sabar. "Yang salah adalah karena tidak ada yang salah." "Hah?" "Iya. Salahnya adalah karena tidak ada yang salah di wajahmu. Kamu terlalu tampan." Seketikan senyum dikulum tercetak di wajah Deon yang sudah sumringah. Dirinya cukup terkejut. Deon sudah biasa dipuji lawan jenis sebagai lelaki sempurna secara fisik. Namun, ketika pujian itu terlontar dari bibir Kahayang, entah kenapa justru membuat Deon melayang. "Kamu sudah membuat kesalahan dengan bicara begitu terhadap saya, Ayang." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD