"Of course. I'm fine," jawab Alicia dengan nada acuh. Sikap Alicia memang sedikit unik, ia selalu menjaga jarak dengan siapa pun termasuk Ford yang merupakan model sekaligus kekasihnya.
Ford mendekati Alicia dan membelai rambutnya. Gerakannya sangat lembut dan penuh kasih sayang. "Kau marah kepadaku?"
"Apa hakku marah kepadamu?"
"Ayolah, kau sangat manis jika marah, sayangku." Ford bangkit dari duduknya. Ia berdiri di samping Alicia yang duduk dengan posisi malas di kursi.
"Kau manajerku sekaligus kekasihku jadi kau berhak memanfaatkan kekasihmu ini, tepatnya kau bisa memeras tenagaku sesukamu," ucap Alicia dengan nada ketus. Selalu begitu, Ford sama sekali tidak terkejut dengan mulut pedas kekasihnya.
"Kau kasar sekali sayangku, kita adalah pasangan yang paling serasi. Suatu saat kita akan membangun bisnis kita, membangun sebuah agensi model melebihi Le Model," kata Ford dengan nada bersungguh-sungguh.
Alicia mencebik. Ia memutar bola matanya dengan enggan, Ford adalah kekasihnya tetapi pria itu selalu seolah memiliki hak penuh atas diri Alicia. Ia selalu mengambil keputusan tanpa menanyakan terlebih dulu apakah Alicia bersedia atau tidak menerima pekerjaan hanya karena Ford mampu membujuk semua pihak yang memakai jasa Alicia. Alicia satu-satunya model yang mengajukan syarat di dalam pemotretan, tidak sulit ia hanya tidak ingin wajahnya di di ekspos secara keseluruhan.
Awalnya banyak yang menolak tetapi semakin lama justru semakin banyak yang tertarik dengan foto Alicia, foto yang tidak pernah memperlihatkan wajah Alicia secara keseluruhan dan Alicia mulai mendapatkan ketenaran di Rusia karena kecantikannya yang seolah memiliki label : Bukan untuk konsumsi publik.
"Bagaimana jika kita pergi ke club malam ini untuk merayakan kontrak barumu?" Ford membungkukkan badannya, ia mengecup pipi Alicia pelan lalu perlahan ia menyusuri leher jenjang Alicia menggunakan bibirnya yang sensual.
"Kau menghabiskan uangku," jawab Alicia dengan nada enggan, tubuhnya kaku selaku kayu karena sentuhan Ford.
"Terkadang kita juga perlu bersenang-senang, sayangku," ucap Ford dengan nada sangat halus dan terdengar sedang menggoda Alicia.
Kembali bibir Alicia mencebik, ia tahu persis jika mereka pergi ke club bukan Ford yang membayar tagihan minum mereka tetapi Alicia yang harus kehilangan uangnya untuk beberapa botol alkohol yang di pesan Ford dan teman-temannya.
"Uang itu hasil kerja keras kita sayang, aku memasarkanmu dan kau bekerja dengan baik." Ketika bibir Ford hendak menyentuh bibir Alicia secepat kilat Alicia berpaling dan memundurkan tubuhnya.
"Oh, maaf sayangku. Kau masih belum siap?"
Alicia mengatupkan bibirnya, dadanya naik turun. "Ford, aku tidak ingin ada kontak fisik terlalu jauh dalam hubungan kita," katanya.
Ford mendengus kesal, bagaimanapun juga ia adalah pria dewasa normal yang memerlukan..., anggap saja pelampiasan hasrat. Sementara kekasihnya seperti mengalami cacat s****l. Jangankan untuk berhubungan badan, bahkan jika Ford hendak mencium bibirnya, Alicia segera memasang perlindungan diri. Kekasihnya terang-terangan menolak bahkan sekedar ciuman di bibir, Alicia tidak mengizinkan Ford untuk mencobanya apalagi jika lebih. Entah cara pemikiran kuno seperti apa yang ada di dalam kepala Alicia, menurut Ford, Alicia adalah gadis kuno karena menganut paham no s*x before married. Mereka hidup di benua Eropa, hal-hal seperti itu sudah di anggap lazim bukan sesuatu yang tabu. Bahkan jika seorang gadis berusia tujuh belas tahun dan masih perawan tentu saja gadis itu di anggap aneh.
"Bagaimana jika kita pergi ke supermarket? Aku ingin memasak," kata Alicia sambil berusaha bangkit dari duduknya dan mematahkan suasana canggung yang tentu saja membentang di antara mereka berdua.
Ford menggaruk kulit lehernya yang sama sekali tidak terasa gatal, alisnya tampak sedikit berkerut. "Kau bisa pergi sendiri, jangan bawa Halifa, ia masih memiliki beberapa urusan pekerjaan," kata Ford.
"Baiklah. Sampai jumpa besok, Ford," ucap Alicia sambil bergegas melangkah menuju pintu lalu menarik gagang pintu dan meninggalkan ruangan itu.
"Hati-hati berken...." belum selesai Ford mengucapkan kalimatnya gadis yang ia anggap sebagai kekasihnya itu telah menghilang dari pandangannya. Ford menggelengkan kepalanya kemudian ia kembali duduk di kursi kerjanya. Meraih ponselnya dan jemarinya menari di atas ponselnya untuk menulis pesan.
****
London.
William memasuki mansion mewah yang ditempati keluarganya. Seharusnya ia juga tinggal di sana tetapi sejak dua tahun yang lalu ia memilih tidak lagi tinggal di sana karena ia lebih sering tinggal di pent house milikinya.
"Sidney...." William menyapa Sydney Johanson adiknya. Gadis bermanik mata berwarna hazel dan berparas amat manis itu sedang duduk di ruang keluarga sendirian sambil membuka sebuah tabloid fashion di tangannya.
Mendengar suara memanggil namanya, Sidney mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. "Willy, kapan kau kembali dari Moscow?"
"Aku baru saja mendarat," jawab William sambil melepaskan mantel yang membungkus tubuhnya dan meletakkannya di atas sofa begitu saja.
"Kau ingat rumahmu rupanya," ejek Sidney sambil terkekeh, gadis itu mengejek kakaknya yang jarang kembali ke tempat tinggal mereka. Sidney kemudian itu mengubah posisi duduknya menjadi bersila dia atas sofa.
"Hasil pameran perhiasan asistenmu yang akan menjelaskan aku tidak mengerti hal itu," kata William dengan nada kesal.
"Kau memang saudara yang baik, terima kasih telah membantuku."
"Cih...." William berdecih karena harus berkorban waktu dan tenaga untuk adiknya yang satu ini. "Di mana saudaramu yang pemalas itu?"
William menanyakan dia mana Leonel Johanson berada. Leonel dan Sidney, mereka adalah saudara kembar. Seharusnya andai saja Grace tidak pergi meninggalkan keluarga itu mereka bisa dikatakan kembar tiga, sayangnya Grace lebih memilih meninggalkan keluarga Johanson, menanggalkan nama belakang lalu kini menghilang entah kemana. Mengingat Grace selalu sukses membuat perasaan William ingin mencekik lehernya hingga gadis itu memohon ampun, menangis lalu meminta maaf. Sayangnya Grace tidak pernah melakukan itu meski William menyiksanya di masa lalu.
Sidney kembali memfokuskan pandangannya ke arah tabloid yang di yang berada di tangannya. "Di mana lagi dia, tentu saja di kamarnya. Tidur dan bermain game adalah hidupnya," gerutu Sidney. Gadis itu tampak menggemaskan saat menggerutu membuat William tersenyum simpul, adiknya secantik ibunya. Bahkan bisa di katakan adiknya adalah perwujudan ibunya ketika muda, memang begitu. William telah sering melihat foto-foto ibunya ketika muda dan memang benar Sidney adalah perwujudan ibunya.
"Lalu, di mana Alexa?" William menayangkan keberadaan adik bungsunya yang bernama Alexa Johanson.
"Dia ada di kamarnya," jawab Sidney. Ia mendongakkan kepalanya menatap kakaknya kemudian melanjutkan ucapannya, "dia berulang kali menanyakan keberadaanmu, rupanya dia sangat merindukanmu."
"Aku akan menemui Alexa nanti setelah aku bertemu Leonel," kata William sambil berlalu meninggalkan Sydney menuju kamar di mana Leonel berada. Benar kata Sydney, Leonel sedang duduk sambil memegang stik gamenya, rambutnya tampak berantakan tetapi tidak mengurangi ketampanan wajahnya. Manik matanya yang berwarna biru tampak begitu fokus mengarah ke layar televisi di depannya. Pria berusia dua puluh tiga tahun itu bahkan tidak menyadari kehadiran William.
Dengan satu gerakan William mencabut kabel penghubung televisi dan listrik hingga membuat layar televisi menjadi gelap seketika.
"s**t!" maki Leonel. "Apa yang kau lakukan? Kau mengganggu kesenanganmu saja." Ia menatap kakaknya dengan tatapan kesal.
Leonel yang kesenangannya terganggu dengan kasar ia mengacak-ngacak rambut di atas kepalanya hingga rambutnya yang berantakan semakin terlihat tidak karuan sementara sebelah tangannya masih memegang stik gamenya.
William tersenyum melihat tingkah adiknya yang pemalas itu. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan? Kau hanya bermain game dan tidur sepanjang hari," tanyanya.
"Untuk apa aku membayar karyawan dan sekretaris jika aku masih harus bekerja dan berdiam di perusahaan sepanjang hari?" Leonel meletakkan stik game di lantai kemudian ia menguap dengan lebar dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi untuk meregangkan otot-otot tubuhnya.
William berjalan menjauhi adiknya, kamar Leonel benar-benar minim udara segar dan cahaya matahari. Tangannya membuka gorden jendela yang masih tertutup rapat agar cahaya matahari masuk. Kamar adiknya itu lebih mirip seperti gua yang di huni oleh seekor ular phyton, ular itu hanya keluar dari sarang ketika ia merasa lapar. William bahkan tidak yakin adiknya itu pernah terpapar sinar matahari lebih dari lima belas menit dalam sehari.
"Aku memiliki tugas untukmu," kata William.